NovelToon NovelToon
Hanasta

Hanasta

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Romantis / Psikopat itu cintaku / Mafia
Popularitas:10
Nilai: 5
Nama Author: Elara21

Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.

sanggupkah ia lepas dari suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hanasta 7

Pagi itu langit masih abu-abu ketika mobil hitam panjang milik Soni berhenti di depan gedung tinggi milik perusahaannya.

Gedung itu megah, penuh kaca, dan sangat sibuk.

Setiap karyawan yang masuk menunduk dengan penuh hormat.

Hana duduk di dalam mobil, kedua tangannya menggenggam tas kecil miliknya.

Kedua penjaga duduk di kursi depan, siap memastikan ia tidak pergi ke mana pun.

Soni menatap Hana sebelum turun.

“Ingat,” katanya pelan,

“kau tidak bicara kecuali aku izinkan.”

Hana mengangguk. “Baik, Tuan…”

Soni tersenyum tipis.

“Dan hari ini… aku ingin semua orang tahu siapa kau sebenarnya.”

Hana menelan ludah gugup.

“Apa maksud Anda…?”

Soni membuka pintu mobil dan keluar.

“Bahwa kau adalah istri Soni Mahendra—dan tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhmu tanpa izinku.”

Hana membeku.

Dia… akan memperkenalkan Hana sebagai istrinya?

Di depan semua orang?

Di perusahaan?

Itu berarti tidak ada tempat di luar mansion yang aman lagi untuk Hana.

Di Lobby Perusahaan

Begitu Soni masuk, semua karyawan berdiri.

“Selamat pagi, Tuan Soni!”

Soni berjalan dengan wibawa mengerikan, sementara Hana mengikutinya beberapa langkah di belakang, dijaga dua pria besar.

Para karyawan mulai berbisik:

“Siapa wanita itu?”

“Cantik sekali… tapi kenapa dia terlihat takut?”

“Itu bukannya… istri mudanya Tuan Soni?”

“Serius? Yang lebih muda 25 tahun itu?”

Hana menunduk dalam-dalam, wajahnya memanas.

Ia merasa semua mata menusuknya.

Lalu, dari antara kerumunan, seseorang terpaku saat melihat Hana.

Seorang wanita—usia sekitar 30-an, elegan, mata tajam.

Namanya Viona, sekretaris pribadi Soni.

Ia mengenali Hana.

Ia pasti mengenalinya.

Mata Viona melebar.

“Hanasta…?”

Bisikannya pelan, tapi penuh kejutan.

Hana membeku.

Jantungnya turun ke perut.

Ia mengenal suara itu.

Ia mengenal wanita itu.

Viona adalah seseorang dari masa lalu Hana.

Seseorang yang tahu cerita yang seharusnya tidak pernah dibuka kembali.

Soni menoleh.

“Terlambat apa, Viona? Kau tidak selamat pagi pada istriku?”

Viona terkejut mendengar kata itu.

“Istri… Anda?”

Ia menatap Hana lagi, seolah tak percaya.

“Hanasta… kau… menikah dengan Tuan Soni?”

Hana menunduk cepat.

“S-selamat pagi…”

Soni tersenyum bangga—senyum seorang laki-laki yang ingin menunjukkan kekuasaannya.

“Karyawan semua!”

Suaranya terdengar jelas sampai ke ujung lobby.

Semua orang berhenti bekerja, melihat ke arah Soni.

“Hari ini aku perkenalkan seseorang yang sangat penting.”

Ia menarik Hana ke depan dengan lembut—terlihat lembut, namun Hana tahu itu hanya topeng.

“Ini…” kata Soni sambil memegang pinggang Hana,

“Hanasta Sarry Mahendra — istri sahku.”

Suara bisik-bisik langsung meledak.

“Istrinya…”

“Cantik banget, tapi kenapa dia kayak ketakutan?”

“Dia masih muda sekali… wow.”

“Tuan Soni benar-benar memilih wanita muda.”

Hana hanya mampu menunduk.

Namun Soni menekan punggung Hana pelan—memaksanya mengangkat wajah.

“Tersenyumlah.”

Hana tersenyum… namun senyum itu rapuh.

Soni kemudian berkata pada seluruh karyawan:

“Mulai hari ini, semua urusan yang menyangkut istriku…

harus melalui aku.”

Para karyawan mengangguk patuh.

