Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 31 : Ombak Kecil yang Tumbuh
Waktu terus berjalan, dan kini tiga tahun telah berlalu sejak kelahiran Banyu. Kini, Banyu telah tumbuh menjadi balita berusia tiga tahun yang ceria dan penuh energi, dengan rambut ikal pendek dan mata berbinar yang mirip dengan Raka.
Dia sering berlarian di sekitar rumah, mengikuti jejak Rinai yang kini berusia 13 tahun, seorang remaja awal yang mulai menunjukkan minat besar pada seni dan menulis, mewarisi bakat kedua orang tuanya.
Keluarga kecil Aira dan Raka kini dipenuhi dengan tawa, canda, dan tentu saja, tantangan baru yang datang bersama dua anak yang sedang tumbuh.
Pagi itu, Aira sedang menyiapkan sarapan di dapur, pancake dengan sirup maple dan potongan buah untuk Rinai dan Banyu, serta kopi untuk dirinya dan Raka.
Dia mengenakan kaus panjang dan celana jeans, rambutnya di kuncir santai, wajahnya penuh semangat meskipun malam tadi Banyu terbangun beberapa kali karena mimpi buruk. Rinai duduk di meja makan, mengenakan seragam SMP-nya, tangannya memegang buku sketsa kecil tempat dia menggambar pemandangan laut dan dermaga yang sering diceritakan oleh Aira dan Raka.
“Mama, Rinai mau ikut lomba menulis cerpen di sekolah,” kata Rinai, matanya berbinar penuh antusias.
“Rinai mau tulis cerita tentang dermaga yang Mama sama Papa ceritain, tentang hujan sama payung. Boleh, ya, Mama?” tanyanya, nadanya penuh harapan.
Aira tersenyum, meletakkan piring pancake di meja lalu duduk di samping Rinai.
“Tentu boleh, Rinai. Mama seneng banget kamu mau tulis cerita tentang dermaga itu. Itu… itu cerita spesial buat Mama sama Papa. Mama yakin cerita kamu bakal bagus,” katanya, nadanya penuh kelembutan sambil mengelus rambut Rinai.
Banyu berlari kecil ke dapur, tangannya memegang mainan kapal kecil yang Raka buat dari kayu.
“Mama! Papa! Banyu mau laut! Kapal Banyu!” serunya, matanya berbinar saat menunjukkan mainannya.
Raka masuk ke dapur, mengenakan kemeja lengan pendek dan celana jeans, rambutnya sedikit berantakan tapi wajahnya penuh semangat.
Dia baru saja menyelesaikan ilustrasi untuk buku anak-anak terbaru yang diterbitkan bersama Aira, dan hari ini dia berencana membawa keluarganya ke Pantai Marina untuk refreshing.
“Pagi, Mama, Rinai, sama Banyu,” sapanya, tersenyum lebar.
“Aku denger tadi Banyu bilang mau ke laut?” tanyanya, mengangkat Banyu ke pangkuannya dan mencium pipi kecilnya.
“Pagi, Papa!” seru Rinai, tersenyum sambil melirik Banyu.
“Iya, Banyu bilang dia mau main kapal di laut. Papa, kita ke Pantai Marina, ya? Rinai juga mau cari inspirasi buat cerpen,” katanya, nadanya penuh antusias.
Aira tersenyum, memandang Raka dengan mata penuh cinta.
“Aku setuju, Raka. Udah lama kita enggak ke sana bareng. Aku… aku pikir Banyu bakal seneng main di pantai, dan Rinai bisa dapet ide buat ceritanya,” katanya, suaranya lembut.
Raka mengangguk, tersenyum lebar.
“Ide bagus, Aira. Kita ke Pantai Marina aja hari ini. Aku… aku juga kangen dermaga itu, tempat kita bikin banyak kenangan,” katanya, nadanya penuh nostalgia.
Setelah sarapan, mereka bersiap untuk pergi ke Pantai Marina. Aira membawa tas berisi bekal, roti lapis, air mineral, dan camilan untuk anak-anak, serta stroller kecil untuk Banyu jika dia lelah berjalan.
Rinai mengenakan kaus dan celana pendek, topi jerami kecil di kepalanya, sementara Banyu mengenakan baju renang kecil berwarna biru dengan gambar ikan, matanya berbinar saat melihat tas mainan pantainya.
Raka, seperti biasa, membawa kameranya untuk mengabadikan momen.
Perjalanan ke Pantai Marina terasa penuh tawa. Rinai duduk di kursi depan, bercerita tentang ide cerpennya, sementara Banyu di kursi belakang bernyanyi kecil tentang “kapal di laut” dengan suara sumbang yang menggemaskan.
Aira dan Raka saling melirik, tersenyum penuh kebahagiaan melihat anak-anak mereka yang begitu ceria.
Sampai di pantai, Banyu langsung berlari kecil ke arah pasir, tangannya memegang kapal kayu kecilnya, sementara Rinai duduk di dekat dermaga, buku sketsanya terbuka di pangkuannya, mulai menulis draf cerpennya.
