Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Sudah tiga bulan berlalu sejak pertunangan itu diumumkan.
Tiga bulan sejak cincin yang tampak terlalu berkilau itu melingkar di jarinya.
Tiga bulan sejak dunia Keyla berubah—pelan, diam, tetapi pasti.
Pertunangan itu bukan sekadar kesepakatan antar keluarga.
Itu seperti memastikan bahwa Keyla menuju jalan yang sama seperti kehidupan sebelumnya…
Hanya saja kali ini, semuanya sedikit berbeda.
Kenny tidak lagi berdiri sebagai pria dingin yang memandangnya seperti angin lalu.
Tidak lagi menjadi sosok yang sibuk sampai lupa bahwa ia punya istri.
Tidak lagi menjadi bayang-bayang yang hanya menghancurkan hatinya.
Pria itu… berubah.
Dan perubahan itu membuat Keyla takut sekaligus berharap dalam napas yang sama.
Pagi hari acara pernikahan mereka, udara dipenuhi aroma mawar putih yang dipasang hampir di seluruh halaman gedung. Langit cerah, seolah alam pun tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting.
Keyla duduk diam di kursi rias sementara make-up artist merapikan rambutnya. Gaun putih yang ia kenakan ringan namun elegan, dengan renda tipis yang membentuk pola bunga lembut. Gaun itu seperti menegaskan siapa dirinya hari ini: calon pengantin, sekaligus wanita yang berusaha memulai hidup baru.
“Non Keyla,” panggil seorang pelayan. “Tuan Kenny meminta memastikan Anda sudah siap.”
Keyla tersentak kecil. “Dia… di sini?”
Pelayan itu tersenyum kaku. “Tidak, Non. Beliau di ruang tunggu pengantin pria.”
“Oh.”
Keyla menghela napas lega—atau kecewa? Ia tidak tahu.
Dalam tiga bulan pertunangan, Kenny datang menjemputnya setiap pagi seperti rutinitas yang tidak pernah ia lewatkan. Sesekali mereka bertengkar kecil, sesekali Kenny terlalu protektif, sesekali Keyla harus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak jatuh terlalu dalam.
Hari ini seharusnya menjadi puncak dari semua itu.
Namun hati Keyla masih bergerak antara ragu dan percaya.
“Non,” suara make-up artist memanggilnya lembut, “sudah selesai. Anda cantik sekali.”
Keyla mengangguk dan menatap cermin.
Dirinya terlihat berbeda.
Ada Keyla yang baru di sana.
Keyla yang tidak lagi mati perlahan tanpa disadari siapa pun.
Keyla yang memilih dirinya sendiri, meski jalannya masih penuh tanda tanya.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
Ketika ia keluar dari ruangan, ayahnya sudah menunggu. Pria itu berdiri tegak dengan jas hitam, tampak lebih tua dari biasanya, tapi matanya hangat saat memandang putrinya.
“Kamu siap?”
Keyla mengangguk. “Sepertinya.”
Ayahnya tersenyum tipis. “Jangan ragu. Hari ini bukan tentang keluarga kita. Ini tentang kamu.”
Keyla menatap ayahnya lama. Jarang sekali pria itu berbicara selembut ini.
“Terima kasih, Yah.”
Mereka berjalan menuju aula upacara. Detak jantung Keyla semakin cepat. Musik lembut terdengar, dan pintu besar itu akhirnya terbuka.
Tamu-tamu berdiri.
Lampu kristal menggantung indah.
Dan di ujung lorong panjang itu—
Kenny berdiri.
Pria itu mengenakan jas hitam yang sempurna, rambut sedikit disisir ke belakang, tatapannya tajam namun… seolah terdiam di tempat saat melihat Keyla.
Ia terpaku.
Benar-benar terpaku.
Seolah waktu berhenti.
Keyla merasakan tubuhnya memanas.
Bukan karena malu, tapi karena tatapan itu. Tatapan yang tidak pernah diberikan Kenny di kehidupan sebelumnya.
Seolah hari ini, ia satu-satunya orang yang ingin dilihat Kenny.
Ayahnya meremas tangan Keyla pelan. “Pergilah.”
Keyla mengangguk, melangkah perlahan. Setiap langkah terasa seperti menapaki bab baru yang belum ia pahami sepenuhnya. Tapi langkah itu membawanya ke tempat yang sama—tempat di mana Kenny menunggunya.
Saat ia tiba di depan altar, ayahnya menyerahkan tangan Keyla kepada Kenny.
Kenny menerima tangan itu dengan hati-hati.
Terlalu hati-hati.
“Keyla,” ucapnya pelan, hampir berbisik, “kamu cantik.”
Keyla menunduk, pipinya merah. “Terima kasih…”
Kenny menahan napas sejenak, seolah ingin mengatakan hal lain. Tapi ia menahan diri.
Pastor mulai berbicara, mengucapkan doa dan kalimat formal.
Namun Keyla nyaris tidak mendengar apa pun.
Karena di sampingnya, Kenny berdiri terlalu dekat.
Terlalu tenang.
Terlalu… lembut.
