Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bintang di Antara Bara Api
Malam Minggu itu, suhu di Bumi Perkemahan Mandalawangi, Cibodas, turun drastis hingga menyentuh angka 18 derajat Celsius. Kabut tipis mulai turun menyelimuti tenda-tenda pleton yang didirikan oleh panitia acara Malam Keakraban Fakultas Ekonomi.
Sebagai dosen pembimbing kemahasiswaan, Argantara wajib hadir. Ia duduk di kursi lipat di barisan depan dekat api unggun yang baru saja dinyalakan. Ia mengenakan jaket parka tebal berwarna navy, terlihat gagah namun tetap berwibawa.
Sialnya, ketenangannya terganggu.
"Duh, Ga, asepnya ke arah sini terus deh. Mata aku perih," keluh Clarissa yang duduk tepat di sebelahnya.
Clarissa—yang entah bagaimana caranya berhasil ikut sebagai "Dosen Tamu Kehormatan"—tampak sangat salah kostum. Ia mengenakan coat bulu angsa mahal dan sepatu boots berhak tinggi yang jelas tidak cocok untuk tanah becek perkemahan. Sejak datang sore tadi, ia tidak berhenti menempel pada Arga, seolah menandai wilayah kekuasaannya di depan ratusan mahasiswa.
"Geser sedikit kursinya, Cla," jawab Arga datar, matanya menyapu kerumunan mahasiswa yang duduk melingkar di seberang api unggun. Ia mencari satu sosok.
"Males ah, dingin kalau jauh dari kamu," Clarissa justru menggeser kursinya semakin rapat, hingga lengan mereka bersentuhan. "Ga, abis acara ini kita ngopi di vila atas yuk? Aku bosen di sini. Acaranya norak, cuma nyanyi-nyanyi nggak jelas."
Arga tidak menjawab. Matanya akhirnya menemukan sosok yang dicari.
Intan duduk di barisan belakang bersama Sarah, berbaur dengan mahasiswa baru lainnya. Gadis itu mengenakan sweater rajut warna cream kebesaran dan beanie hat abu-abu. Ia terlihat sederhana, namun justru kesederhanaan itu membuatnya tampak manis dan menyatu dengan alam.
Intan sedang tertawa lepas menanggapi candaan teman di sebelahnya. Tawa yang renyah dan bebas—tawa yang jarang Arga lihat di apartemen.
"Oke, teman-teman! Sekarang saatnya sesi bebas!" seru Rangga selaku ketua pelaksana melalui pengeras suara. "Siapa yang mau nyumbang lagu buat ngangetin suasana? Yang berani maju dapet poin keaktifan plus-plus!"
Mahasiswa bersorak, tapi belum ada yang berani maju.
"Kalau nggak ada yang maju, kita tunjuk ya!" Rangga mengedarkan pandangan. Matanya sempat berhenti di Intan, tapi mengingat permintaan Intan untuk menjaga jarak, Rangga mengalihkan pandangannya.
Namun, Sarah punya rencana lain.
"Kak Rangga! Intan mau nyanyi!" teriak Sarah tiba-tiba sambil mengangkat tangan Intan tinggi-tinggi.
"Eh, apaan sih Sar!" Intan panik, berusaha menurunkan tangannya. Wajahnya memerah karena malu. "Gue nggak mau!"
"Halah, bohong! Di kostan lo nyanyi mulu kayak biduan! Ayo maju, tunjukin ke Pak Dosen kalau lo bukan cuma jago akuntansi!" kompor Sarah.
Sorakan mahasiswa mulai menggema. "Ayo Intan! Intan! Intan!"
Clarissa mendengus meremehkan. "Intan? Mahasiswi kamu yang kucel itu? Emang dia bisa apa selain cari muka?" bisiknya pada Arga.
Rahang Arga mengeras mendengar hinaan itu. "Dia punya nama, Cla. Dan dia pintar."
Di seberang sana, Intan akhirnya menyerah karena desakan teman-temannya. Dengan langkah ragu, ia maju ke area tengah dekat api unggun.
Rangga tersenyum, menyodorkan gitar akustik miliknya. "Bisa main gitar kan?"
Intan menerima gitar itu. Ia duduk di sebuah batang kayu besar yang dijadikan bangku. Jemarinya yang lentik mulai memutar tuning pegs, menyetem nada gitar dengan cekatan.
Arga menegakkan punggungnya. Ia belum pernah tahu Intan bisa bermain musik. Di apartemen, Intan selalu sibuk belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Arga sadar, ia tidak tahu apa-apa tentang "istrinya" sendiri.
Intan menarik napas panjang. Ia mendongak sedikit, matanya tak sengaja bertemu dengan mata Arga di balik nyala api unggun. Tatapan Arga begitu intens, seolah menunggunya.
