Kemala adalah seorang wanita mandiri yang masih memiliki suami. Namun karena suami yang sangat pelit ia terpaksa bekerja sambil membawa anak nya yang masih kecil. setiap hari Burhan suaminya hanya memberi uang sebesar 10.000 rupiah beserta uang jajan untuk nya. Selama menikah dengan Burhan ia hanya tahu bahwa Burhan adalah seorang supir truk pengangkut sawit, tanpa ia ketahui suaminya itu adalah manajer di perusahaan kelapa sawit terbesar di kota itu. bagaimana kah kelanjutan rumah tangga Kemala? akan kah badai itu terus menerus datang ataukah akan ada pelangi setelah hujan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uul Dheaven, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Mencoba Hal Baru
Sudah beberapa hari bang Burhan tidak pulang ke rumah, aku dan Aska merasa sangat bahagia. Tidak ada drama di pagi hari, tidak ada pukulan, cacian dan makian. Hidup ku terasa aman dan damai.
Setelah sarapan aku dan Aska akan pergi ke hutan untuk mencari ranting kayu dan apa saja yang bisa ku jadikan bahan untuk eksperimen ku.
Dua keranjang hasil anyaman telah bertengger di atas pundak ku. Aku berharap banyak dari hari ini. Tidak lupa pula aku membawa bubu untuk menangkap ikan-ikan di Kali.
"Bunda, di sini segar sekali ya udara nya."
"Iya sayang, di depan sana kan hutan akasia jadi udara nya masih sejuk. Yuk kita ke Kali Badak dulu."
Kami pun berjalan menuju satu-satunya Kali yang ada di sana. Aku akan memasang bubu. Mudah-mudahan dapat banyak ikan agar Aska bisa makan enak.
Setelah mengitari pinggiran hutan, aku banyak mendapat kan ranting pohon. Di sekitar sini juga banyak terdapat beberapa cangkang siput yang sudah kosong.
"Bun, ini apa kita ambil juga?"
Aska menunjuk sekumpulan keong emas yang berada di pinggiran Kali Badak. Aku sangat bersemangat mengumpulkan keong-keong itu. Selain bisa dimakan, cangkang nya juga bisa ku jadikan hiasan.
"Terima kasih ya Allah untuk rejeki hari ini."
Bubu yang ku pasang juga menghasilkan beberapa ikan. Walaupun tidak banyak, tapi cukup untuk ku dan Aska.
Kami pulang ketika sore hari. Karena jarak antara rumah dan hutan lumayan jauh. Kami pun sudah makan segenggam nasi di campur garam tadi untuk mengganjal perut kami yang keroncongan.
"Akhirnya sampe juga ya Bun." Ucap Aska dengan keringat yang membasahi baju dan keningnya.
"Aska capek? Aska mandi dulu trus istirahat ya sayang. Bunda mau menyiapkan menu spesial untuk anak kesayangan bunda."
"Oke Bunda."
Aku lebih memilih menyiapkan makan malam terlebih dahulu. Tak ku hiraukan bau badan yang menyengat. Kasihan anak ku sudah lelah seharian ini.
Setelah Aska mandi dan berganti baju, aku pun menyiapkan makan nya. Ku biarkan ia makan sendiri, karena aku harus siap-siap untuk mandi.
Terdengar suara gaduh saat aku sedang memakai pakaian. Entah siapa yang datang ke rumah ku sore-sore begini. Suara Aska bahkan terdengar sangat marah.
"Sayang, kenapa kok ribut-ribut nak? Ada apa ini?"
Ku lihat Aska sedang menangis sambil memegang piring di tangan nya. Di depan nya Bang Burhan datang bersama Tiwi dan Tika.
"Nasehatin anak kau ini Mala, jangan serakah dia. Kasihan Tika mau makan saja tidak boleh."
"Kak Tika mau ambil semua ikan milik Aska Bunda. Kak Tika nggak mau berbagi. Padahal ikan nya udah Aska bagi sama rata." Ucap anak ku masih sesenggukan.
