NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 — Satu Rumah, Dua Dunia

​Rutinitas adalah tembok tebal yang dibangun Dion Arganata di sekitar penthouse-nya. Tembok itu memastikan tidak ada keacakan, tidak ada kelemahan, dan yang terpenting, tidak ada emosi yang bisa masuk. Aira Nadiya, di balik status Nyonya Arganata, menemukan dirinya bergerak dalam bayang-bayang rutinitas kaku itu.

​Mereka hidup berdampingan di dalam rumah mewah itu, tetapi di dunia yang berbeda. Aira mengisi harinya dengan keheningan, memendam kerinduannya pada Arvan, dan membaca buku di balkon yang menghadap jurang kota. Dion disibukkan dengan angka, saham, dan pertemuan, hidupnya hanya berputar di antara ArgaCorp dan ambisinya.

​Mereka bertemu hanya di meja makan.

​Makan malam selalu menjadi arena perang dingin yang tak terucapkan. Meja panjang, piring-piring porselen mewah, dan jarak yang lebar di antara mereka. Bi Surti akan menyajikan hidangan, lalu mundur, meninggalkan mereka dalam kesunyian yang tebal, hanya diiringi denting sendok dan garpu.

​“Kenapa kau hanya makan sayuran?” tanya Dion suatu malam, memecah keheningan yang biasa ia ciptakan sendiri.

​Aira tersentak. Ia meletakkan garpu, terkejut karena Dion menyadari kebiasaan makannya. “Saya sedang… menjaga pola makan, Tuan Arganata.”

​Dion mendengus. “Jangan membuat dirimu kelaparan. Kau harus menjaga penampilanmu. Itu adalah bagian dari kontrak.”

​Aira merasakan darahnya mendidih. Ia bukan lagi sekadar aset yang dibeli; ia adalah proyek yang harus dirawat agar tetap bernilai jual.

​“Saya tahu tugas saya,” balas Aira, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan. “Saya menjaga penampilan saya bukan untuk kontrak, tapi untuk diri saya sendiri.”

​Dion menatapnya, matanya menyipit. “Terserah. Pastikan saja itu tidak merepotkanku.”

​Aira menggertakkan gigi. “Justru, jika Anda tidak ikut campur dalam urusan sepele saya, hidup Anda akan lebih teratur, bukan?”

​Pertengkaran kecil. Kata-kata dingin yang saling dilemparkan. Ini adalah cara baru mereka berinteraksi—selalu dalam bentuk konfrontasi yang tajam, selalu dengan subteks ketidakpercayaan. Setiap pertengkaran, anehnya, justru memecahkan kebekuan di antara mereka.

​Suatu hari, Dion pulang membawa setumpuk dokumen dan terlihat sangat stres. Ia menjatuhkan tas kerjanya di sofa dan langsung menuju lemari pendingin. Aira, yang sedang duduk di ruang keluarga, melihat kemeja putih Dion basah oleh keringat, kerutan frustrasi tampak jelas di dahinya.

​Dion mengambil sebotol air dingin dan meneguknya cepat, tanpa peduli pada etika. Ia terlihat lelah, rentan, dan… seksi.

​“Kau tidak tidur?” tanya Dion, menyadari kehadiran Aira.

​“Saya tidak mengantuk,” jawab Aira, buru-buru menunduk kembali ke bukunya.

​“Aku punya rapat penting besok. Jangan membuat keributan di dapur,” katanya, lebih seperti perintah daripada permintaan.

​Aira merasa tersinggung. “Apakah saya terlihat seperti pembuat onar?”

​Dion tidak menjawab. Ia hanya menatap Aira, pandangannya beralih dari buku yang Aira pegang ke wajah Aira.

​“Aku benci suasana tegang,” kata Dion, tiba-tiba. “Berikan aku sesuatu yang bisa membuatku rileks.”

​Aira mendongak, terkejut oleh permintaan tak terduga itu. “Apa… maksud Anda?”

​Dion berjalan mendekat, menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. “Aku tidak tahu. Musik? Kopi? Apapun. Kecuali wajah seriusmu itu.”

​Aira merasa seolah Dion sedang mengukur reaksi emosionalnya. Pria ini memintanya untuk menjadi penenang, padahal ia sendirilah sumber ketegangan terbesar dalam hidup Aira.

​“Saya bisa membuatkan Anda teh mint, jika Anda mau,” tawar Aira, menjaga jarak emosionalnya.

​“Mint,” ulang Dion, seolah kata itu terasa asing di lidahnya. “Baik. Cepat.”

​Aira bangkit dan berjalan ke dapur, tangannya sedikit gemetar. Ini adalah interaksi paling ‘normal’ yang pernah mereka lakukan, dan itu membuatnya sangat waspada.

​Saat Aira sedang meracik teh mint, Dion masuk, bersandar di meja dapur marmer. Dia mengawasi setiap gerakan Aira.

​“Kau masih muda,” komentar Dion, tiba-tiba.

​Aira menoleh, alisnya berkerut. “Lalu?”

​“Kenapa kau tidak menikmati hidupmu? Pesta? Jalan-jalan? Kenapa kau hanya duduk dan membaca buku seperti wanita tua?”

​Aira tersenyum pahit. “Mungkin karena hidup saya tidak bisa dinikmati seperti Anda, Tuan Arganata. Hidup saya adalah tentang tanggung jawab, bukan tentang pesta.”

​Dion terdiam. Kata-kata Aira seperti tamparan yang mengenai harga dirinya.

​“Semua orang punya tanggung jawab, Aira. Tapi orang yang cerdas tahu cara menyeimbangkan kewajiban dan kesenangan,” balas Dion, suaranya sedikit meninggi.