Intan memetik senar gitar. Jreng.
Intro lagu mulai dimainkan. Petikan gitar yang halus, jazzy, dan penuh perasaan. Suasana yang tadinya riuh mendadak hening.
Lalu, Intan mulai bernyanyi.
"Malam... tangkaplah pesan ini...
Sampaikan pada dia yang tak pernah peduli...
Bahwa di sini... ada hati yang menanti...
Meski hanya dianggap bayang yang tak pasti..."
Suara Intan terdengar lembut, sedikit serak, namun memiliki power yang mengejutkan. Ia menyanyikan sebuah lagu balada populer, namun dengan aransemen akustik yang ia buat sendiri. Setiap lirik yang ia lantunkan terasa begitu menjiwai, seolah ia sedang menceritakan kisah hidupnya sendiri.
Mata Arga membelalak. Ia terpaku.
Suara itu... indah sekali.
Arga merasa lirik itu menamparnya. Dia yang tak pernah peduli. Arga tahu untuk siapa lagu itu dinyanyikan. Bukan untuk Rangga. Bukan untuk penonton. Itu untuknya.
Intan memejamkan mata saat mencapai bagian reff, membiarkan emosinya tumpah lewat nada. Ia melupakan rasa malunya. Di bawah sinar bulan dan api unggun, Intan bersinar. Ia bukan lagi mahasiswi semester satu yang polos; ia adalah seorang wanita yang memiliki pesona memikat.
Seluruh mahasiswa terdiam, terhipnotis. Bahkan angin malam seolah berhenti berhembus untuk mendengarkan.
Clarissa, yang tadinya sibuk main HP, kini meletakkannya. Ia menatap Intan dengan tatapan tidak percaya, bercampur iri. Ia melihat bagaimana semua mata—termasuk mata Argantara—terkunci pada gadis "kucel" itu.
Lagu berakhir dengan petikan gitar yang melambat lembut.
Hening selama dua detik.
Lalu, tepuk tangan gemuruh meledak.
"Gilaaa! Keren banget Tan!"
"Sumpah merinding gue!"
"Lagi! Lagi!"
Intan tersenyum malu-malu, rona merah kembali menghiasi pipinya. Ia mengembalikan gitar pada Rangga, lalu buru-buru lari kembali ke tempat duduknya di samping Sarah, menyembunyikan wajahnya di balik sweater.
"Biasa aja sih," komentar Clarissa ketus, berusaha memecah kekaguman Arga. "Suaranya standar penyanyi kafe. Nggak ada tekniknya. Kamu nggak usah terlalu terpesona gitu deh, Ga."
Arga menoleh perlahan pada Clarissa. Tatapannya dingin dan tajam.
"Dia luar biasa, Clarissa," ucap Arga tegas, tidak lagi berusaha menjaga perasaan wanita di sampingnya. "Dia punya sesuatu yang nggak bisa dibeli dengan teknik atau uang: Ketulusan. Dan malam ini, dia bintangnya."
Clarissa ternganga, wajahnya memerah menahan malu dan marah karena dibela di depan umum—meski hanya mereka berdua yang dengar.
Arga kembali menatap ke arah Intan yang kini sedang dipeluk heboh oleh Sarah. Ada rasa bangga yang membuncah di dada Arga. Rasa bangga memiliki istri yang begitu berbakat.
Namun, rasa bangga itu segera bercampur dengan rasa takut.
Arga melihat Rangga menatap Intan dengan pandangan yang semakin dalam. Ia melihat mahasiswa laki-laki lain mulai berebut mendekati Intan, menawarkan jaket atau minuman hangat.
Intan bukan lagi permata tersembunyi. Sinarnya sudah terlihat oleh dunia.
Ponsel Arga bergetar. Pesan dari Kakek Fauzi (lagi).
Kakek Fauzi:
Lagi apa, Ga? Jangan lupa, istri itu kayak bunga. Kalau nggak dirawat, dia layu. Kalau dirawat dengan baik, dia mekar. Tapi ingat, kalau sudah mekar, banyak kumbang yang datang. Jaga dia.
Arga meremas ponselnya. Kakeknya benar. Intan sudah mekar. Dan Argantara, si pemilik bunga yang lalai, kini harus bersaing dengan puluhan kumbang untuk mempertahankan apa yang seharusnya sudah menjadi miliknya.
Malam itu, di tengah dinginnya Puncak, hati Argantara terbakar oleh dua api: api unggun di hadapannya, dan api cinta yang terlambat menyala di dalam dadanya.
Ia berjanji, begitu acara ini selesai, ia tidak akan lagi membiarkan Intan pulang naik taksi. Tidak akan pernah lagi.
Bersambung....
makan tuh gengsi Segede gaban😄