"Tika kan mau nya ikan yang di piring Aska, tapi Aska nya pelit nggak mau tukaran."
"Bang, tolong jangan ganggu anak ku makan! Aska, makan di luar saja ya nak di rumah Wak Nur. Ini ikan nya di bawa juga sekalian makan disana."
"Iya Bunda, Aska pergi dulu ya."
Tanpa banyak membantah, Aska pun pergi meninggalkan kami di rumah tua ini. Ku pandangi satu-satu wajah orang aneh di depan ku ini. Sungguh, mereka benar-benar tidak tahu malu. Atau mungkin urat malu mereka memang tidak di ciptakan dari lahir.
"Kau itu memang kurang aj*r ya Mala! Di depan tamu kau itu bertingkah seperti ini. Apa mau ku h*j*r lagi kau hah!"
"Siapa tamu kita bang? Mereka?" Ucap ku sambil menunjuk Tiwi dan Tika dengan dagu.
"Memang tidak tahu sopan santun istri mu ini Burhan, jangan kan untuk makan, minum pun tidak ia suguhi untuk kami."
"Mau minum apa kak Tiwi? Air putih hangat atau air putih biasa? Maaf dirumah ini tidak ada kulkas apalagi sirup. Suami ku tidak mampu membeli yang seperti itu. Kalau pun kalian lapar, tunggu lah sebentar. Dirumah ini juga tidak punya rice cooker. Cuma ada periuk tua bekas mertua ku dulu." Ucap ku panjang lebar sekalian ingin menyindir bang Burhan.
"Banyak sekali omongan mu itu Kemala! Sudah pandai kau rupanya hah!"
"Apa ada yang salah dari perkataan Mala bang? Coba Abang tanya diri Abang sendiri. Apa yang sudah Abang lakukan untuk keluarga kita."
"Ma, Tika mau makan ikan kayak Aska."
Tiba-tiba Tika memotong pembicaraan kami. Seperti biasa, ia akan terus merengek sampai keinginan nya di kabulkan. Namun kali ini, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Mala, apa masih ada sisa ikan itu?"
"Sudah habis di bawa Aska semua bang. Lagian tadi tidak banyak kami dapat nya."
"Kau ambil lagi lah Mala, kasian Tika kepengen makan ikan itu. Berdosa nanti kau."
"Bayar dulu, karena ikan itu sangat mahal."
"Mahal apa nya? Ikan parit (Sejenis Kali, tapi lebih kecil) gitu aja mahal."
"Kalau memang tidak mau, silahkan cari sendiri di Kali Badak."
Aku tahu, bang Burhan tidak akan berani memukul ku di depan Tiwi dan Tika. Di depan mereka harga diri nya begitu tinggi.
"Berapa harga nya Mala?"
"Dua ratus lima puluh ribu rupiah."
"Apa? Ikan nggak jelas itu bisa semahal ini? Kamu jangan mengada-ada Kemala!" Ucap Tiwi tidak terima.
"Itu sudah biaya jalan kaki, biaya lelah, biaya membersihkan ikan dan biaya memasak. Kalau ku hitung biaya bumbu nya nanti bisa mahal lagi. Lumayan, sudah termasuk diskon. Bagaimana?"
Tampak bang Burhan berpikir keras, aku tahu uang segitu sangat rugi jika ia memberikannya kepada kami. Namun, ia juga tidak bisa menolak keinginan keponakan nya itu.
Bang Burhan langsung mengeluarkan uang tersebut tanpa ragu lagi saat ia melihat Tika yang hampir menangis. Luar biasa memang keponakan ku itu. Cocok sekali dia menjadi artis cilik dengan segala tingkah lakunya.
"Luar biasa ya bang, bahkan selama Aska hidup tidak pernah ia mendapatkan sesuatu yang mahal seperti ini. Tapi keponakan mu, hampir setiap hari kau manjakan."
"Jangan banyak omong kau Mala. Cepat ambilkan ikan itu."
Aku menghembuskan nafas kasar. Mau seperti apapun aku menyindir bang Burhan tidak akan peka.
