perjalanan wanita tangguh yang sejak dalam kandunganya sudah harus melawan takdirnya untuk bertahan hidup
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adiwibowo Zhen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Musibah yang mendorong kelahiran Larasati sebelum waktunya
Tanggal lima belas April seribu sembilan ratus enam puluh sembilan. Cahaya pagi dan angin sepoi-sepoi menyapu atap puskesmas yang retak, menghasilkan desisan lembut yang menyatu dengan jeritan nyeri dari dalam.
Di Unit Gawat Darurat (UGD) yang sesak oleh bau alkohol dan obat-obatan pahit, Manto mendorong ranjang Yati yang lemah seperti daun kering,kakinya meluncur di lantai keramik yang licin akibat air hujan yang merembes melalui jendela retak. Keringat dingin bercucuran dari dahinya, membasahi baju katunnya yang lusuh, sementara jantungnya berdebar kencang seperti gendang perang yang dipukul tanpa henti.
“Dok, cepat periksa istri saya! Dok, lihat bagaimana keadaan kandungan istri saya! Dok, cepat!” teriaknya, suaranya memecah kesunyian tegang dengan mata yang membelalak, seolah bagai burung terperangkap.
Seorang dokter perempuan dengan jas putih yang bernoda obat mengangkat tangan, alisnya berkerut seperti daun layu. “Iya, Pak, sabar. Jangan bicara terus. Jika Anda bicara terus, kapan saya bisa memeriksa istri Anda? Saya bingung harus mendengarkan Anda, menjawab Anda, atau memeriksa istri Anda.”
Suaranya sedikit marah, dipenuhi kelelahan setelah menangani pasien sepanjang hari. Manto terdiam seketika, rahangnya mengencang hingga tulangnya terlihat. Dia mengepal tangan dengan kencang, kuku-kukunya menusuk kulit telapak hingga meninggalkan noda ungu, sementara napasnya terputus-putus seperti orang yang tercekik. Dia melihat Yati, yang menutup mata, bibirnya gemetar menyebut namanya, dan rasa bersalah menyergapnya seperti ular berbisa.
Setelah sepuluh menit pemeriksaan yang terasa seperti seabad, dokter mengangguk kepada perawat muda yang berdiri di sebelahnya. “Pindahkan Ibu ke ruang bersalin. Segera.” Perawat itu mendekat, menggenggam gagang ranjang dengan tangan yang gemetar, dan mendorongnya menuju pintu yang berderit.
Manto semakin panik, langkahnya cepat menghampiri dokter, hampir menabrak rak obat yang berisi botol-botol kaca. “Dok, bagaimana dok? Kondisi istri dan bayi saya?” tanyanya, suaranya serak seperti batu saling bergesekan.
Dokter menghela napas dalam, napasnya mengeluarkan bau kopi pahit yang tertinggal di mulut. “Pak, kondisi istri Anda baik,tak ada masalah parah. Tapi bayinya harus dilahirkan sekarang. Jika tidak, dia akan mati di dalam kandungan,tidak bisa bertahan.” Manto menyentak, tubuhnya terdorong ke belakang. “Tapi bisa diselamatkan kan, dok?”
Dokter mengangguk pelan. “Ya, kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Sisanya biarkan Tuhan yang menentukan. Anda berdoa saja,saya akan berusaha sebaik mungkin.” Mendengar jawaban tersebut, debar jantung Manto semakin cepat, seolah akan meledak dari dadanya.
Dia hanya bisa mengepal tangan lebih kencang dan mondar-mandir di depan pintu ruang bersalin, seperti ngengat yang mengelilingi lampu temaram,detik demi detik terasa berat seperti batu di pundak, menit demi menit terasa pahit seperti kunyit asam yang ditelan mentah.
Di dalam ruang bersalin yang berbau darah dan aroma ibu kandung, Yati berbaring di ranjang dingin, kakinya terikat dengan tali kain. Tak disangka, ada empat belas ibu lain yang juga berbaring siap melahirkan,semuanya mengenakan batik khas desa, dengan wajah pucat seperti kertas putih.
Mereka semua berasal dari desa yang sama dengan Yati, hanya berbeda RT dan RW. Suara jeritan mereka menyatu menjadi simfoni nyeri yang memekakkan telinga, sementara para perawat berlarian seperti semut kehilangan sarang.
