Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Menikah
Pagi yang cerah, tetapi mentari tidak bersinar panas menyengat hanya ada langit yang teduh dan damai yang mendukung keberlangsungan acara pernikahan yang akan dilaksanakan di kediaman pemelai pengantin wanita.
Seorang pria yang menggunakan tuksedo dan stelan serba putih beberapa kali menghela napas panjang karena untuk kedua kalinya dia akan menguraikan janji suci pernikahan di depan tuhan, malaikat, wali, dan para saksi.
Duduk dengan tegap dan mengulurkan tangan yang siap menjabat tangan sang ayah mertua. Untuk kedua kalinya dia menjabat tangan yang sama yakni pria paruh baya yang menikahkan dia dengan putri-putrinya.
“Saya terima nikahnya Anindya Gradhita Mukti binti Suroyo Jati Kusumo dengan emas kawin tersebut dibayar tunai!”
“Bagaimana para saksi, sah?” penghulu menanyakan kesahan kepada para saksi.
“Sah!”
“Sah!”
“Alhamdulillah, bismilahirrahmanirrahim….,” penghulu memimpin membacakan doa keselamatan.
“Selamat, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang suami dan istri yang sah di mata agama dan hukum yang berlaku. Silakan Mas Satya, pasangkan cincin nikahnya ke jari manis Mbak Anindya, lalu bergantian.
“Cium tangannya Mas suami, Mbak Anin. Sok, mangga,” Anindya menuruti semua yang diperintahkan penghulu.
“Sekarang, cium kening istrinya, Mas,” perintah penghulu pada Arsatya.
Sungguh, di momen itu hati Anindya merasakan getaran hebat yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya saat bibir Arsatya yang terasa lembab dan dingin menyentuh dahinya dengan lembut dan dalam walau terasa singkat.
Tidak bisa dipungkiri, Anindya menginginkan sesuatu yang seperti ini, ketulusan cinta. Jika memang benar ketulusan itu nyata ada di dunia, maka Anindya akan berbahagia. Tetapi hatinya selalu menyakini jika tidak ada ketulusan yang murni di dunia ini, selalu ada tujuan untuk setiap peristiwa yang seharusnya menggembirakan.
Termasuk dirinya sendiri yang menyetujui pernikahan ini yang tidak lebih demi kelangsungan hidup kedua keponakan piatunya yang sangat dia sayangi. Jika saja tanpa alasan, Anindya enggan untuk menikah. Dia telah bertekad untuk tidak perlu mencari pasangan hidup atau jodohnya, dan mungkin bisa saja dia tidak akan menikah sampai akhir hayatnya karena peristiwa kelam yang dia alami belum lama itu.
Pernikahan yang biasanya dilanjutkan dengan pesta untuk merayakan momen bahagia setelah akad, tapi berbeda dengan pernikahan Anindya dan Arsatya. Mereka tidak merencanakan adanya resepsi apapun, tidak ada tamu yang datang selain keluarga, bahkan tidak ada sesi pemotretan. Selepas acara akad, mereka langsung kembali ke urusan masing-masing seperti kesepakatan yang sudah dibicarakan sebelumnya.
Sehari sebelum menikah.
“Anin, demi anak-anak. Bisakah kita bersatu? Menikahlah denganku.”
Jantung Anindya seakan berhenti berdetak untuk sesaat, dia hampir tersedak dengan air mineral yang sedang dia teguk. Duduk berhadapan di sofa ruang rawat Ansha dan Chesa, tanpa diduga Arsatya meminang Anindya.
“Mas Satya, apa yang kamu bicarakan?” tanya Anindya yang kebingungan dengan perkataan Arsatya.
“Aku melakukan ini bukan tanpa alasan, hanya demi anak-anak. Mereka membutuhkanmu setiap saat, sedangkan aku tidak leluasa membawa mereka bertemu denganmu karena kita bukan mahram yang bisa tinggal bersama. Maka, menikahimu adalah pilihan yang tepat supaya tidak ada pembatas antara anak-anakku dengan ASI-mu, mereka membutuhkan itu,” jelas pria itu.
“Tapi aku tidak ingin menikah, dan bagaimana dengan Kak Amelia?” tanya Anindya yang sempat tercekat menyinggung nama mendiang kakaknya. Pasalnya, Anindya pikir, kakak iparnya itu baru menduda belum genap sebulan, mudahnya dia akan menikahi wanita lain yang bahkan kali ini wanita yang akan dinikahi adalah adik kandung dari istrinya sendiri?
"Lantas, apa kata tetangga?" Batin Anindya bersuara.
“Itu yang akan aku bicarakan padamu, kita harus membuat kesepakatan di awal. Bahwa setelah menikah, tidak ada pemaksaan apapun. Aku tidak memintamu melayaniku, tidak. Dan kamu, kamu harus setuju jika aku tidak akan menggeser posisi Amelia dan tidak akan membuang apapun kenangan tentangnya. Selamanya posisi dia akan tetap nomor satu di hatiku. Kita harus sepakat untuk tidak saling memaksakan perasaan. Dan satu lagi, aku tidak ingin mempunyai anak. Jadi, tidak perlu cemas, kamu tidak punya kewajiban untuk melayaniku atau mengandung anak dariku. Tidak ada yang berubah setelah kita menikah, kita akan bebas menjalani kehidupan masing-masing,” ucap Arsatya menegaskan.
Anindya mengangguk-angguk. Bisa dibayangkan kehidupan setelah menikah nanti, tidak akan ada yang berubah atau dirugikan. “Baguslah, jika ini hanya demi Ansha dan Chesa. Aku setuju,” kata Anindya sepakat.
“Lalu, apa tugasku setelah menjadi istrimu?”
“Kamu bebas melakukan apapun, hanya satu yang kumohon dengan sangat padamu untuk memberikan ASI-mu pada anak-anakku sampai usia yang dianjurkan yakni sampai mereka berusia dua tahun. Maka selama waktu itu, kamu tidak boleh pergi,” ujar Arsatya.
“Bagaimana setelah masa menyusui dua tahun itu selesai?” tanya Anindya.
“Kamu boleh pergi dan mengakhiri pernikahan ini,” ucap Arsatya.
Anindya semakin mantap dengan penawaran yang kakak iparnya ajukan. Dari sorot mata Arsatya, tidak ada sedikit pun kebohongan atau keraguan dari setiap kalimat yang terucap, itu berarti dia serius dengan semua ucapannya bahwa setelah menikah tidak akan ada yang berubah dari kehidupan mereka.
Namun, siapa yang tidak percaya jika Tuhan itu Maha Membolak-Balikan hati dan perasaan manusia. Siapa yang dapat menjamin jika kehidupan tidak akan berubah seiring berjalannya waktu?
Siapa yang dapat menjamin jika selama kurung waktu dua tahun itu tidak akan ada yang berubah sedikit pun? Hanya masa yang bisa membuktikan apakah mereka bisa melawan takdir atau apakah takdir akan mengikuti skema kehidupan yang mereka inginkan?
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano