NovelToon NovelToon
I Love You My Sugar Daddy

I Love You My Sugar Daddy

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Ia menjawab tenang, suaranya datar tapi jujur.

“Ini cara saya bertahan, Pak dengan apa yang saya bisa.”

Harsya mengangguk pelan. Ada jeda hening sesaat sebelum ia kembali bicara, suaranya menurun setengah oktaf — lembut tapi sarat makna.

“Kalau kamu mau,” katanya perlahan,

“Kamu tidak harus bekerja sekeras ini.”Lanjutnya lagi.

Tatapannya tidak menekan, tapi juga tidak bisa dihindari.

“Kalau kamu izinkan… saya ingin jadi bagian dari dunia kamu.”

Alma menatapnya, matanya tak bergeming.

Lalu, dengan nada datar namun tajam, ia bertanya,

“Dalam hal ini Bapak bicara sebagai apa?,Penyelamat?.”

Harsya tersenyum tipis, hampir seperti menghela napas di antara kata-katanya.

“Bukan,” jawabnya pelan.

“Tapi seseorang yang mungkin, bisa kamu sebut sebagai rumah.”

Keheningan turun di antara mereka.

Musik klasik yang tersisa terdengar samar, sementara para pelayan mulai membereskan meja di sudut ruangan.

Alma tak menjawab. Ia hanya menatap sekilas, lalu menunduk.

Senyum samar muncul di wajahnya — bukan karena terpesona, tapi karena bingung harus menaruh perasaannya di mana.

Ketika ia kembali menatap, Harsya sudah melangkah pergi, meninggalkan jejak wangi parfum yang samar di udara.

Untuk sesaat, Alma hanya berdiri di sana — menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menarik napas panjang.

Sementara itu hari sudah larut malam ketika Harsya tiba di rumahnya.

Gerbang otomatis terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Lampu taman berkelip lembut, menyorot mobil mewahnya yang berhenti di depan teras.

Dari luar, rumah itu tampak sempurna — besar, tenang, dan berkelas. Tapi begitu pintu terbuka, kesunyian menyergap seperti udara dingin yang tak terlihat.

Harsya melepas jasnya, meletakkannya di sandaran kursi. Ruang tamu tampak rapi, terlalu rapi untuk rumah yang seharusnya dihuni banyak orang. Di meja tengah, masih ada vas berisi bunga mawar putih yang mulai layu.

Ia melangkah ke dapur, mengambil segelas air. Dari arah lantai atas terdengar suara langkah ringan — Nadine, istrinya, turun dengan pakaian tidur satin berwarna biru muda.

“Baru pulang,Mas?” tanyanya datar, dingin tanpa menatap lama.

“Ya,” jawab Harsya singkat.

Nadine berjalan menuju kulkas, mengambil sebotol air mineral, lalu meneguknya perlahan.

“Kamu darimana?.”

“Acara amal di hotel,” jawabnya tenang.

“Oh.” Nadine menatapnya sekilas, senyum kecil muncul — bukan senyum hangat, tapi sekadar basa-basi antara dua orang yang pernah saling mengenal.

“Untung masih sempat ikut kegiatan sosial. Aku kira kamu cuma sibuk urusan kantor.”

Harsya tidak menjawab. Ia hanya menatap ke arah jendela, melihat bayangan dirinya di kaca lelah, tapi tak bisa diakui.

Setelah beberapa saat, Nadine meletakkan botolnya di meja.

“Aku tidur dulu besok aku ada jadwal ke Jakarta.”

“Ya.”

Wanita itu berjalan naik tanpa menoleh lagi.

Ketika langkahnya menghilang di tangga, Harsya masih berdiri di tempat yang sama, menatap ruang kosong di sekelilingnya.

Rumah itu memang besar, tapi heningnya membuat siapa pun sulit bernapas lama-lama di dalamnya.

Ia berjalan ke ruang kerja, menyalakan lampu meja, lalu menatap tumpukan dokumen yang belum sempat ia sentuh.

Namun pikirannya tidak ke sana — bukan pada angka, bukan pada proyek.

Di sudut pikirannya, hanya ada satu bayangan senyum tenang Alma, dan tatapan matanya yang tidak memohon, tapi juga tidak menolak.

Ia menutup mata sebentar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kesunyian rumahnya terasa terlalu menusuk.

Pagi di rumah Harsya selalu dimulai dengan cara yang sama.

