Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Pagi itu, cahaya matahari menembus tipis tirai kamar Aruna. Matanya terasa bengkak, kepala berat, tapi ia memaksa diri bangun. Setelah bermalam dengan tangis yang panjang, ia tidak ingin lagi terlihat lemah.
Ia segera menuju kamar mandi. Air dingin menyapu wajahnya, seakan mencoba menghapus jejak mimpi buruk dan air mata semalam. Rambutnya ia sisir rapi, kemeja kerja berwarna biru muda ia kenakan, lalu celana kain hitam kesukaannya. Sejenak, Aruna menatap bayangannya di cermin. Wajah itu tetap tampak rapuh meski ia sudah berusaha tegar.
"Aku harus kerja. Aku butuh ruang… meski hanya sebentar."
Dengan langkah mantap yang dipaksakan, ia turun menuju dapur. Aroma nasi goreng sederhana tercium, dan ibunya sedang sibuk menyiapkan teh panas di meja makan.
“Ma, aku sarapan dulu ya, terus langsung ke kantor,” ucap Aruna, mencoba terdengar biasa. Ia menarik kursi, bersiap mengambil piring.
Namun ibunya menoleh cepat, wajahnya berubah kaku. “Kantor? Kamu tidak perlu ke kantor hari ini, Na.”
Aruna berhenti sejenak, bingung. “Kenapa, Ma? Ada rapat penting siang ini. Aku—”
“Tidak, Na,” potong ibunya tegas, tapi suaranya tetap lembut. “Hari ini kamu ikut Mama ke rumah Arkan. Kita harus membicarakan menu makanan untuk pernikahan. Keluarga Arkan sudah menunggu.”
Aruna terdiam, sendok di tangannya terasa berat. “Ma… aku masih kerja. Aku nggak bisa seenaknya bolos.”
Ibunya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya penuh tekanan. “Kantor bisa menunggu. Tapi pernikahanmu? Dua hari lagi, Nak. Ini jauh lebih penting daripada pekerjaanmu itu.”
Hati Aruna mencelos. Lagi-lagi, seolah hidupnya bukan miliknya sendiri. Ia ingin berteriak, ingin menolak, tapi tatapan ibunya membuat kata-katanya terhenti di tenggorokan.
“Makanlah cepat. Setelah itu kita berangkat,” ibunya menambahkan, meletakkan teh panas di hadapannya. “Mama tidak mau kita terlambat. Keluarga Arkan sudah menyiapkan daftar katering dan kita harus putuskan hari ini juga.”
Aruna menatap nasi goreng di hadapannya dengan perasaan hambar. Perutnya mual, tapi ia tidak berani berkata lagi. Perlahan, ia hanya mengangguk kecil, menelan kembali protes yang sudah hampir meluncur.
"Aku bahkan tidak bisa memilih mau makan apa… bagaimana aku bisa memilih hidupku sendiri?"
Mobil keluarga melaju pelan di jalanan pagi yang mulai ramai. Aruna duduk di kursi belakang, pandangannya kosong menatap keluar jendela. Pohon-pohon dan deretan toko berganti cepat di matanya, tapi semua terasa kabur, seolah pikirannya menolak menangkap detail.
Di kursi kemudi, ayahnya menyetir dengan tenang, sesekali melirik lewat kaca spion. Ibunya duduk di depan, sibuk dengan ponselnya, mengatur pesan dan daftar yang harus dibicarakan dengan keluarga Arkan.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah supermarket. Ibunya menoleh ke belakang, senyum tipis di wajahnya.
“Mama sebentar ya, Na. Mama mau beli buah sama kue untuk dibawa ke rumah Ibu Arkan. Kamu tunggu di mobil aja,” katanya, lalu turun dengan langkah cepat.
Pintu tertutup, menyisakan kesunyian yang hanya diisi oleh suara mesin mobil dan hembusan pendingin udara.
Ayah Aruna menghela napas pelan, lalu membuka suara. “Na, kamu kelihatan capek sekali. Tidurmu nggak nyenyak, ya?”
Aruna menggeser duduknya sedikit, masih menatap keluar jendela. “Iya, Pa. Susah tidur.”
“Kenapa? Banyak pikiran?” Ayahnya melirik lagi lewat spion, nadanya hati-hati.
Aruna mengangkat bahu. “Biasa aja.”
Keheningan kembali mengisi kabin. Ayahnya mengangguk kecil, tidak memaksa. Namun beberapa detik kemudian ia mencoba lagi.
“Kamu masih semangat kerja, kan? Papa lihat kamu makin sibuk belakangan.”
“Hmm.” Aruna menjawab pendek, pandangannya tetap tak beranjak dari trotoar di luar.
Ayahnya tampak ingin melanjutkan, tapi menahan diri. Ia hanya mengusap setir dengan ibu jarinya, lalu berkata lirih, “Kalau ada yang kamu nggak suka, Na… sebenarnya kamu bisa cerita sama Papa.”