Sekarang mereka tahu bahwa Hana tak tersentuh, tak bisa didekati, dan… terjebak di bawah kekuasaan Soni.

Momen yang paling mematikan terjadi beberapa menit kemudian

Saat Soni menuju ruang rapat utama,

Viona mendekati Hana—menyempatkan diri 2 detik, karena penjaga mengawasinya.

“Hanasta…” bisik Viona lirih,

“kenapa kau ada di sini?

Apa yang Soni lakukan padamu…?

Bagaimana dengan kejadian dulu?”

Hana membeku.

Matanya melebar ketakutan.

Viona…

tahu masa lalunya yang harusnya terkubur.

Penjaga mendorong Viona sedikit.

“Jangan dekat-dekat.”

Soni menoleh dan melihatnya.

“Viona.”

Nada suaranya datar… tapi mematikan.

“Aku tidak suka sekretarisku mengganggu istriku sebelum jam kerja.”

Viona menelan ludah.

“Maaf, Tuan… saya hanya—”

“Cukup.”

Soni menatapnya tajam.

“Jaga jarak.”

Viona menunduk, namun matanya masih mengunci pada Hana—penuh kekhawatiran dan rasa ingin tahu.

Hana berbalik, mengikuti Soni ke ruang rapat.

Tapi dalam hati Hana berkata:

Semuanya sudah hancur.

Kalau Viona buka mulut… Soni akan tahu semuanya.

Dan James… tidak boleh tahu masa laluku.

Tidak boleh.

Saat pintu ruang rapat tertutup—

Soni berkata pelan di dekat telinga Hana:

“Lihat? Semua orang tahu kau istriku.”

Ia menyeringai dingin.

“Kau tidak akan kemana-mana lagi.”

Hana menunduk, air mata jatuh tanpa suara.

Dan di lantai dua gedung itu…

seseorang diam-diam mengamati dari balik kaca.

Rapat selesai menjelang siang.

Para eksekutif keluar satu per satu.

Soni berbicara dengan direktur lain, sementara dua penjaga berdiri dekat Hana, memastikan ia tidak melangkah terlalu jauh.

Hana menunduk, tangan menggenggam tas kecilnya erat.

Matanya terasa panas, kepalanya berat.

Ia sangat ingin duduk di tempat yang tidak ada Soni di dalamnya.

Saat Soni berbalik untuk berbicara dengan pimpinan divisi, Viona melihat momen itu.

Ia melangkah cepat menuju Hana.

“Hana,” panggilnya pelan.

Hana tersentak kecil.

Penjaga langsung menatap Viona tajam.

“Jarak,” kata penjaga itu.

Viona mengangkat tangan, menunjukkan ia tidak punya niat buruk.

“Saya hanya mau bicara sebentar. Dua menit saja.”

Penjaga itu melihat ke arah Soni.

Soni sedang sibuk… dan tidak melihat.

Itu kesempatan langka.

Penjaga akhirnya mengizinkan dengan syarat mereka berdiri dekat pintu kaca yang transparan.

Hana menunduk, tidak berani menatap wajah Viona yang familiar itu.

Namun Viona mengambil langkah kecil mendekat.

“…Hanasta Sarry?”

Suaranya lebih lembut, tidak seperti sekretaris dingin yang biasa orang lihat.

Hana mengencangkan genggaman pada tasnya.

“Saya… tidak ingat banyak dari masa lalu, Bu…”

Itu bohong.

Viona tahu itu.

Viona menghela napas.

“Kau tidak berubah… masih mencoba melindungi semuanya kecuali dirimu sendiri.”

Hana menggigit bibir.

“Kita… tidak boleh bicara tentang hal itu lagi.”

Viona mendekat selangkah.

“Kau takut pada Soni, ya?”

Hana menunduk lebih dalam.

Viona melihat bekas merah samar di pipi Hana, lehernya yang sedikit memar, dan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan.

“Hanasta…” katanya sangat pelan,

“Aku tahu kenapa kau diam.”

Hana menahan napas.

“Aku tahu kau ada di tempat itu saat Ibu James meninggal.”

Ia menatap mata Hana dalam-dalam.

“Tapi aku juga tahu satu hal penting…”

Hana merasakan tubuhnya goyang.

Kedua pelayannya menoleh, tapi tidak bergerak.

Viona mendekat sedikit, seperti melindungi Hana dengan tubuhnya sendiri.

“Kau tidak bersalah.”

