Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Pagi itu udara masih menyisakan dingin sisa hujan semalam. Yun Qi berdiri di depan gerbang universitas dengan map cokelat di tangan, jari-jarinya menggenggam tepi kertas sampai agak kusut. Bangunan di hadapannya menjulang, abu-abu pucat dengan kaca-kaca besar yang memantulkan langit. Terlihat kokoh, rapi, dan… asing.
Ini dunia yang benar-benar baru. Ia menarik napas dalam-dalam, seperti biasa, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali melangkah ke tempat yang membuatnya merasa kecil. Seragam SMA sudah ia tinggalkan, kini ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Tidak ada yang mencolok. Tidak ada yang istimewa. Ia memilihnya dengan sengaja berbaur adalah cara paling aman.
Di sekelilingnya, mahasiswa baru lain berdiri berkelompok. Ada yang tertawa terlalu keras, ada yang sibuk mengambil foto, ada yang menggenggam tangan orang tua mereka dengan wajah gugup. Yun Qi berdiri sendiri. Tidak canggung, tidak juga percaya diri ia hanya terbiasa sendiri. Ponselnya bergetar di saku.
Hao Yu: Sudah sampai?
Yun Qi menghela napas pelan sebelum membalas.
Yun Qi: Iya, Ge. Baru saja sampai.
Beberapa detik berlalu.
Hao Yu: Jangan lupa makan siang. Jangan pulang terlalu malam.
Pesan itu singkat, seperti biasa. Tidak ada kata manis, tidak ada kalimat panjang. Tapi Yun Qi membaca sesuatu di baliknya kebiasaan lama yang tak pernah berubah. Ia mengetik balasan.
Yun Qi: Baik.
Ia menatap layar sebentar sebelum menguncinya. Tidak ada lanjutan. Tidak perlu. “Permisi,” suara seorang perempuan menyentaknya. “Ini… Fakultas Ekonomi, ya?” Yun Qi menoleh. Seorang gadis dengan rambut sebahu dan kacamata bulat berdiri di sampingnya, memegang brosur orientasi yang dilipat-lipat.
“Iya,” jawab Yun Qi. “Gedung A.”
“Oh, syukurlah.” Gadis itu tersenyum lebar. “Aku kira nyasar.” Yun Qi ikut tersenyum kecil. “Aku juga hampir salah masuk.”
Mereka berjalan berdampingan melewati gerbang. Langkah mereka tidak sepenuhnya seirama, tapi cukup dekat untuk tidak terasa asing. “Aku Lin Wei,” kata gadis itu sambil melirik Yun Qi. “Kamu?”
“Yun Qi.”
“Nama kamu bagus,” kata Lin Wei tanpa ragu. “Kedengarannya lembut.” Yun Qi sedikit terkejut. “Terima kasih.”
Gedung A ramai. Suara langkah kaki bercampur dengan suara panitia orientasi yang memanggil nama-nama. Yun Qi duduk di kursi baris tengah, Lin Wei di sampingnya. Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali bertukar pandang ketika panitia bercanda atau ketika suara pengeras sedikit mendengung.
Saat sambutan rektor berlangsung, Yun Qi memperhatikan detail kecil: bagaimana cahaya lampu memantul di podium, bagaimana mahasiswa di baris depan tampak terlalu serius, bagaimana beberapa orang diam-diam membuka ponsel di pangkuan. Ia tidak merasa takut. Tapi ada perasaan asing seperti berdiri di ambang pintu yang sangat besar, dan ia belum yakin apakah ingin masuk sepenuhnya. “Eh,” Lin Wei berbisik, “kamu tinggal di asrama?” Yun Qi menggeleng. “Apartemen.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Oh.” Lin Wei terlihat terkejut, lalu cepat-cepat tersenyum. “Keren juga.” Yun Qi tidak menjawab. Ia tidak merasa itu keren. Ia hanya… terbiasa.
