NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:931
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kesalahpahaman

Hari ini suasana sekolah terasa berbeda dari biasanya. Tidak ada suara bercanda berlebihan di koridor, tidak ada siswa yang mondar-mandir tanpa tujuan. Semua berjalan lebih tertib, lebih sunyi. Hari ini adalah ulangan semester pertama, dan pihak sekolah menerapkan sistem baru.

Semua kelas dicampur.

Mulai dari kelas sepuluh hingga dua belas, seluruh siswa ditempatkan di satu ruangan besar dengan bangku yang disusun berjarak. Alasannya sederhana—agar tidak ada yang bisa menyontek teman sekelas, atau bahkan sahabat sendiri.

Bagi sebagian siswa, hal ini bukan masalah besar. Namun bagi Elara, suasananya terasa… aneh.

Ia duduk di bangku barisan tengah, sendirian. Tidak ada Arsen. Tidak ada Ezra, Kairo, Leonhardt, atau Kaizen. Bahkan Nayomi dan Keira pun berada di ruangan berbeda. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Elara benar-benar sendiri di tengah keramaian.

Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri.

“Tenang, El. Fokus aja,” gumamnya lirih.

Tak lama kemudian, lembar soal dibagikan. Elara menunduk, membaca setiap pertanyaan dengan saksama. Tangannya bergerak cepat, menuliskan jawaban dengan rapi. Ia memang bukan tipe yang panik saat ujian. Selama belajar, ia percaya pada kemampuannya sendiri.

Waktu berjalan perlahan. Suara gesekan pensil dan kertas memenuhi ruangan.

Hingga tanpa sengaja—

plek.

Sesuatu jatuh dari bawah mejanya.

Elara tersentak kecil. Ia menunduk dan melihat selembar kertas tergeletak di lantai, tepat di bawah bangkunya. Kertas itu terlipat dan terlihat agak kusut.

“Apa ini…?” batinnya bingung.

Ia yakin kertas itu bukan miliknya.

Dengan gerakan cepat, Elara meraih kertas tersebut dan membukanya, berniat memastikan apakah itu hanya kertas kosong atau sampah biasa sebelum melaporkannya ke pengawas.

Namun detik berikutnya, jantungnya langsung berdegup keras.

Di kertas itu tertulis beberapa jawaban ulangan.

Belum sempat Elara mencerna apa yang terjadi, sebuah suara terdengar dari belakang bangkunya—cukup keras untuk menarik perhatian.

“El, kok kamu gitu sih? Pakai segala nyontek. Nggak boleh tau.”

Suara itu milik Vira.

Ruangan yang tadinya sunyi mendadak berubah. Beberapa siswa menoleh, lalu diikuti tatapan-tatapan lain. Bisik-bisik mulai terdengar pelan.

Elara menoleh cepat, wajahnya terkejut.

“Apasih? Gue nggak nyontek, ya!”

Namun kertas di tangannya sudah terlanjur terlihat.

Pengawas yang berdiri di depan ruangan langsung menghampiri. Langkahnya tegas, wajahnya serius.

“Berikan kertasnya,” ucap pengawas itu singkat.

Dengan tangan sedikit gemetar, Elara menyerahkan kertas tersebut.

“Apa benar kamu menyontek, Elara?” tanya pengawas sambil menatapnya tajam.

“Nggak, Bu,” jawab Elara cepat. “Kertas itu jatuh dari kolong meja saya. Saya kira cuma kertas biasa, jadi saya ambil.”

Pengawas membuka kertas itu. Alisnya berkerut.

“Tapi isinya jawaban ulangan.”

“Saya juga nggak tahu, Bu,” suara Elara mulai bergetar. “Saya benar-benar cuma ngambil karena jatuh. Saya nggak nyontek.”

Belum sempat pengawas menjawab, Vira kembali bersuara.

“El, kamu mending ngaku aja deh. Daripada muter-muter masalahnya.”

Beberapa siswa mengangguk setuju.

“Iya, El. Ngaku aja,” sahut yang lain.

Dada Elara terasa sesak. Pandangannya berkunang-kunang—bukan karena lelah, melainkan karena tekanan yang tiba-tiba datang dari segala arah.

“Tapi saya beneran nggak nyontek, Bu,” ucapnya lirih, nyaris memohon. “Saya nggak pernah nyontek di ulangan mana pun.”

Ruangan kembali sunyi.

Pengawas terdiam sejenak, menatap Elara cukup lama.

“Baik,” katanya akhirnya. “Saya tahu kamu tidak pernah bermasalah sebelumnya.”

Elara mengangkat kepala. Harapan kecil muncul di matanya.

“Tapi,” lanjut pengawas itu, “siapa yang bisa menjamin kalau kali ini kamu tidak melakukannya?”

Kalimat itu terasa seperti pisau tumpul yang menghantam tepat di dadanya.

“Saya percaya sama diri saya sendiri, Bu,” ucap Elara pelan. “Saya nggak nyontek.”

Pengawas menghela napas.

“Sudah. Sekarang lanjutkan ulangannya. Jangan diulangi lagi.”

Ia berbalik dan pergi.

Elara menunduk kembali ke lembar ulangannya. Tulisan di kertas mulai terlihat kabur. Tangannya yang tadi mantap kini terasa berat untuk bergerak.