Hana langsung menutup mulutnya, menahan isakan yang hampir pecah.

Viona melanjutkan cepat, sebelum penjaga curiga:

“Kau mencoba memanggil bantuan.

Kau satu-satunya yang mencoba menolong.

Dan Soni yang memutar semuanya.”

Hana menggeleng, air mata mulai jatuh.

“Jangan… tolong… jangan katakan itu keras-keras…”

Viona menatapnya penuh rasa simpati yang tidak pernah Hana terima selama 2 tahun terakhir.

“Dengarkan aku.”

Viona meraih tangan Hana pelan-pelan — sebuah sentuhan manusiawi yang terasa asing bagi Hana.

“Soni menjadikanmu kambing hitam.”

“Soni memaksa kesalahan itu padamu.”

“Dan kau percaya karena kau terlalu takut.”

Hana menangis sekarang, meski berusaha diam.

“Tolong berhenti…” katanya lirih.

“Kalau Soni tahu kita bicara… Anda dalam bahaya…”

Namun Viona tersenyum kecil—sedikit sedih.

“Aku tidak takut pada Soni, Hana.”

“Aku takut melihatmu mati pelan-pelan di tangan laki-laki itu.”

Hana merasa lututnya melemah.

Viona menatapnya dalam.

“Aku di sini,” katanya.

“Kau tidak sendirian.”

Hana akhirnya tersengal, menatap Viona dengan mata berair.

“Bu… Bu Viona… saya tidak bermaksud menyakiti Ibu James… saya hanya—”

Viona mengangguk.

“Aku tahu.

Dan aku akan bantu kau lepas dari dia.”

Hana tertegun.

Matanya melebar, tubuhnya membeku.

“Lepas… dari Soni?”

Viona menegakkan bahu.

“Ya.

Pelan-pelan. Aman. Rapi.”

“Aku tahu rahasianya. Dan aku tahu celahnya.”

Sebelum Hana sempat bertanya, suara berat muncul dari belakang:

“Apa yang kalian bicarakan?”

Hana langsung pucat.

Viona juga terpaku.

Soni berdiri di belakang mereka.

Wajahnya tenang.

Terlalu tenang.

Tatapannya bergantian ke Hana… dan Viona.

Dan ia tersenyum.

Tersenyum yang sangat berbahaya.

Ruangan kantor di lantai 28 itu tiba-tiba terasa jauh lebih kecil—

semakin kecil, semakin menekan, semakin sulit bernapas.

Hana berdiri di tengah ruangan, kedua penjaga di belakangnya,

sedangkan Soni berdiri di depan, tubuhnya tegak, wajahnya dingin seperti marmer.

Kertas kecil berisi peringatan dari masa lalu masih berada di tangan Soni.

Kertas sederhana…

tapi di mata Soni itu bukti pengkhianatan.

Soni memegangnya seperti sesuatu yang menjijikkan, lalu meremasnya perlahan.

“Kau berani menyimpan ini selama dua tahun?”

Suara Soni terdengar sengaja diperlambat,

setiap kata seperti pisau yang diarahkan tepat ke hati Hana.

Hana meremas bajunya, menahan tangis.

“S-saya benar-benar lupa itu ada di tas saya… saya tidak pernah berniat—”

“Diam.”

Soni melangkah maju, jaraknya terlalu dekat.

Hana mundur satu langkah, tapi penjaga di belakangnya menutup jalur.

Tidak ada ruang untuk lari.

Tidak ada ruang untuk bernafas.

Tidak ada ruang untuk mengatakan kebenaran… atau kebohongan.

Soni menatap Hana lama.

“Hanasta,” katanya perlahan, suaranya turun menjadi sangat rendah,

“Aku tidak peduli isi kertas ini.

Yang aku pedulikan adalah siapa yang menulisnya.”

Soni mencondongkan wajahnya.

“Viona.”

Hana menunduk cepat.

Dadanya bergetar.

“Tuan… tolong… biarkan saya jelaskan…”

“Tidak.”

Soni memotongnya tajam.

“Tadi pagi aku lihat cara Viona menatapmu.

Itu bukan tatapan sekretaris yang sopan.

Itu tatapan seseorang yang tahu sesuatu.

Dan aku tidak suka orang lain tahu hal-hal yang seharusnya hanya aku yang tahu.”

Soni melirik penjaga.

“Bawa dia ke ruangan bawah jika dia masih berbohong.”