Siang itu, setelah orientasi selesai, Yun Qi berjalan keluar kampus sendirian. Ia menolak ajakan Lin Wei untuk makan bersama bukan karena tidak ingin, tapi karena ia belum siap. Terlalu banyak wajah baru, terlalu banyak suara. Ia duduk di bangku taman kecil di seberang gedung, membuka bekal sederhana yang ia bawa dari rumah. Nasi dan lauk sederhana. Tidak mewah, tapi cukup. Saat ia makan, ponselnya kembali bergetar.
Hao Yu: Bagaimana?
Yun Qi mengunyah perlahan sebelum membalas.
Yun Qi: Baik. Kampusnya sangat besar.
Hao Yu: Ada yang mengganggu?
Yun Qi menatap layar. Pertanyaan itu membuat dadanya sedikit menghangat.
Yun Qi: Tidak ada.
Beberapa detik kemudian.
Hao Yu: Bagus.
Ia menyimpan ponsel. Angin berhembus pelan, membawa suara tawa dari kejauhan. Yun Qi menatap langit di antara dedaunan. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa kosong sepenuhnya.
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Jadwal kuliah padat, tapi Yun Qi menyukainya. Ia duduk di barisan depan, mencatat dengan rapi, mendengarkan dosen dengan saksama. Tidak ada yang terlalu memperhatikannya dan itu bagus.
Ia mulai mengenal ritme kampus: antrean panjang di kantin, perpustakaan yang selalu dingin, suara sepatu di koridor saat jam pergantian kelas. Ia mulai mengenal beberapa wajah, beberapa nama. Lin Wei sering menunggunya setelah kelas. “Qi, ke perpustakaan bareng?” Kadang Yun Qi mengangguk. Kadang ia menolak dengan halus. Lin Wei tidak memaksa dan itu membuat Yun Qi nyaman.
Sore itu, Yun Qi pulang lebih lambat dari biasanya. Matahari hampir tenggelam ketika ia keluar dari kampus. Ia menunggu bus di halte, memeluk tasnya. Ia merasakan sesuatu seperti tatapan. Ketika ia menoleh, tidak ada siapa-siapa yang mencurigakan. Hanya lalu lintas biasa, orang-orang pulang kerja, suara klakson.
Namun perasaan itu tidak hilang. Ia teringat Fan Xiao. Sejak malam listrik padam itu, pria itu tidak pernah muncul lagi di hadapannya. Tapi Yun Qi tahu ia tidak pergi. Ia hanya menjaga jarak, seperti janjinya. Bus datang. Yun Qi naik, duduk di dekat jendela. Saat bus bergerak, ia melihat pantulan mobil hitam di kaca berjarak cukup jauh, mengikuti dengan tenang. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Ada rasa aman yang aneh, dan itu membuatnya tidak nyaman pada saat yang sama.
Malam itu, Yun Qi duduk di meja belajar, membaca ulang catatan kuliah. Pikirannya melayang. Ia memikirkan kampus, wajah-wajah baru, kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia juga memikirkan Hao Yu.
Pria itu kini berada di belahan dunia lain, sibuk dengan rapat, proyek, dan kehidupan yang tidak pernah benar-benar ia pahami. Tapi bayangannya tetap ada di pesan singkat, di perlindungan diam-diam, di kehadiran tak terlihat. Ponselnya bergetar.
Hao Yu: Sudah di rumah?
Yun Qi: Sudah.
Hao Yu: Bagus. langsung Istirahat.
Yun Qi menatap pesan itu lama. Lalu, untuk pertama kalinya, ia mengetik sesuatu yang tidak ada di kebiasaannya.
Yun Qi: Ge… Terima kasih.
Balasan tidak datang cepat kali ini Ketika akhirnya muncul, hanya satu kalimat.
Hao Yu: Itu tugasku.
Yun Qi tersenyum tipis. Ia meletakkan ponsel, bersandar di kursi. Di luar jendela, lampu kota mulai menyala satu per satu. Ia tahu hidupnya sedang bergerak. Perlahan, pasti, dan tidak bisa ditarik kembali.
Universitas bukan hanya gerbang menuju masa depan. Ia juga jarak baru antara dirinya dan pria yang selama ini menjadi dinding pelindungnya. Dan tanpa mereka sadari, jarak itu tidak membuat segalanya menjauh. Justru sebaliknya.