Suara mesin pembuat kopi, aroma roti panggang dari dapur, dan deru halus mobil-mobil mewah yang keluar satu per satu dari garasi.

Di ruang makan, Nadine sudah duduk dengan tablet di tangan, membaca sesuatu sambil menyeruput jus jeruknya. Rambutnya ditata rapi, gaun kerjanya tampak sempurna bahkan sebelum matahari naik sepenuhnya.

“Jadwal kamu aoa hari ini?.” tanya Harsya pelan sambil menuangkan kopi ke cangkir.

“Presentasi investor jam sepuluh, terus flight ke Jakarta jam dua,” jawabnya tanpa menatap.

“Kamu?”

“Meeting proyek baru sama tim legal. Setelah itu makan siang dengan kepala dinas.”

Nadine hanya mengangguk kecil. Tak ada pertanyaan lebih jauh. Tak ada percakapan yang benar-benar hidup di antara mereka.

Mereka duduk berhadapan, tapi terasa seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi meja yang sama.

Setiap gerak Nadine begitu rapi, begitu terkendali — nyaris seperti rutinitas yang sudah dihafalkan bertahun-tahun.

Harsya memperhatikan istrinya diam-diam.

Dulu, ketika mereka baru menikah, Nadine selalu menatapnya dengan mata yang hangat dan penuh semangat. Sekarang, yang tersisa hanyalah ketenangan yang dingin — indah, tapi rapuh.

“Aku berangkat duluan,” katanya sambil berdiri.

Nadine mengangguk.

“Hati-hati di jalan.”

Harsya menatapnya sebentar, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.

Ia hanya tersenyum tipis, lalu melangkah keluar.

Di dalam mobil, Harsya duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela.

Kota Semarang sudah mulai ramai, tapi semua hiruk pikuk itu terasa jauh dari dirinya.

Di telinganya, suara Rafi assistennya mengabarkan tentang jadwal, tapi pikirannya melayang ke arah lain — bukan pada proyek, bukan pada angka, melainkan pada tatapan mata seorang perempuan di balik meja lounge yang tenang dan jujur.

Ia menarik napas panjang.

Entah kenapa, di tengah segala kesempurnaan yang ia miliki, justru di hadapan Alma semalam, ia merasa hidupnya tak lagi sekaku lembar laporan keuangan.

Siang harinya, di kantor pusat perusahaannya, Harsya duduk di balik meja besar berhias marmer hitam.

Suasana rapat berjalan lancar, semua orang berbicara dengan penuh rasa hormat.

Namun pikirannya sesekali melayang — suara tawa Alma, cara ia menunduk ketika bicara, bahkan caranya menyesap minuman malam itu.

Ketika rapat usai, asistennya — Rafi menyerahkan beberapa berkas.

“Ini data proyek renovasi hotel Grand Amartha, Pak. Owner minta revisi soal ruang lounge juga.”

Harsya mengangkat alis.

“Lounge?”

"Betuk, katanya mau sedikit ubah konsep supaya lebih eksklusif.”

Ada jeda sejenak sebelum Harsya menjawab.

“Baik,” ucapnya datar. Tapi di dalam pikirannya, satu nama muncul begitu saja — Alma.

Setelah Rafi keluar, Harsya bersandar di kursinya.

Ia menatap layar laptopnya yang terbuka, tapi tidak benar-benar membaca.

Di benaknya, satu kalimat Alma terus terngiang.

“Ini cara saya bertahan, Pak. Dengan apa yang saya bisa.”

Ia memejamkan mata.

Barangkali karena terlalu lama hidup di dunia yang diatur rapi, ia lupa bagaimana rasanya bertahan — bukan untuk ambisi, tapi untuk sekadar tetap ada.

Sudah beberapa malam berlalu sejak acara amal itu.

Grand Amartha kembali pada wajah aslinya — cahaya temaram, musik jazz lembut, dan aroma cognac yang menempel di udara.

Alma baru saja selesai berganti pakaian kerja ketika Mas Ardan muncul di pintu ruang ganti.

“Al, ada yang nanyain kamu,” katanya sambil melirik daftar tamu di tangannya.

“Meja dua.”

Alma terdiam sesaat. Ia tak perlu bertanya siapa yang dimaksud.

Perasaan aneh bukan gugup, tapi juga bukan senang — menggelitik dadanya.

Ia menarik napas pelan, merapikan rambut, lalu melangkah keluar.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!