Setelah satu jam menunggu yang terasa abadi, bayi kecil Yati dilahirkan,tubuhnya sebesar anak kucing, kulitnya tipis dan merah menyala, beratnya hanya 14 ons. Yang mencengangkan, keempat belas bayi lainnya, termasuk bayi Yati,total lima belas bayi,semua lahir prematur. Bayi Yati adalah yang termuda dengan usia kandungan hanya enam bulan dan tiga hari, sementara rata-rata bayi lainnya di atas delapan bulan, tapi belum mencapai sembilan bulan.
Dokter keluar dari ruang bersalin setelah satu jam lagi, pakaiannya berlumur darah dan keringat. Manto menghampirinya dengan langkah cepat, tubuhnya sempoyongan seolah mau pingsan. “Bagaimana, dok?” tanyanya, suaranya hampir tak terdengar.
Dokter mengangguk pelan. “Alhamdulillah, bayinya lahir selamat. Hanya saja, dia sangat prematur, jadi harus dimasukkan ke inkubator.” Manto tertegun, matanya membelalak seolah tak mengerti. “Apa itu inkubator, dok?” tanyanya, suaranya parau.
Dokter menjelaskan dengan suara lelah. “Oh, itu alat khusus untuk merawat bayi prematur. Tapi di puskesmas ini belum ada. Jika anak Anda ingin dirawat dengan inkubator, dia harus dibawa ke rumah sakit umum daerah. Nanti saya buatkan surat rujukan. Bagaimana?”
Manto terdiam sejenak, pikirannya kacau seperti semak belukar. Dia tak berpengalaman; ini adalah anak pertama mereka, dan uangnya hanya cukup untuk membeli beras sebulan. Dia menjawab dengan suara kecil. “Saya pikirkan dulu, dok. Saya ingin bertanya kepada kakek angkat istri saya,dia seorang sinse.” Dokter mengangguk. “Oh, baiklah.” Setelah itu, dokter beranjak pergi, meninggalkan Manto yang tersisih di tengah ruangan yang penuh sesak.
Manto melangkah masuk ke ruang bersalin, langkahnya pelan seperti orang yang menghadapi roh. Ia melihat Yati yang masih lemah pasca melahirkan, wajahnya memucat seperti bunga melati layu, sementara tangan Yati bergetar melihat bayi mungil yang terbaring di sebelahnya. Air mata Manto menetes ke tangan Yati, hangat di tengah dinginnya ruangan.
“Ti, kata dokter bayi kita harus dimasukkan ke inkubator, tapi aku belum memutuskan. Aku mau tanya kepada Ko Acun terlebih dahulu tentang pendapatnya. Bagaimana menurutmu?” tanyanya, suaranya lemah seperti bisikan angin. Yati mengangguk pelan, matanya memandang bayi kecil yang meringkuk lemah. “Iya, Mas. Tanya Ko Acun.” Manto mengiakan. “Ok, Ti. Aku akan pergi ke sana sekarang.”
Sebelum pergi, dia menatap bayi kecil yang tampak seperti anak burung dan berkata dengan suara penuh harapan, “Nak, jangan menyerah.” Lalu, dia melangkah cepat ke rumah Ko Acun, langkahnya sangat cepat seperti dikejar oleh maut.
Satu jam kemudian, Manto tiba di rumah Ko Acun yang beraroma rempah-rempah dan daun herbal. Dia keluar dari mobil tangki yang berderit dan berlari menuju Ko Acun yang sedang memilah daun kering di halaman. Ko Acun, yang berambut putih seperti bulu merpati, menoleh melihat Manto berlari seperti orang yang ketakutan,wajahnya memerah, napasnya terputus-putus. “Ada apa, To? Kenapa kamu berlari seperti dikejar anjing?” tanyanya dengan tawa pelan, suaranya serak.
Manto berhenti, membungkuk karena napas yang tersengal. “Ko, a…a… e…e…” katanya, suaranya tak jelas. Ko Acun menepuk bahunya. “Hei, bicara yang jelas. Tarik napas dulu, atur napasmu, baru bicara.” Manto menarik napas dalam-dalam tiga kali hingga napasnya mulai tenang.
Kemudian, dia menceritakan dengan suara bergetar. “Ko, Yati tadi pagi menyapu di halaman. Tiba-tiba dia terpeleset dan jatuh, kemudian mengalami pendarahan. Aku membawanya ke puskesmas, tetapi bayinya lahir prematur, Ko. Kata dokter, dia harus dimasukkan ke inkubator, tapi aku belum memutuskan,aku bingung, Ko. Jadi aku ke sini untuk bertanya: apa sebaiknya yang harus kulakukan?”