Bisik-bisik masih terdengar.

Elara mengepalkan jemarinya di bawah meja.

Siapa yang melakukan ini padanya?

Ia kesal.

Ia bingung.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa sendirian di tengah banyak orang—tanpa satu pun yang membelanya.

★★★

Elara duduk sendirian di sudut kantin, agak jauh dari keramaian. Segelas jus mangga berada di tangannya, sudah berkurang setengah, namun rasanya hambar di lidah. Pandangannya kosong, menatap meja tanpa benar-benar melihat apa pun. Kepalanya masih dipenuhi kejadian di ruang ulangan tadi.

“Uhuk—uhuk!”

Elara terbatuk ketika seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.

“Eh! Maaf, El!” seru Nayomi panik.

Elara mengusap bibirnya, lalu menggeleng pelan.

“Iya… nggak apa-apa,” jawabnya lemah.

Nayomi langsung duduk di kursi seberangnya, menatap Elara dengan mata menyipit.

“Lo kenapa sih? Tumben murung. Apa gara-gara lo nggak satu ruang sama gue, jadi nggak semangat?”

“Halah, pede banget lo,” balas Elara, meski nadanya tidak setajam biasanya.

Nayomi mengerutkan kening.

“Serius, El. Ada apa?”

Elara terdiam sejenak. Tangannya mencengkeram gelas jus itu lebih erat.

“Tadi… gue dituduh nyontek.”

Nayomi membelalak.

“Hah? Yang bener?”

“Iya.”

“Tapi lo nggak nyontek, kan?”

“Ya jelas enggak. Lo tau sendiri gue nggak pernah nyontek.”

“Kok bisa—”

“Kertas,” potong Elara pelan. “Ada kertas jatuh dari bawah meja gue. Gue ambil karena gue kira sampah. Pas kebuka… isinya jawaban.”

Nayomi mengepalkan tangan.

“Berarti ada yang sengaja. Ada yang mau ngejatuhin lo.”

Elara tidak menjawab. Wajahnya tampak lelah.

Tak lama kemudian, langkah kaki mendekat. Arsen dan yang lain muncul, disusul Vira di belakang mereka.

“Hai, El. Nay,” sapa Ezra santai.

“Hai,” jawab Elara dan Nayomi bersamaan.

Mereka duduk mengelilingi meja. Kairo dan Leonhardt mulai bercanda kecil. Arsen duduk di samping Elara tanpa banyak bicara. Kaizen hanya melempar senyum tipis ke arah Nayomi.

Nayomi mencondongkan badan ke Elara dan berbisik,

“Kok dia ikut mulu sih?”

“Gue juga nggak tau,” jawab Elara pelan.

Obrolan berjalan ringan. Ezra dan Leonhardt berebut duduk lebih dekat ke Elara, membuat Arsen mendecak pelan. Untuk sesaat, Elara hampir lupa kejadian tadi.

Sampai suara Vira memecah suasana.

“Eh, kalian tau nggak?” ucapnya tiba-tiba.

“Tau apaan?” tanya Leo.

“Tadi El ketauan nyontek sama guru,” kata Vira ringan, seolah hanya berbagi cerita biasa.

Suasana berubah.

Elara menoleh cepat.

“Kenapa lo ceritain itu?” tanyanya datar.

“Kok nada lo gitu, El?” Vira mengangkat bahu. “Gue cuma nyeritain kejadian tadi.”

Kairo menyipitkan mata.

“Lo beneran nyontek? Nggak biasanya.”

Elara menarik napas, lalu menjelaskan ulang dengan suara terkontrol.

“Gue nggak nyontek. Kertas itu jatuh dari bawah meja gue. Gue kira sampah. Pas kebuka, isinya jawaban.”

Arsen dan Kaizen saling pandang. Mereka percaya.

“Tapi kan jatuhnya dari bawah meja lo,” sahut Vira pelan.

Elara menoleh tajam.

“Nggak semua yang ada di bawah meja itu punya gue. Dan lo kedengarannya kayak lagi mojokin gue.”

“Kalau nggak nyontek, harusnya lo nggak tersinggung,” timpal Kairo.

Sudut bibir Vira terangkat sedikit.

Elara tertawa kecil, pahit.

“Oh… jadi sekarang gue yang salah karena ngerasa tersudut?”

Ia berdiri.

“Terserah kalian mau percaya apa. Tapi nyatanya, kalian lebih cepat percaya cerita orang lain daripada sahabat kalian sendiri.”

Ia pergi tanpa menunggu jawaban.

“EL!” Nayomi bangkit cepat, menatap Vira tajam.

“Stop deh, Vira. El lagi pusing mikirin siapa yang naruh kertas itu. Lo malah nambah masalah.”

Nayomi menyusul Elara.

Meja itu kembali sunyi.

Kaizen berdiri, menatap Kairo dingin.

“Lo sadar nggak? Gara-gara omongan lo, El jadi marah.”

Arsen ikut bangkit, rahangnya mengeras.

“Dan gue nggak suka itu.”

Mereka pergi.

Sementara Vira tetap duduk diam, menunduk pelan.

Tak ada yang melihat bagaimana senyum tipis itu muncul kembali di wajahnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!