Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 23
"Aku nggak mau, Hil. Kamu aja sendiri," kata Arumi, ingin kembali masuk kedalam mobil begitu melihat gedung dengan lampu-lampu terang berkedip, sebuah klub malam yang riuh dan penuh dengan suara dentuman musik.
"Come on, Rum, ini cuma club, bukan rumah hantu," seru Hilda sambil menarik lengan Arumi agar tak kabur.
"Nggak Hil, aku nggak biasa." Tolak Arumi.
"Ayo lah," bujuk Hilda, suaranya berubah jadi sedikit manja. "Sekali-kali aja, kita harus refresh otak biar fresh. Masa tiap malam kamu cuma ngelamun di sofa sambil nonton drama Korea dan makan mie instan?"
Arumi mendecak pelan, melipat tangan di dada. "Kalau ke tempat begini, yang ada aku tambah pusing, bukan makin fresh."
"Ayo dong, mau ya." Pujuk Hilda.
Saat melihat wajah Hilda yang memelas, Arumi yang merasa kasihan akhirnya setuju. "Ok, tapi kita bentar aja ya." Katanya.
"Ayo dong, mau ya." Hilda memelas, bahkan menautkan kedua tangan di depan dada seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan.
Arumi mendesah pelan, mencoba menahan senyum. Sialnya, dia memang tak pernah tahan dengan wajah memohon Hilda seperti itu.
"Ya ampun, oke deh, Tapi bentar aja ya, Hil. Nggak sampai larut, dan kamu janji, nggak nyuruh aku joget," kata Arumi akhirnya, setengah pasrah.
"Yeees!" seru Hilda penuh semangat, langsung menggenggam tangan Arumi.
Hilda akhirnya tersenyum senang mengandeng tangan Arumi masuk ke dalam club'.
Hentakan musik yang keras, lampu-lampu warna-warni berkelip seirama dentuman bass yang memekakkan telinga dan aroma parfum bercampur alkohol menyeruak, membuat Arumi mengerutkan kening sejenak. Baru saja melangkah masuk, Arumi sudah merasa pusing.
Hilda menggandengnya erat, seolah tak membiarkan Arumi mundur satu langkah pun. “Nggak usah tegang begitu, Rum. Kita cuma duduk, minum soda, ngobrol, terus pulang. Oke?”
Arumi mengangguk pelan. “Oke, Tapi jangan tinggalin aku ya.”
“Mana mungkin. Kamu tamu kehormatanku malam ini.” Hilda tersenyum sambil menepuk pundaknya.
Keduanya akhirnya duduk di meja bar, yang berada sedikit di pinggir area dansa. Cahaya temaram dan lampu kelap-kelip membuat suasana di sekeliling mereka tampak seperti dunia lain, penuh dentuman musik, tawa, dan gerakan orang-orang yang menari tanpa beban.
"Mau minum apa, Rum?" teriak Hilda sambil membungkuk sedikit mendekat ke arah Arumi, berusaha mengalahkan dentuman musik disko yang menggema di seluruh ruangan.
"Jus aja!" balas Arumi tak kalah keras, mendekatkan mulutnya ke telinga Hilda.
Hilda melongo sejenak, lalu tertawa. “Jus? Di tempat kayak gini?”
Arumi mengangguk sambil tersenyum kecut. “Iya, jus. Kalau ada jus tomat, lebih bagus lagi. Biar sehat.”
Hilda mengangkat tangan menyerah. “Nggak ada jus tomat, jeruk mau!”
"Iya deh." teriak Arumi, berusaha mengimbangi bisingnya musik yang menghentak dari segala arah.
"Satu jus jeruk," kata Hilda pada bartender, yang segera mengangguk dan mulai meracik minuman.
Sementara menunggu, Arumi memutar pandangannya ke sekeliling. Lampu-lampu neon berkedip cepat, orang-orang berdansa seolah tak ada beban hidup, tertawa lepas, bersorak, dan menikmati malam. Suasana yang sangat kontras dengan isi kepalanya yang masih berantakan.
Tak butuh waktu lama, bartender kembali dengan segelas jus jeruk yang diletakkan di hadapan Arumi.
“Thanks,” ucap Arumi singkat, lalu menyentuh dinginnya gelas dan menyeruput perlahan. Rasa asam-manisnya menyegarkan, tapi tetap tak mampu menghapus jejak pahit yang masih tertinggal di pikirannya.
Hilda mencolek lengan Arumi, “Minumnya pelan-pelan, kamu kayak nggak pernah minum jus aja."
Arumi menoleh dan mengangkat alis. “Ya maklum, baru pertama masuk club. Otakku kaget.”
“Justru karena itu kamu harus sering-sering. Biar kagetnya hilang.” Hilda terkekeh mengangkat gelasnya yang berisi koktail berwarna merah muda cerah. “Cheers buat hidup baru!”
Ia pun mengangkat gelasnya pelan dan menyentuhkan ke gelas Hilda. “Cheers,” katanya lirih, namun dengan senyum yang mulai merekah tipis di wajahnya.
Hilda menggeser duduknya, matanya sejak tadi gelisah melirik ke lantai dansa yang kini penuh oleh orang-orang yang berjingkrak dalam gemerlap lampu strobo. Irama lagu berubah menjadi beat yang lebih menggoda, membuat Hilda tak bisa menahan diri lebih lama.
“Rum.” katanya sambil mencondongkan tubuh ke arah Arumi. “Aku kayaknya mau joget bentar, ya.”
