NovelToon NovelToon
Menguasai Petir Dari Hogwarts

Menguasai Petir Dari Hogwarts

Status: sedang berlangsung
Genre:Akademi Sihir / Fantasi / Slice of Life / Action
Popularitas:6.5k
Nilai: 5
Nama Author: Zikisri

Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.

Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.

Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.

Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.

“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.

“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 7 — Jimat

Ethan tidak banyak mengingat masa kecil Harry Potter—hanya potongan samar tentang malam mengerikan ketika Voldemort memasuki rumah keluarga Potter, membunuh orang tuanya, lalu entah bagaimana dikalahkan oleh bayi yang seharusnya tak berdaya itu. Selebihnya, ingatan tentang peristiwa itu seolah ditelan kabut waktu.

Haruskah ia memperingatkan mereka? Haruskah ia memberi tahu apa yang akan terjadi?

Melihat wajah James dan Lily Potter yang penuh tawa dan harapan, Ethan merasa bimbang.

Lily, yang menyadari kerutan di dahi anak muda itu, menatapnya lembut.

“Ada apa? Kau tampak tegang. Gugup karena akan mulai sekolah?” tanyanya sambil tersenyum. “Aku juga dulu kelahiran Muggle, tahu? Malam sebelum berangkat ke Hogwarts, aku sama sekali tidak bisa tidur. Tapi percayalah—begitu kau sampai di sana, semua rasa gugup itu akan hilang.”

James terkekeh dari seberang meja. “Aku justru penasaran, asrama mana yang akan kau pilih. Gryffindor tentu yang terbaik,” katanya sambil menepuk dada bangga. “Tapi kalaupun kau tak beruntung, asrama lain juga lumayan—asal bukan Slytherin.”

Nada suaranya ringan, tapi jelas Ethan bisa merasakan nada ketidaksukaan yang terselip di sana.

Lily memutar bola matanya, tak sepakat. “Jangan dengarkan dia, Ethan. Setiap asrama punya kelebihannya sendiri. Yang terpenting adalah menemukan tempat di mana kau bisa belajar, tumbuh, dan mengenal siapa dirimu. Di mana pun kau ditempatkan, selama kau berusaha, kau akan melakukan hal-hal besar.”

Ethan tersenyum sopan. “Terima kasih, Nyonya Potter. Saya akan mengingat nasihat itu.”

Ia tidak bisa menjelaskan bahwa dirinya bukanlah anak biasa yang gugup menanti hari pertama sekolah. Ia telah hidup cukup lama untuk memahami arti kehilangan, dan melihat Lily berbicara begitu hangat hanya membuat dadanya terasa sesak.

Tapi bagaimana ia bisa memperingatkan mereka? Haruskah ia mengatakan bahwa suatu hari nanti, Voldemort akan datang ke rumah mereka dan membunuh mereka semua—kecuali bayi di gendongan itu?

Mereka takkan mempercayainya. Dan bila mereka melaporkannya, ia mungkin akan dianggap gila—atau lebih buruk lagi, ditahan oleh Kementerian Sihir, bahkan mungkin diteliti oleh Dumbledore sendiri.

Lagipula, keluarga Potter sudah menjadi musuh alami Voldemort. Mereka pasti tahu bahaya itu akan datang suatu hari nanti.

“Baiklah, sudah malam, Ethan,” kata Profesor McGonagall sambil bangkit. “Kita harus pulang. Malam-malam begini tak aman, bahkan di Diagon Alley.”

“Baik, Profesor.” Ethan berdiri dan membereskan barang-barangnya. Ia menatap Lily dan James sejenak sebelum menambahkan dengan nada hati-hati, “Nyonya Potter… berhati-hatilah, meskipun di rumah. Saya yakin anak Anda kelak akan membuat Anda sangat bangga.”

Ethan tak tahu mengapa ia mengucapkannya. Tapi menghadapi wajah hangat Lily Potter, sulit menahan dorongan untuk berkata sesuatu—apa pun—yang bisa menjadi peringatan samar bagi mereka.

Lily tersenyum, matanya lembut. “Terima kasih atas doanya, Ethan.”

Ia terdiam sejenak, lalu mengambil sesuatu dari tas tangannya. “Ini… hadiah kecil untukmu.”

Ia menyerahkan sebuah koin tembaga yang berkilau lembut di bawah cahaya lampu toko es krim. Di permukaannya terukir seekor rusa betina, begitu halus hingga nyaris tampak hidup.

“Buatan tanganku sendiri,” ujar Lily pelan. “Anggap saja jimat keberuntungan, untuk menyambut awal perjalananmu di dunia sihir. Dan kalau kau sempat, tulislah surat—aku akan senang mendengarnya.”

Ethan menerima koin itu dengan dua tangan. Saat logam dingin itu menyentuh kulitnya, sekelebat sensasi hangat menjalar di ujung jarinya—seolah jimat itu menyimpan sepotong kehangatan dari wanita yang memberikannya.

“Terima kasih, Nyonya Potter. Saya akan menjaganya baik-baik.”

Ia menunduk hormat, berpamitan pada pasangan Potter, lalu mengikuti Profesor McGonagall keluar dari kafe yang mulai sepi.

 

Sekali lagi mereka melakukan Penampakan. Tubuh Ethan terhuyung sedikit ketika mereka tiba di depan panti asuhan yang remang. Kali ini ia tak sepusing sebelumnya, tapi wajahnya tetap pucat.

“Terima kasih, Profesor,” ucapnya.

McGonagall menatapnya sebentar, lalu mengangguk singkat. “Istirahatlah, Ethan. Kau akan membutuhkan tenaga untuk perjalanan besar berikutnya.”

