NovelToon NovelToon
Beyond The Realm Of Gods

Beyond The Realm Of Gods

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Transmigrasi ke Dalam Novel / Identitas Tersembunyi / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Radapedaxa

Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.

Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.

Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 – Pendekar Pedang Darah Gila dan Batu Sialan Itu

Langit di alam atas terbentang tanpa batas — samudra cahaya bintang berputar lambat seperti riak air di kolam surgawi. Gunung-gunung melayang di udara, sungai spiritual mengalir menembus awan, dan ribuan istana dewa menjulang di kejauhan.

Namun di tepi tebing paling sunyi dari alam itu, seorang pria dengan pakaian lusuh tengah duduk santai sambil meneguk kendi arak. Topi jerami menutupi sebagian wajahnya, dan pedang berkarat tergantung di punggungnya — tampak tak ada sedikit pun aura ilahi yang memancar darinya.

Ia meneguk arak itu sekali lagi, lalu mendengus kesal.

“Sialan,” gerutunya pelan. “Baru juga minum dua teguk, sudah dikutuk tujuh generasi sama para tetua itu. Katanya, ‘Pendekar surgawi tidak pantas mabuk’. Pfft! Kalau begitu untuk apa hidup abadi kalau tidak bisa mabuk?”

Ia menendang kendi kosong di sampingnya hingga berguling pelan ke jurang.

“Rindu juga, hidup mortal dulu… setidaknya waktu itu aku bisa mabuk, berkelahi, dan tertawa tanpa harus dapat ceramah tiga hari tiga malam dari orang tua berjenggot perak.”

Ia meludah ke bawah. Ludahnya menembus kabut spiritual, jatuh entah ke dunia mana.

“Di alam atas, semua harus tampak suci, agung, berwibawa. Padahal dalam hati mereka, isinya racun iri dan kebosanan.”

Suara lembut tiba-tiba terdengar di belakangnya.

“Kalau begitu, kenapa kau tidak turun saja ke dunia mortal lagi, Pendekar Pedang Darah Gila?”

Pria itu menghela napas dalam. “Hah… aku tahu suara itu. Peri Bulan, ya? Datang lagi untuk menertawaiku?”

Dari balik cahaya perak yang berputar lembut, muncul sosok wanita jelita bergaun putih panjang, rambutnya sehalus sutra perak, matanya berkilau seperti bulan di puncak malam. Ia melangkah ringan, setiap gerakannya seolah diiringi nyanyian alam.

Wanita itu menatap pria ber-topi jerami itu dengan tawa kecil yang manis.

“Kau diomeli lagi oleh Tuan Suci, bukan?” katanya sambil menutupi mulutnya.

“Sudah keberapa kali dalam seribu tahun ini? Dua ratus? Tiga ratus? Aku heran telingamu belum rusak karena setiap hari disiram ceramah.”

Pria itu mendengus kesal. “Dasar wanita cerewet. Aku bahkan belum sepenuhnya sober dari marah, sekarang kau menambahkannya.”

Ia menatap langit. “Lagipula, siapa yang peduli kalau aku mabuk? Aku tidak membunuh siapa pun, tidak menghancurkan dunia, tidak memakan naga suci juga.”

Peri Bulan tertawa pelan, suaranya bagai denting kaca. “Ah, tapi bukankah waktu itu kau memang menguliti naga suci karena kau bilang sisiknya terlalu berkilau?”

Pria itu terdiam.

“…Itu… kebetulan. Aku hanya mencoba menenangkan naga itu, tapi dia terlalu berisik.”

Wanita itu menggeleng, masih tertawa kecil. “Kau benar-benar gila, sesuai dengan gelarmu — Pendekar Pedang Darah Gila.”

“Jangan panggil aku begitu.”

Nada suaranya berubah berat. “Aku tidak pernah mau gelar itu. Mereka memberikannya hanya karena aku pernah membantai lembah iblis sendirian. Padahal waktu itu aku cuma… sedang mabuk.”

“Ya, ya.”

Peri Bulan menyilangkan tangan, menatapnya geli. “Kau memang satu-satunya pendekar yang membantai tiga alam hanya karena tersinggung oleh rasa arak yang terlalu pahit.”