Aira dan Raka duduk di tikar kecil yang mereka bawa, mengawasi anak-anak mereka sambil menikmati angin laut yang sejuk.
“Raka… aku ngerasa hidup kita penuh ombak kecil yang indah sekarang,” kata Aira, suaranya lembut sambil memandang Rinai dan Banyu.
“Rinai… dia udah besar, mulai nulis cerita sendiri. Banyu… dia penuh energi, bikin kita selalu sibuk. Aku… aku seneng banget kita bisa lewatin ini bareng,” tambahnya, matanya berkaca-kaca karena haru.
Raka tersenyum, memeluk pundak Aira dengan lembut.
“Iya, Aira. Rinai sama Banyu… mereka ombak kecil yang bikin hidup kita lebih hidup. Aku… aku bangga banget liat Rinai mewarisi bakat kita, dan Banyu… dia bikin setiap hari jadi petualangan baru. Aku sayang kalian,” katanya, nadanya penuh cinta.
Rinai berlari kecil ke arah mereka, buku sketsanya di tangan.
“Mama, Papa, Rinai udah dapet ide! Ceritanya tentang gadis kecil yang ketemu ikan ajaib di dermaga, terus ikan itu bantu dia nyari harta karun, harta karunnya adalah keluarga yang sayang sama dia!” katanya, matanya berbinar penuh antusias.
Aira tersenyum lebar, mengelus rambut Rinai.
“Bagus banget, Rinai. Mama suka banget ide ceritanya, penuh cinta, kayak cerita kita. Mama yakin cerita kamu bakal menang di lomba,” katanya, nadanya penuh kebanggaan.
Banyu berlari kecil ke arah mereka, tangannya basah karena bermain air di pinggir pantai.
“Mama! Papa! Banyu kapal! Ombak!” serunya, tersenyum lebar sambil menunjukkan kapal kayunya yang basah.
Raka tertawa kecil, mengangkat Banyu ke pangkuannya.
“Banyu hebat, ya, main kapal di ombak. Nanti Papa ajarin Banyu bikin kapal lagi, ya, biar Banyu punya kapal yang lebih besar,” katanya, nadanya penuh kelembutan.
Sore itu, mereka kembali ke rumah dengan Rinai dan Banyu yang lelah tapi bahagia. Aira meletakkan Banyu di ranjang kecilnya setelah memandikannya, sementara Rinai duduk di meja belajarnya, melanjutkan cerpennya dengan fokus. Setelah anak-anak tertidur, Aira dan Raka duduk di sofa, menikmati teh hangat sambil mengobrol tentang hari mereka.
“Raka… aku ngerasa hidup kita penuh petualangan kecil sekarang,” kata Aira, suaranya lembut sambil bersandar di dada Raka.
“Rinai sama Banyu… mereka bikin setiap hari jadi lebih berarti. Aku… aku seneng banget kita bisa jadi orang tua buat mereka,” tambahnya, matanya penuh rasa syukur.Raka tersenyum, memeluk Aira erat.
“Iya, Aira. Aku… aku juga ngerasa gitu. Rinai sama Banyu… mereka ombak kecil yang tumbuh, yang bikin hidup kita lebih indah. Aku… aku pengen kita terus ciptain petualangan baru bareng mereka,” katanya, nadanya penuh cinta.
Aira mengeluarkan kotak kayu kecil dari laci mereka, kotak yang berisi surat-surat untuk Rinai dan Banyu. Mereka membaca surat-surat itu bersama, air mata haru mengalir di pipi mereka saat mengingat perjalanan mereka sebagai orang tua.
Aira lalu mengambil pena, menulis surat baru untuk Rinai dan Banyu, menuangkan semua cinta dan harapan mereka untuk anak-anak mereka.
“Rinai dan Banyu sayang, Mama sama Papa menulis surat ini pas Banyu tiga tahun dan Rinai 13 tahun. Kalian… kalian adalah ombak kecil yang bikin hidup kami penuh cinta dan tawa. Mama harap kalian terus tumbuh dengan cinta, dengan keberanian buat ngejar mimpi kalian, dan selalu inget kalau Mama sama Papa sayang kalian selamanya,” tulis Aira, suaranya gemetar saat membacakan surat itu untuk Raka.
Raka tersenyum, mencium kening Aira dengan penuh kasih.
“Aira… aku ngerasa hidup kita kayak laut yang luas sekarang, penuh ombak kecil yang indah. Aku sayang kamu, selamanya,” katanya, nadanya penuh cinta.
Di bawah langit Semarang yang gelap, dengan Rinai dan Banyu tertidur damai di kamar mereka, Aira dan Raka saling berpelukan, merasa bahwa ombak kecil yang tumbuh, Rinai dan Banyu, adalah petualangan terindah dalam hidup mereka, petualangan yang akan terus mereka jelajahi bersama, dengan cinta sebagai kompas abadi mereka.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