Ku ambil ikan sisa milik ku di dapur, ku masukkan ke dalam kantong kresek dan ku berikan kepada Tika.
"Makan nya dirumah Tika aja ya, di sini nggak ada nasi dan minum. Nanti Tika bisa keselek tulang. Sakit loh nak, kayak di gigit harimau."
"Nggak mau, Tika takut. Mama ayo pulang kita makan dirumah aja."
Tanpa pamit, mereka langsung pergi meninggalkan rumah ku. Lega rasanya hati ini setelah mereka tidak ada lagi di hadapan ku. Ku lihat uang merah yang begitu mempesona. Kenapa tidak dari dulu aku melakukan hal ini. Toh apa yang ku minta adalah hal ku dan Aska.
"Assalamualaikum bunda, Aska pulang."
"Waalaikumsalam anak bunda. Udah siap makan nya?"
"Udah bunda. Kata Wak nur masakan bunda enak. Nanti katanya Wak nur mau di masakin kayak gitu juga."
"Iya sayang, yang penting ikan nya ada."
Ku pegang perut yang sudah keroncongan. Cacing-cacing mulai meminta hak nya. Ku lihat di dalam periuk masih menyisakan sedikit nasi sisa Aska makan tadi.
Lumayan lah untuk mengganjal perut ini. Ikan buatan ku hanya tersisa satu ekor. Sengaja tidak ku berikan semua kepada Tika, karena aku belum makan.
Setelah makan, aku pun merebahkan tubuh ku di atas kasur tipis ini. Kasur yang aku olah sendiri dari plastik-plastik sampah yang ku daur ulang. Plastik-plastik itu ku satukan hingga membentuk gumpalan.
Beruntung ada tetangga yang baik hati mau memberikan kasur bekas mereka yang sudah tidak layak pakai. Namun di tangan ku itu sangat berarti.
Tempat tidur pengantin milik ku, hadiah pernikahan dari bang Burhan telah di ambil oleh Ibu mertua. Dan aku hanya tidur di atas kasur ini sekarang.
"Bunda, bangun ada ayah di depan."
"Ayah? Kenapa ayah nggak masuk saja kerumah?"
"Pintu nya Aska kunci. Biar saja Ayah tunggu di luar. Ayah jahat tadi marahin Aska dan belain Tika. Pokoknya Aska marah sama Ayah."
Aku mengusap wajah ku kasar, entah apa yang harus kulakukan agar anak ku bisa berlapang dada memaafkan ayah nya. Namun, aku juga tidak bisa egois. Walau bagaimanapun bang Burhan adalah sosok pertama yang membuat hati Aska hancur.
Ku langkahkan kaki ku menuju pintu dan membuka handel nya.
"Lama sekali kau buka pintu Mala! Lama-lama ku hancurkan juga pintu itu."
"Ada apa Abang ke sini?"
"Ini rumah ku Mala! Rumahku! Terserah aku kapan mau pulang ataupun pergi. Kau tidak berhak mengaturku."
"Oke."
Hanya itu jawaban yang ku berikan, aku sudah sangat lelah dengan nya.
"Mana uang yang ku berikan tadi."
"Habis."
"Uang segitu kau belikan apa bisa habis dalam sekejap?"
"Beli beras sepuluh kilo, telur setengah papan, dan ikan asin."
"Semahal itu?"
"Iya. Kalau Abang nggak percaya lihat saja di belakang. Aku juga masih menyimpan bon nya. Nih, ambil."
Ku lihat wajah bang Burhan yang melongo. Selama ini ia tidak pernah mau tahu tentang harga bahan pokok bagi nya uang sepuluh ribu ditambah dua ribu itu sudah sangat banyak.
Bang Burhan lalu pergi entah kemana sambil membawa bon. Aku yakin ia akan mendatangi kedai tersebut. Ah, biarkan saja dia dengan segala pikiran nya. Aku masuk ke kamar kembali dan lanjut tidur bersama anak laki-laki ku.
a
a