Pria itu menepuk tanah. “Salah arak itu! Arak yang terlalu pahit adalah penghinaan bagi para peminum sejati.”

Peri Bulan menutup wajahnya, menahan tawa. “Kadang aku lupa, kau ini pendekar atau anak kecil yang kehilangan mainannya.”

“Boleh jadi dua-duanya,” gumamnya cuek. “Yang jelas aku bukan biarawan membosankan seperti mereka.”

Ia meraih batu kecil di dekat kakinya, lalu menatapnya dalam-dalam.

“Setidaknya batu ini tak mengomel. Tidak seperti kau.”

“Jangan bilang kau akan—”

Terlambat.

DUAK!

Pria itu menendang keras batu itu ke udara. Batu itu meluncur seperti bintang jatuh, menembus awan suci dan menghilang di kejauhan.

Ia menepuk tangannya puas. “Nah, rasanya lebih baik.”

Namun sebelum Peri Bulan sempat menegur, langit di atas mereka mendadak bergetar.

GRUUUUUMMMMMM!!!

Awan suci yang biasanya tenang mendidih seperti air mendidih. Cahaya ilahi memudar, dan dari titik jauh di mana batu itu melayang tadi, muncul retakan tipis di langit — seperti kaca yang diretas oleh tangan tak terlihat.

Keduanya tertegun.

“Eh…”

Pria itu menatap retakan itu, lalu menatap kakinya. “Jangan bilang…”

Retakan itu melebar.

Cahaya biru dan emas berkelip keluar dari dalamnya, disertai getaran ruang yang menembus dimensi. Arus waktu mulai berputar liar, suara jeritan samar dari ribuan dunia menggema.

CRAAAAAAAK!!!

“Ruang dan waktu—terbuka!?” seru Peri Bulan panik.

Ia segera berlari ke arah pria itu dan mengguncang bahunya. “APA YANG KAU LAKUKAN, BAJINGAN!? APA KAU SUDAH GILA!?”

Pria itu refleks mengangkat tangan. “Sumpah! Bukan aku kali ini!”

“Aku hanya menendang batu, oke!? Batu! Tidak mungkin batu kecil bisa meretakkan ruang dan waktu!”

Peri Bulan hampir menangis. “Kau pikir aku akan percaya!? Setiap kali ada sesuatu aneh di langit, selalu ada namamu terlibat!”

“Tapi sungguh!” teriaknya. “Aku keras kepala, ya, aku mabuk tiap minggu, ya, tapi aku tidak punya kekuatan macam itu! Masa iya dunia bisa pecah cuma karena satu tendangan batu!?”

Cahaya dari retakan itu semakin membesar, hingga seluruh langit berubah menjadi ungu keperakan.

Peri Bulan menatap pemandangan itu dengan wajah pucat. “Kita harus melapor! Cepat!”

Ia melesat seperti cahaya bulan, meninggalkan jejak perak di udara.

Pria itu masih berdiri di tempatnya, menatap langit yang terus bergetar. Ia menunduk menatap kakinya yang tadi menendang batu itu.

“…Apakah tendanganku benar-benar sekuat itu?” gumamnya.

Ia melangkah sedikit, lalu melihat ke arah langit yang masih retak.

“Kalau iya… kenapa aku baru sadar sekarang?”

Ia menggaruk kepalanya. “Sial. Jangan-jangan aku benar-benar terlalu lama gak latihan.”

Matanya menyipit, senyum tipis muncul di wajahnya. “Heh, kalau batu kecil bisa bikin langit retak… aku jadi penasaran, siapa yang kena di bawah sana.”

Langit atas masih bergemuruh.

Pria ber-topi jerami itu menghela napas panjang.

“Rasanya ini akan jadi masalah besar. Tapi kalau mereka menyalahkan aku lagi…”

Ia menenggak arak dari kendi barunya, lalu tersenyum miring.

“…maka untuk pertama kalinya, aku bersumpah: ini benar-benar bukan salahku.”

1
Kirana
true 😂
Davide David
lanjut thor💪💪💪💪
RDXA: siap laksanakan 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!