Melahirkan Anak Rahasia CEO

Keluarga Edward benar-benar meradang saat kabar itu datang. Arabella menghilang.

Pencarian pertama langsung diarahkan ke rumah sakit terdekat. Namun, jawaban yang diterima membuat suasana semakin panas.

“Benar, pasien bernama Arabella sempat dirawat di sini,” ujar salah seorang petugas dengan nada hati-hati. “Tapi tidak lama kemudian, ia dijemput oleh seseorang. Identitas penjemput itu sengaja dirahasiakan.”

Julian langsung menggebrak meja hingga semua orang di sekitarnya terlonjak kaget.

“Dasar tidak becus! Kalian semua kerja apa selama ini, hah?!” makinya kepada anak buahnya yang hanya bisa menunduk. Wajahnya merah padam, urat di pelipisnya menegang.

Sementara itu, Vania berdiri di sudut ruangan dengan wajah gelisah. Bukan karena memikirkan keselamatan Arabella, melainkan ancaman yang mungkin akan menghancurkan rencananya. Jika Arabella benar-benar masih hidup, maka semakin sulit baginya untuk mendapatkan saham milik gadis itu. Satu-satunya jalan aman hanyalah memastikan Arabella mati.

“Siapa yang berani menolong gadis sialan itu…” gumamnya dalam hati, penuh kebencian yang membara.

Catherine, yang sejak tadi hanya memperhatikan, akhirnya maju mencoba menenangkan suaminya.

“Julian, kau harus tenang. Mengamuk tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus berpikir jernih. Jika orang-orang di luar sana mengetahui bahwa Arabella selama ini dikurung dan diperlakukan tidak layak… kita semua bisa hancur.”

Ucapan Catherine membuat ruangan seketika hening. Ancaman itu nyata. Reputasi, nama baik, bahkan kekuasaan mereka bisa runtuh hanya karena satu gadis bernama Arabella

"Selidiki siapa yang berani menyelamatkan anak sialan itu!” perintah Julian dengan nada dingin dan penuh amarah.

Malam itu suasana di kediaman Edward kacau balau. Julian mondar-mandir seperti singa yang kehilangan mangsa. Tangan kirinya menggenggam rokok yang sejak tadi tak pernah habis terbakar, sementara keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Bagaimana kalau media tahu? pikirnya gusar. Para investor Ophulent Holding pasti akan mencium gelagat tak beres. Selama ini, Arabella memang menjadi wajah bersih yang menopang reputasi perusahaan. Jika berita mengenai dirinya bocor, semua yang sudah dibangun bisa hancur dalam sekejap.

Di sisi lain, Arabella tengah berada di sebuah apartemen yang disediakan Leo. Malam itu, ia menatap koper besar yang sudah rapi. Paspor, tiket, dan dokumen lain telah siap. Kota tujuan mereka adalah China

Bukan hanya demi pengobatan medis terbaik, tapi juga untuk menyembuhkan anak-anaknya lewat metode tradisional yang diyakini bisa membantu memperbaiki kondisi fisik dan mental mereka. Arabella pun bertekad untuk melanjutkan pendidikan yang selama ini ia kubur demi keluarga Edward. Kini, kesempatan itu datang kembali berkat Leo.

Leo sendiri sudah mengatur semuanya dengan detail dari dokter spesialis, tempat tinggal, hingga jadwal studi Arabella. Ia bahkan menyiapkan beberapa pengawal untuk berjaga-jaga

“Bella, begitu kita sampai di sana, kamu tak perlu takut apa pun. Aku akan selalu ada di sampingmu,” ucap Leo lirih, menatap sepupunya dengan sorot penuh janji.

Arabella mengangguk, meski kegelisahan masih berputar di hatinya. Ia tahu, sebelum pesawat lepas landas,maka dia belum bisa tenang sepenuhnya

Arabella yakin, ayahnya Julian Edward tidak akan pernah tinggal diam. Ia sudah hafal betul sifat pria itu. Sedikit saja ada hal yang mengancam harga dirinya, Julian akan mengerahkan semua cara, bahkan tidak segan-segan menurunkan anak buahnya untuk memburu sampai ke ujung dunia.

Namun kali ini, Arabella tidak lagi berpikir untuk dirinya sendiri. Pandangannya terus tertuju pada ketiga bayi mungil yang terbaring di dalam inkubator. Tubuh kecil mereka bergerak lemah, berjuang melawan dunia yang begitu kejam sejak detik pertama kehidupan.

Air mata Arabella menetes, hatinya mencengkeram rasa bersalah dan cinta yang membuncah. Aku tidak boleh menyerah… demi mereka, aku harus bertahan.

Setelah diskusi panjang dengan Leo dan dokter yang menanganinya, akhirnya diputuskan satu hal berisiko besar ketiga bayi itu akan dibawa serta ke luar negeri. Meski tubuh mereka masih sangat rentan, hanya di negeri tirai bambu mereka punya peluang untuk memperoleh pengobatan terbaik.

Leo menatap Arabella penuh ketegasan, mencoba menyingkirkan semua keraguan.

“Bella, aku sudah menyiapkan jalur khusus. Kita akan terbang dengan pengamanan ketat. Mereka akan baik-baik saja, percayalah. Kita tak punya pilihan lain.”

Arabella mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi ketakutan. Ia tahu perjalanan ini akan penuh bahaya. Julian pasti sudah mencium arah langkah mereka.

Di ruang lain, deru inkubator berpadu dengan suara detak jantung mesin monitor, seolah mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. Jika mereka menunda sedikit saja, mungkin segalanya akan terlambat.