Seolah dirinya bukan pria yang dulu membuatnya mati patah hati.
“Saudara Kenny Frenderick,” ucap pastor, “bersediakah Anda menerima Keyla Anjalika Putri sebagai istri yang sah, dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?”
Semua mata tertuju pada Kenny.
Pria itu menatap Keyla langsung.
Tanpa berkedip.
Tanpa ragu.
“Aku bersedia,” jawab Kenny, suara rendah namun kuat.
Keyla menahan napas.
Kata-kata itu tidak sekadar formalitas.
Ada sesuatu di dalamnya.
Sesuatu yang serius.
“Saudari Keyla Anjalika Putri,” lanjut pastor, “bersediakah Anda menerima Kenny Frenderick sebagai suami yang sah, dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, hingga maut memisahkan?”
Di kehidupan lamanya, Keyla menjawab pertanyaan itu sambil berharap.
Hoping for something she never got.
Hari ini…
ia menjawab dengan hati yang lebih keras tapi tetap berani.
“Aku bersedia,” ucapnya pelan.
Dan dengan itu, pastor mengucapkan kalimat yang mengikat mereka secara resmi.
“Anda boleh mencium mempelai.”
Keyla menegang. Ia melirik Kenny dengan panik kecil. Pria itu menatapnya lama sebelum sedikit menunduk.
“Boleh?” bisiknya.
Pertanyaan itu saja membuat Keyla ingin menangis.
Di kehidupan lamanya, Kenny tidak pernah bertanya apa pun.
Tidak pernah memastikan apakah ia merasa nyaman.
Tidak pernah peduli.
“Boleh,” jawab Keyla hampir tak terdengar.
Kenny mendekat.
Bukan dengan terburu-buru, bukan dengan formalitas dingin, tetapi dengan perlahan, memberi waktu bagi Keyla untuk mundur jika ia ingin.
Saat bibir mereka akhirnya bersentuhan, itu bukan ciuman panjang.
Bukan paksaan.
Hanya sentuhan lembut yang penuh penghormatan.
Namun Keyla merasakan seluruh tubuhnya bergetar.
Kenny menarik diri, menatapnya dengan mata gelap penuh intensitas. “Terima kasih… untuk mempercayaiku sejauh ini.”
Keyla hampir terisak.
Acara resepsi berlangsung hangat. Para tamu memberi selamat, musik mengalun, fotografer sibuk menangkap momen. Namun dunia Keyla terasa mengecil — hanya tersisa dirinya dan Kenny.
Saat sesi foto dimulai, Kenny selalu menggenggam tangannya, tidak pernah melepas.
“Kamu lelah?” tanya Kenny ketika mereka berada di sisi ruangan untuk beristirahat.
“Sedikit,” jawab Keyla jujur.
“Aku ambilkan minum.”
Kenny pergi sebentar dan kembali dengan air putih. Ia membuka tutup botolnya, menyerahkannya pada Keyla.
“Pelan-pelan. Kamu mudah tersedak.”
Keyla tertegun. “Kamu hafal?”
Kenny mengangguk simpel seolah itu bukan hal besar.
“Hal kecil seperti itu,” ucap Kenny, “harus aku ingat.”
Keyla menunduk, emosinya kacau.
“Kenny,” panggil Keyla pelan. “Kenapa kamu berubah?”
Kenny terdiam lama.
“Aku tidak berubah,” jawabnya akhirnya. “Aku hanya… melihat lebih jelas.”
“Melihat apa?”
Kenny menatapnya. Tatapan itu membuat Keyla ingin menangis dan bersembunyi sekaligus.
“Kamu.”
Keyla memalingkan wajah.
“Kamu akan menyesal,” gumamnya.
“Aku tidak akan menyesal,” balas Kenny cepat. “Yang aku sesali adalah… aku terlambat.”
Keyla membeku.
“Kalau saja aku melihatmu dari awal… mungkin kamu tidak perlu merasa sendiri selama ini.”
Ada luka dalam suara Kenny.
Luka yang seolah bukan hanya milik Keyla.
Seolah dua kehidupannya saling bertabrakan di titik ini.
“Kita mulai dari awal, Keyla,” bisik Kenny. “Dan kali ini, aku tidak akan membiarkanmu berjalan sendirian.”
Air mata Keyla jatuh.
Kenny mengangkat tangannya, menyentuh pipinya dengan lembut. “Jangan tangisi hari bahagiamu.”
Keyla tertawa kecil sambil menangis. “Aku bukan sedih.”
“Aku tahu,” jawab Kenny.
Dan untuk pertama kalinya sejak Keyla kembali hidup, ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar harapan.
Ia merasakan… kemungkinan.
Kemungkinan bahwa cinta yang sama bisa lahir lagi,
tapi dengan akhir yang berbeda.
Kenny menggenggam tangannya. “Ayo kembali. Kita belum selesai berfoto sebagai suami istri.”
Keyla tersenyum.
Suami istri.
Kata itu terasa seperti mimpi yang akhirnya kembali padanya.
Bukan mimpi buruk.
Tapi mimpi baru.
Yang mungkin… bisa ia percaya kali ini.