Arumi menoleh, alisnya naik. “Serius? Baru juga duduk.”
Hilda menyeringai. “Lagu ini enak banget, Rum. Sumpah, kaki aku gatal banget pengen goyang.”
Arumi tertawa pelan. “Ya udah, sana. Tapi jangan lama-lama.”
“Janji! Tiga lagu aja, terus balik. Kamu duduk aja sini, jangan ke mana-mana,” ujar Hilda sambil menunjuk meja mereka.
"Iya, lagian aku mau kemana." Kata Arumi.
“Good girl!” Hilda mengecup udara lalu berdiri dan melangkah ringan menuju keramaian di lantai dansa, tubuhnya segera larut dalam gerakan penuh semangat.
Arumi menghela napas panjang, matanya mengikuti sahabatnya yang sudah melebur dalam lautan tubuh-tubuh asing yang menari dengan bebas. Ia memutar gelas jus di tangannya, menatap ke dalam cairan jeruk yang berkilau samar dalam cahaya lampu yang terus berganti warna.
Dentuman musik masih terus menghantam telinga, tapi seiring berjalannya waktu, Arumi mulai terbiasa. Sorotan lampu, riuh tawa, bahkan aroma alkohol yang semula membuatnya pusing, kini hanya menjadi latar dari pikirannya yang perlahan melonggar.
Ia meneguk sisa jusnya, lalu bersandar ke sandaran kursi, membiarkan pandangannya menerawang ke arah barisan orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Lampu-lampu kelap-kelip, wajah-wajah asing yang tertawa lepas, dan irama musik yang memekakkan telinga, semua berputar seperti mimpi di depan matanya.
Sesaat kemudian, Arumi memanggil bartender.
"Kak, satu lagi ya. Tapi yang kayak teman saya minum tadi," ucapnya sambil menunjuk ke arah gelas kosong milik Hilda.
Bartender sempat menatapnya sejenak, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan mulai meracik minuman yang sama, koktail manis dengan alkohol yang tersamar oleh rasa buah-buahan.
Arumi, yang sama sekali tak tahu jika minuman itu mengandung alkohol, mengira itu hanya semacam soda buah. Wajar, perempuan yang seumur hidupnya hanya mengenal jus, teh dan kopi serta minuman bersoda itu bahkan belum pernah menyentuh bir.
Begitu minuman datang, ia menatapnya dengan penasaran. Warna merah muda cerah dan potongan jeruk kecil di pinggir gelas membuatnya tampak menggoda.
Ia menyesap perlahan. Rasa manis dan asam buah menyentuh lidahnya, menyegarkan, namun ada sensasi hangat dan sedikit pahit yang menggelitik di tenggorokan. Arumi mengernyit pelan, tapi tak terlalu memikirkannya.
"Mungkin ini soda impor," gumamnya kecil, lalu kembali menyeruput.
Tak terasa, beberapa tegukan kemudian gelas itu hampir habis. Kepalanya terasa sedikit ringan, tubuhnya hangat. Suara musik yang tadinya memekakkan telinga kini terasa seperti gema jauh yang berputar-putar di telinga. Pundaknya mulai mengendur, dan napasnya sedikit melambat.
Arumi menutup mata sejenak, menikmati sensasi aneh yang perlahan menjalar dalam tubuhnya. Bukan nyaman, tapi juga bukan sakit. Seperti kepalanya mengambang pelan.
"Kak, toiletnya di mana?" Tanya Arumi pada bartender.
“Kak, toiletnya di mana?” tanya Arumi pada bartender sambil menahan keseimbangan tubuhnya di kursi tinggi itu.
Bartender menunjuk ke arah lorong di sisi kanan. “Lewat situ, belok kiri ya, Mbak,” katanya ramah.
"Makasih, Kak." Arumi berjalan dengan langkah sedikit sempoyongan, tangannya meraba-raba dinding untuk menjaga keseimbangan. Kepalanya terasa ringan, seperti melayang. Ia bahkan tak sadar bahwa langkahnya agak miring ke kiri, lalu ke kanan, seperti orang yang kehilangan arah.
Begitu sampai di toilet, ia membuka pintu dan masuk, langsung mencari wastafel.
Udara dingin di dalam ruangan itu membuatnya sedikit tersadar. Ia menatap wajahnya di cermin. Mata yang sembab, pipi memerah, dan pandangan yang mulai kabur.
Dengan cepat, Arumi membuka keran air lalu membasuh wajahnya. Berkali-kali. Ia berharap air dingin bisa menyapu semua rasa aneh di tubuhnya.
“Ini aku kenapa ya?” gumamnya pelan, mencoba mengingat.
Beberapa menit kemudian, setelah merasa sedikit lebih baik, ia keluar dari toilet.
Langkahnya pelan, tapi tetap goyah. Lorong yang ia lewati remang-remang, hanya diterangi lampu-lampu biru kecil di sepanjang dinding. Musik masih berdentum di kejauhan, tapi suara itu kini seperti berasal dari dunia lain.
Saat Arumi melewati satu pintu besi di ujung lorong, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya.
“Eh...!” Arumi tersentak, belum sempat bereaksi, tubuhnya sudah ditarik masuk ke dalam sebuah ruangan.
*****
Support author dengan like, komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up-nya. Terima kasih.....
smangat terus thor 💪💪💪
gpp lah lepas dari hansel
ketemu kai... Arumi menang banyakkkkk 😍😍😍😍