Penjaga langsung bergerak satu langkah maju.

Hana refleks mengangkat kedua tangan, panik.

“T-tunggu! Tunggu Tuan, saya bicara! Tolong dengarkan saya!”

Soni mengangkat alis, seolah memberi kesempatan.

“Apa yang Viona tahu?”

Hana menunduk.

Menahan isakan.

Menahan ketakutan yang selama dua tahun ia kubur dalam.

“…dia tahu…”

Suara Hana pecah.

“…tentang saya dan… kejadian itu…”

Soni menajamkan mata.

“Jelaskan.”

Hana menggigit bibirnya hingga berdarah.

“…kejadian dengan Ibu James.”

Suasana ruangan seketika hening.

Sangat hening.

Udara seolah membeku.

Soni mendekat, pelan namun mematikan.

“Sudah berapa kali aku bilang…?”

Suaranya serak namun dingin.

“Jangan menyebut ‘dia’ di depanku tanpa izin.”

Hana mengangguk cepat, “Maaf… maaf Tuan…”

Soni mengitari Hana.

Pelan-pelan, seperti predator menilai mangsanya.

“Aku ingin mendengar detailnya.

Dari mulutmu.

Tanpa editan.”

Hana menutup mata.

Air mata mengalir.

Di ingatannya—

hari itu kembali.

Hujan deras.

Jalan licin.

Lampu mobil pecah.

Jeritan seseorang.

Dan suara Soni yang berbisik: “Diamkan saja, atau hidupmu berakhir.”

Tangan Hana gemetar hebat.

“Tolong…” bisiknya, “jangan buat saya mengulangnya…”

“Tapi kau harus mengulangnya.”

Soni kini berdiri di belakangnya.

Jaraknya dekat sekali, namun tidak menyentuh.

Hanya menekan dengan kehadirannya.

“Katakan.”

Suara itu memerintah.

Tidak ada ruang untuk menolak.

Hana menarik napas panjang yang pecah.

“Viona tahu saya ada di lokasi… ketika kecelakaan itu terjadi…”

Matanya menutup rapat.

“Ada hal yang saya lihat… hal yang tidak saya mengerti waktu itu…”

Soni berhenti berjalan.

“Dan ketika polisi datang…

saya ketakutan…”

Hana mencicit, “dan saya… tidak bicara apa-apa…”

Soni tersenyum dingin.

“Bagus.”

Hana membeku.

Soni mendekat ke telinganya dan berbisik:

“Itu sebabnya aku menyelamatkanmu, Hana.”

“Itu sebabnya aku menikahimu.”

“Itu sebabnya kau tidak bisa meninggalkanku.”

Hana menangis keras sekarang, tubuhnya goyah.

Penjaga menahan bahunya agar tidak jatuh.

Soni berbalik ke depan Hana, menangkup wajahnya dengan satu tangan—bukan lembut, tapi sekadar memaksa agar Hana menatapnya.

“Dengar baik-baik,” katanya dengan sangat pelan tetapi mematikan,

“selama rahasia itu ada, kau milikku.”

“Satu-satunya pelindungmu.”

“Satu-satunya yang mencegahmu dipenjara.”

Hana terisak semakin keras.

“Dan jika Viona berani membuka mulut…”

Soni menatap Hana, senyumnya berubah getir,

“kau tahu siapa yang akan aku salahkan pertama kali?”

Hana menggeleng cepat, ketakutan memuncak.

“Tuan… saya tidak akan biarkan siapa pun bicara…”

Soni menunduk ke wajahnya.

“Bagus.”

“Kau benar-benar istri yang patuh.”

Ia melepaskan wajah Hana dan menatap penjaga:

“Bawa dia ke ruanganku. Jangan biarkan dia bicara dengan siapa pun.”

Hana hampir jatuh saat penjaga membimbingnya keluar.

Namun sebelum pintu ditutup, Soni berkata:

“Hanasta.”

Hana berhenti.

Soni menatapnya tanpa berkedip.

“Jika aku merasa kau menyembunyikan sesuatu lagi…”

Nada suaranya turun…

“…aku tidak perlu melepas pakaianmu untuk membuatmu tidak berdaya.

Aku hanya perlu membuka masa lalumu.”

Hana membeku.

Suara itu lebih mengerikan dari ancaman apa pun sebelumnya.

“Sekarang pergi.”

Pintu menutup.

 

13-11-25

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!