Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Cahaya yang Memudar
Langit di atas cakrawala Jakarta mulai berubah warna menjadi jingga yang pekat, seolah-olah seseorang baru saja menumpahkan tinta emas di atas kanvas biru yang lelah. Di sebuah balkon apartemen tua di lantai tujuh, seorang pria bernama Aris berdiri terpaku. Tangannya yang mulai menampakkan guratan urat memegang pagar besi yang terasa dingin. Baginya, senja bukan sekadar tanda berakhirnya siang, melainkan sebuah pengingat tentang waktu yang terus merayap pergi tanpa permisi.
Aris menarik napas panjang. Udara sore itu membawa aroma hujan yang belum tuntas jatuh, bercampur dengan asap kendaraan yang terjebak macet di bawah sana. Suara klakson yang bersahutan terdengar seperti simfoni kekacauan yang sudah sangat akrab di telinganya. Namun, di matanya, keramaian itu terasa begitu jauh. Ia merasa seperti penonton di barisan paling belakang sebuah teater yang sudah ia tonton ribuan kali.
"Masih di situ, Ris?" sebuah suara parau memecah lamunannya.
Aris menoleh perlahan. Di ambang pintu balkon, berdiri Pak Darmo, tetangga sebelah unitnya yang sudah menganggap Aris seperti adik sendiri. Pak Darmo membawa dua cangkir kopi yang uapnya masih mengepul tipis.
"Dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena kamu menatapinya begitu lama," lanjut Pak Darmo sambil menyodorkan satu cangkir.
Aris tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak sampai ke matanya. "Aku tidak sedang menunggu dunia berhenti, Pak. Aku hanya sedang menghitung berapa banyak sisa cahaya yang kita punya sebelum semuanya menjadi gelap."
Pak Darmo terkekeh, meski matanya menunjukkan rasa prihatin. "Kamu selalu bicara seperti penyair yang gagal. Padahal dulu kamu adalah arsitek yang paling sibuk yang pernah kukenal. Kenapa sekarang kamu lebih suka berteman dengan bayangan daripada dengan manusia?"
Aris tidak menjawab. Ia menyesap kopinya yang pahit, membiarkan cairan panas itu membakar kerongkongannya. Pertanyaan Pak Darmo adalah luka lama yang belum kering. Tiga tahun lalu, Aris kehilangan segalanya—pekerjaannya karena krisis ekonomi, dan yang lebih menyakitkan, ia kehilangan tujuan hidupnya setelah istrinya, Sarah, berpulang. Sejak saat itu, hidup Aris terjebak dalam rutinitas yang monoton. Ia bekerja sebagai ilustrator lepas dengan penghasilan seadanya, cukup untuk membayar sewa apartemen kecil ini dan membeli kopi murah.
Namun, ada satu hal yang tidak pernah diketahui orang lain. Di dalam laci meja kerjanya yang berdebu, tersimpan sebuah buku sketsa tua. Di dalamnya tidak ada gambar gedung atau denah rumah. Buku itu berisi mimpi-mimpi yang ia bangun bersama Sarah—mimpi untuk membangun sebuah rumah singgah bagi anak-anak terlantar di pinggir kota, sebuah tempat yang mereka sebut "Rumah Senja".
"Malam ini ada pasar malam di blok sebelah. Ikutlah denganku, Ris. Siapa tahu kamu bisa menemukan inspirasi untuk gambar-gambarmu," ajak Pak Darmo berusaha mencairkan suasana.
"Mungkin lain kali, Pak. Aku harus menyelesaikan beberapa pesanan malam ini," tolak Aris halus.
Pak Darmo menghela napas, menepuk bahu Aris kuat-kuat, lalu berlalu pergi. Kini Aris kembali sendiri. Matahari kini hanya menyisakan separuh lingkaran di ufuk barat. Di saat-saat seperti inilah, Aris sering kali mulai "bermimpi". Bukan mimpi saat tertidur, melainkan lamunan yang begitu nyata hingga ia bisa merasakan tekstur dinding kayu Rumah Senja yang pernah ia rancang, mendengar tawa anak-anak, dan mencium aroma bunga sedap malam yang ingin ditanam Sarah di halaman depan.
Ia melangkah masuk ke dalam ruangannya yang sempit. Lampu neon yang berkedip-kedip memberi kesan suram pada tumpukan kertas di atas meja. Aris duduk di kursi kayunya yang berderit. Matanya tertuju pada sebuah foto kecil yang terselip di sudut cermin. Foto Sarah yang sedang tertawa, dengan latar belakang matahari terbenam di pantai.
"Waktu kita hampir habis, kan?" bisiknya pada foto itu.
Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sebuah amplop cokelat yang baru saja ia ambil dari kotak pos sore tadi namun belum sempat ia buka. Dengan ragu, ia merobek ujungnya. Di dalamnya terdapat sebuah surat pemberitahuan bahwa lahan kosong di pinggir kota—lahan yang dulu ingin ia beli bersama Sarah—akan segera dialihfungsikan menjadi area pergudangan oleh sebuah perusahaan besar.
Jantung Aris berdegup kencang. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya. Lahan itu adalah titik nol dari mimpinya. Jika lahan itu hilang, maka Rumah Senja hanya akan menjadi sekadar coretan di kertas usang selamanya.
Ia melihat ke arah jendela. Semburat jingga terakhir hampir hilang, digantikan oleh biru tua yang pekat. Aris menyadari sesuatu. Selama ini ia hanya memandangi senja dengan kesedihan, menganggapnya sebagai tanda akhir dari segala hal. Namun, bukankah senja juga merupakan kesempatan terakhir untuk melakukan sesuatu sebelum malam benar-benar menjemput?
Tangannya gemetar saat ia membuka laci meja dan mengeluarkan buku sketsa tua itu. Debu-debu beterbangan saat ia meniup sampulnya. Ia membuka halaman demi halaman. Garis-garis yang ia buat sepuluh tahun lalu masih terlihat tegas. Harapan yang selama ini ia kubur dalam-dalam tiba-tiba meronta ingin keluar.
"Aku belum mati," gumamnya pada diri sendiri. "Waktu senjaku mungkin sudah tiba, tapi aku tidak mau menutup mata sebelum mimpi ini setidaknya memiliki pondasi."
Aris mengambil pensilnya. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia tidak menggambar karena pesanan atau karena tuntutan uang. Ia menggoreskan pensil itu dengan emosi yang meluap. Ia mulai merevisi denah Rumah Senja, menyesuaikannya dengan keadaan sekarang. Ia tahu perjalanannya akan sulit. Ia tidak punya cukup uang, ia tidak lagi memiliki relasi yang kuat, dan fisiknya tak lagi muda. Namun, kegelapan malam yang mulai menyelimuti ruangannya justru membuat tekadnya terlihat lebih terang.
Di luar, bintang pertama mulai muncul. Aris tidak lagi melihat ke langit dengan tatapan kosong. Ia menatap kertas di hadapannya seolah-olah itu adalah peta menuju keselamatan. Bab baru dalam hidupnya baru saja dimulai di saat orang lain berpikir semuanya sudah berakhir.
Malam itu, di bawah lampu meja yang temaram, Aris tidak tidur. Ia terus menggoreskan pensil, menghapus, dan menggambar lagi. Ia sedang membangun sebuah jembatan antara masa lalu yang pahit dan masa depan yang masih menjadi misteri. Di waktu senja hidupnya, Aris memutuskan untuk berhenti sekadar meratapi matahari yang tenggelam. Ia memilih untuk bermimpi, satu kali lagi, dengan seluruh sisa napas yang ia miliki.