Aruna akhirnya menoleh, menatap ayahnya dari kursi belakang. Ada sesaat di mana ia hampir membuka mulut, hampir menumpahkan seluruh sesak di dadanya. Tapi kalimat itu tercekat di tenggorokan, seolah ada dinding tebal yang menahannya.
“Tidak ada, Pa,” jawabnya singkat.
Ayahnya mengangguk pelan, tidak membantah lagi. Hanya ada keheningan yang terasa berat di antara mereka.
Beberapa menit kemudian, ibunya kembali dengan kantong belanjaan penuh buah segar dan kue. Wajahnya tampak puas. “Nah, ini lebih sopan dibawa. Ayo, kita lanjut.”
Mobil kembali melaju, membawa Aruna semakin dekat ke rumah Arkan—dan ke takdir yang sama sekali tidak ia pilih.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah megah dengan halaman luas dan taman yang tertata rapi. Rumah keluarga Arkan berdiri anggun, seolah memamerkan kemapanan yang sudah sejak lama dimiliki.
Pintu depan terbuka sebelum mereka sempat mengetuk. Ibu Arkan keluar dengan senyum lebar, mengenakan kebaya modern berwarna pastel. “Ah, akhirnya datang juga! Masuk, masuk… saya sudah siapkan teh.”
Ayah Arkan ikut menyambut, ramah namun berwibawa. Sementara itu, Arkan berdiri di belakang mereka, mengenakan kemeja putih sederhana. Senyumnya tipis, sekilas saja, namun tatapannya menempel pada Aruna lebih lama daripada yang seharusnya.
“Silakan duduk,” ucap Ibu Arkan sambil menuntun mereka ke ruang tamu yang sejuk dan rapi. Obrolan segera mengalir, penuh dengan tawa kecil dan diskusi tentang menu, dekorasi, dan rencana dua hari mendatang. Semua terdengar begitu damai, seolah tidak ada yang salah dalam perjodohan ini.
Namun Aruna merasa dadanya semakin sesak. Senyum ibunya, suara ramah Ibu Arkan, dan komentar ayahnya yang penuh persetujuan membuatnya merasa seperti bayangan di ruangan itu—ada, tapi tidak dianggap.
Dengan alasan ingin menghirup udara segar, Aruna berdiri perlahan. “Ma, saya keluar sebentar ya.”
Ibunya menoleh sekilas, lalu mengangguk tanpa curiga. “Jangan lama-lama, Na.”
Aruna melangkah keluar, menuju taman luas di belakang rumah. Aroma bunga kamboja bercampur dengan segarnya rumput yang baru disiram menyambutnya. Di bawah rindangnya pohon flamboyan, ia duduk di bangku kayu. Untuk pertama kalinya sejak pagi, dadanya terasa sedikit lega.
Ia memejamkan mata, membiarkan semilir angin menyapu wajahnya.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat membuatnya membuka mata. Arkan berdiri di hadapannya, membawa sebuah mangkuk salad buah berwarna cerah. Ia menunduk sedikit, menyodorkannya dengan hati-hati.
“Ini… kamu suka, kan?” katanya singkat, suaranya terdengar ragu.
Aruna ingin menolak. Ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin menerima apa pun darinya. Tapi aroma segar buah dan krim yang dingin menggoda inderanya. Ia memang suka salad buah, sejak dulu. Akhirnya, dengan enggan, ia mengambil mangkuk itu.
Tanpa menoleh pada Arkan, ia menyendok sedikit dan memasukkannya ke mulut. Manisnya melon dan segarnya anggur menyatu, membuatnya menutup mata sejenak, hampir lupa siapa yang memberinya.
Arkan masih berdiri, tampak bingung dengan sikap dinginnya. Lalu ia duduk di samping Aruna, menjaga jarak namun cukup dekat untuk terdengar jelas.
“Aruna…” suaranya pelan, seperti memilih setiap kata. “Aku tahu kamu nggak pernah benar-benar mau semua ini. Tapi… aku nggak bisa bohong. Ada sesuatu tentang kamu yang… membuatku nyaman.”
Aruna terkejut. Sendok yang baru saja ia angkat terhenti di udara. Perlahan ia menoleh, menatap Arkan dengan mata melebar, mencari-cari ketulusan di wajahnya.
Arkan menatap lurus ke depan, tidak berani menatap balik. “Aku sendiri nggak ngerti kenapa. Tapi setiap kali ada kamu… rasanya berbeda. Lebih tenang. Lebih… hidup.”
Jantung Aruna berdegup kencang. Kata-kata itu seperti angin yang tiba-tiba merobek dinding yang selama ini mengekangnya.
Tapi… benarkah? Atau ini hanya bagian dari kepura-puraan besar yang menjebaknya?