Ethan hanya tersenyum dan melangkah masuk ke dalam bangunan tua itu.

Di kamar kecilnya yang sunyi, ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela gelap yang memantulkan wajahnya sendiri. Hari itu seperti mimpi: dunia sihir, Hogwarts, tongkat sihir, keluarga Potter. Terlalu banyak keajaiban untuk dicerna dalam sehari.

Namun di balik rasa kagum itu, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya.

Voldemort masih hidup. Dunia sihir saat ini belum aman.

Ia tidak tahu bagaimana situasi di Hogwarts nantinya, tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa terus bergantung pada orang lain.

“Jika aku tidak punya kekuatan sendiri,” gumamnya pelan, “aku hanya akan menjadi korban berikutnya.”

Ia menata pikirannya dan mengingat semua yang ia dengar dari Profesor McGonagall sepanjang hari. Dari sana, ia merangkum beberapa hal penting.

Pertama, Kementerian Sihir kini dalam keadaan siaga. Jejak Sihir atau Trace yang dulu hanya aktif setelah pendaftaran sekolah, sekarang sudah dipasang begitu penyihir muda memiliki tongkat.

Kedua, karena Trace hanya mendeteksi lokasi, bukan identitas, sihir di tempat ramai sulit dilacak secara pasti.

Ketiga, Dumbledore masih berkuasa di Hogwarts, Kementerian masih bertahan, dan Diagon Alley relatif aman.

Ethan menarik napas panjang. Ia telah membuat keputusan.

Ia tidak bisa terus di panti asuhan. Ia harus pergi ke Diagon Alley, menetap di sana, dan berlatih sendiri. Ia perlu kekuatan untuk bertahan, sebelum semuanya berubah.

Dengan tekad itu, ia mengambil tongkat sihir dari dalam tasnya.

Tongkat itu berwarna gelap dengan kilau lembut, seperti batu giok yang diselimuti bayangan. Ia menatapnya dalam-dalam, lalu berbisik,

“Mulai sekarang, kita akan bergantung satu sama lain. Aku akan menamakanmu… Kanvas Gelap. Tunjukkan padaku kekuatan kita yang sesungguhnya.”

Seolah menanggapi, tongkat itu bergetar lembut di genggamannya, memancarkan semburat listrik kecil yang berkelip di udara. Tidak menyakitinya, hanya menandakan ikatan aneh di antara mereka berdua.

Ethan tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa dunia sihir menyambutnya.

Dengan hati yang lebih tenang, ia meletakkan tongkatnya di sisi tempat tidur, lalu berbaring. Malam terasa panjang, tapi pikirannya sudah jauh berlari ke depan—menuju hari-hari penuh tantangan yang menantinya di Hogwarts.

 

Sementara itu, jauh di utara, kastil tua Hogwarts berdiri sunyi di bawah langit malam. Lampu-lampu menara berkelip lembut, dan di dalam ruang kepala sekolah, seekor phoenix mengepakkan sayapnya perlahan di atas mejanya.

Profesor McGonagall menaiki tangga batu menuju kantor itu.

“Bagaimana wawancaramu hari ini, Albus?” tanyanya saat Dumbledore menoleh dari balik meja. “Aku tak yakin kita benar-benar butuh guru Ramalan baru. Di dunia sihir, kebanyakan peramal hanyalah penebak nasib yang beruntung.”

Dumbledore tersenyum kecil, menepuk bahu phoenix-nya yang berkilau merah keemasan.

“Kalau begitu, Minerva, sepertinya kau akan kecewa—karena sebentar lagi, kita akan menyambut guru Ramalan pertama Hogwarts,” katanya pelan. Ada nada aneh di suaranya, antara lega dan cemas.

Ia teringat ramalan yang didengarnya sore tadi di Hogsmeade—kata-kata yang mengguncang hatinya dan menandai awal takdir baru.

Namun ia menghapus pikirannya, menatap McGonagall lagi sambil bertanya santai, “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan murid barumu hari ini? Sepertinya kau sedang dalam suasana hati yang baik.”

“Oh, Ethan Cross,” jawab McGonagall tanpa ragu. “Anak itu sopan, disiplin, dan sangat cerdas. Bahkan pengurus panti asuhannya memujinya. Kami sempat bertemu keluarga Potter juga—Lily diperkirakan melahirkan akhir bulan ini, dan kebetulan Ethan tampaknya cukup akrab dengan mereka.”

Dumbledore mengangguk pelan.

“Ethan Cross,” gumamnya, menatap jauh keluar jendela di mana bulan menggantung di langit.

To be continue

1
Mike Shrye❀∂я
wiiih tulisan nya rapi..... semangat
Zikisri: makasih atas penyemangat nya kk🤭
total 1 replies
Opety Quot's
di tunggu chapter selanjutnya thor
Sertia
Mantap/Good/ lanjutkan
Iqsan Maulana
lumayan bagus ni😁
Iqsan Maulana
next Thor
Hani Andini
next..
king_s1mbaaa s1mbaa
tambahin chapter nya thor...
Reyhan Ramdhan
lanjut thor👍
Zikisri: siap💪
total 1 replies
Reyhan Ramdhan
Bagus, Sangat Rekomen/Good/
Zikisri: thanks 👍
total 1 replies
I Fine
lebih banyak chapter nya thor/Shy/
I Fine
next chapter nya thor💪
Zikisri: Oke 👍
total 1 replies
Niat Pemulihan
nice
Evan Setyawan
Lanjutannya thor👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!