​“Kesenangan Anda adalah kontrak. Kesenangan saya adalah ketenangan. Kita berbeda,” Aira menyajikan teh mint di cangkir kaca, lalu meletakkannya di depan Dion. Ia sengaja tidak menyentuhnya, menjaga batas fisik yang tipis itu.

​Dion meraih cangkir itu. Matanya kembali menatap mata Aira, dan kali ini, ada kilatan api di sana. Pertengkaran kecil mereka telah memicu sesuatu.

​“Kau terlalu banyak bicara malam ini,” bisik Dion, suaranya serak. Ia meminum teh itu sekali tegukan, panas.

​Aira mundur selangkah. “Kalau begitu, saya akan kembali ke kamar. Selamat malam.”

​Saat Aira berbalik, tangan Dion bergerak cepat. Ia meraih pergelangan tangan Aira, menghentikannya. Genggamannya kuat, panas, dan posesif.

​“Tunggu.”

​Dion menarik Aira kembali, menariknya ke ruang antara tubuh mereka yang berbahaya. Aira terkejut, napasnya tercekat.

​“Kau bilang, kita berbeda,” bisik Dion, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hampir bersentuhan. Aroma teh mint, whisky, dan ketegangan memenuhi udara. “Aku tidak yakin tentang itu.”

​Aira bisa merasakan panas tubuh Dion, detak jantungnya yang berpacu kencang, dan hasrat yang tumpah dari mata gelapnya.

​“Kita sangat berbeda,” kata Aira, suaranya bergetar, mencoba mempertahankan bentengnya. “Anda membenci saya. Saya takut pada Anda.”

​Dion menyeringai tipis. “Ketakutan adalah bentuk ketertarikan yang paling murni, Aira. Dan kebencian…”

​Ia menggesekkan ibu jarinya di punggung tangan Aira. Sentuhan itu ringan, tapi efeknya meledak-ledak.

​“Kebencian,” lanjut Dion, suaranya berubah menjadi godaan yang gelap, “hanya membuat sentuhan ini semakin panas.”

​Dion menarik Aira sedikit lebih dekat. Aira bisa melihat pori-pori di kulit Dion, melihat bayangan dirinya sendiri di mata Dion. Ia tahu, jika ia tidak menolak sekarang, ia akan jatuh ke dalam jurang hasrat yang mengikat mereka empat tahun lalu. Ia akan mengkhianati Arvan.

​Aira mengerahkan seluruh kekuatan batinnya. Ia menarik pergelangan tangannya dari genggaman Dion, langkahnya cepat dan tegas.

​“Jangan membuat asumsi, Tuan Arganata,” kata Aira, suaranya kembali datar dan dingin, membungkus emosinya rapat-rapat. “Aku tidak tertarik untuk membakar diriku demi kesenangan sesaat.”

​Ia berbalik, tidak memberi Dion kesempatan untuk membalas, dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia tidak berlari, tetapi langkahnya penuh urgensi, seolah ia dikejar oleh iblis yang menggodanya.

​Aira mengunci kamarnya. Ia bersandar di pintu kayu, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar gila-gilaan. Ia merasakan panas di pergelangan tangannya, tempat Dion menyentuhnya.

​Dion telah menguji batas. Dan Aira, entah bagaimana, berhasil bertahan.

​Namun, ia tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya. Pikirannya membenci pria itu, tetapi tubuhnya mengingatnya. Mengingat sentuhan malam takdir itu.

​Ia berjalan ke kamar mandi, menyalakan air dingin, dan membiarkannya membasahi wajahnya.

​Arvan. Pikirkan Arvan.

​Ia harus menguatkan hatinya. Hasrat ini adalah perangkap yang akan membuat Dion menemukan kebenaran tentang putranya.

​Sementara itu, di dapur, Dion berdiri di tempat yang sama, tempat Aira meninggalkannya. Ia menatap pintu kamar Aira, rahangnya terkatup rapat.

​Ia merasa terhina. Tidak pernah ada wanita yang menolak sentuhannya, apalagi wanita yang berutang nyawa padanya. Tapi yang paling mengganggu Dion adalah, penolakan Aira justru membangkitkan sesuatu yang lebih besar dalam dirinya—rasa cemburu dan keinginan untuk menguasai.

​Mengapa Aira begitu dingin? Mengapa ia menolak hasrat yang jelas-jelas ada di antara mereka? Dion melihat kilatan di mata Aira—bukan ketakutan murni, melainkan pertarungan sengit.

​Dion membanting cangkir teh mint ke meja. Suara denting itu bergema di seluruh penthouse yang sepi.

​Ia berjalan ke ruang kerjanya, mengambil teleponnya, dan memanggil kepala keamanannya.

​“Aku ingin laporan lengkap,” perintah Dion, suaranya dingin dan tajam. “Semua aktivitas Nyonya Aira sejak dia pindah ke sini. Panggilannya. Siapa yang dia temui. Dan aku ingin tahu, siapa anak laki-laki yang sering dia hubungi di kampung itu. Kirimkan aku foto anak itu.”

​Dion mematikan telepon. Ia tidak tahu mengapa ia melakukan ini. Ia benci tertarik pada Aira, dan ia membenci misteri yang Aira bawa. Ia harus tahu, siapa yang membuat Aira begitu tegar menolak kekuasaannya. Siapa yang memberinya kekuatan?

​Ia hanya mencari informasi. Ia hanya ingin tahu musuh di balik benteng Aira, agar ia bisa menghancurkannya dan mendapatkan kepatuhan yang ia tuntut.

​Dion tidak sadar. Ia baru saja menarik pelatuk yang akan mengawali kehancuran dirinya sendiri. Ia akan melihat foto Arvan, benih tak terucap dari empat tahun lalu, dan dunia dinginnya akan terbalik.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!