Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanin Menghilang
Hanin menarik tubuhnya dari pelukan Satya mendengar ucapannya, kemudian menyapu air mata di wajahnya.
“Pikiran senonoh apa, Kak? Hani sudah jelaskan kalau itu hanya ucapan terima kasih.”
“Kakak tahu, tapi Kakak ini laki-laki. Ada sesuatu yang berdesir di dalam hati kakak saat ..., ah sudahlah, tidak perlu dibicarakan. Kakak akan berusaha sendiri menghilangkan perasaan itu. Walau bagaimanapun kau adalah adikku.” Satya kemudian mengusap kepala Hanin dan bertanya, “Mau Kakak belikan apa?”
“Satu porsi siomay dan es jeruk Kak,” jawab Hanin.
“Ok, tunggu di sini dan jangan ke mana-mana,” pesan Satya.
“Iya, Kak.”
Hanin tersenyum senang akhirnya dirinya baikkan lagi dengan Satya. Memandang tubuh Satya yang berjalan keluar meninggalkan ruang kelas.
Hanin ke pikiran akan alasan kemarahan Satya hanya karena ciuman itu dan kejadian semalam. Meski tak jelas apa yang Satya khawatirkan dan maksud dari pikiran senonoh itu.
‘Memang apa yang dipikirkan kakak? Kejadian itu tidak disengaja dan dia pun sudah menjelaskannya kepada mama seperti apa, masih membuatnya ke pikiran juga. Atau jangan-jangan kakak sebenarnya suka. Kalau tidak ada perasaan tidak mungkin kan ke pikiran.’
‘Oh Hani ..., kau gila juga sampai mengira seperti itu kepada kakakmu sendiri!’ Hanin berusaha membuang pikiran tidak beres di kepalanya.
“Hanin kau dipanggil guru BK di ruangannya.”
Tiba-tiba dua orang siswi satu kelasnya sudah berada di hadapan Hanin menyampaikan pesan dari guru BK.
“Tapi, ada apa?” tanya Hanin.
“Aku juga tidak tahu, tadi ada yang datang di depan dan kami diminta menyampaikan pesan itu.”
“Mungkin soal ijinmu satu bulan ini.”
“Sekarang juga?”
“Kayaknya sih, sebaiknya pergi sekarang saja sebelum jam masuk pelajaran.”
“Baik, terima kasih.”
Hanin beranjak dengan ragu. Selain alasan panggilan yang tak jelas itu, Satya juga berpesan supaya dirinya tidak pergi ke mana pun, tapi dilihatnya Satya belum ada tanda-tanda kembali dari kantin. Hanin kemudian menitip pesan pada dua temannya yang berada di depan kelas untuk memberitahu Satya kepergiannya ke ruang BK.
Ruang BK cukup jauh dari kelasnya, berada di seberang lapangan. Karena panas saat itu cukup terik Hanin memilih jalan memutar menyusuri koridor ketimbang melewati lapangan.
Tak begitu banyak yang Hanin kenal dari siswa siswi kelas lain, tapi mereka mengenal dan mengetahui namanya. Beberapa yang Hanin temui dan berpapasan dengannya menyapa dan memanggil namanya.
Karena langkah Hanin yang pelan dia baru tiba di depan ruang laboratorium. Di tempat itu sepi tak ada siapa pun. Hanin terkejut saat tiba-tiba dirinya ditarik masuk ke dalam ruangan itu.
Hanin tak bisa bersuara juga tidak bisa melihat siapa mereka, yang menariknya dari belakang dan membawanya masuk ruangan. Bahkan menutup mulut Hanin dengan kain, lalu mengikatnya di kursi. Mereka tidak ada yang bersuara langsung mengikat kemudian meninggalkan Hanin sendirian di ruangan itu. Hanin ingin berteriak, tapi tak bisa. Dia hanya mampu menangis tanpa suara.
Ruangan itu tersembunyi, jarang juga didatangi saat siswa datang ke tempat itu. Hanin memikirkan siapa yang tega melakukan itu pada dirinya dan kenapa?
Mungkin banyak yang tidak suka dengan dirinya karena Satya, atau pun siswa yang mungkin kecewa dengan penolakannya, tapi Hanin selalu menolak mereka dengan sikap yang baik dan tak pernah ada masalah sedikit pun.
Hanin membayangkan jika sampai malam hari tak ada yang menemukannya, maka dirinya akan tinggal di ruangan itu sendirian. Membayangkan malam hari berada di ruangan yang penuh manekin dan patung kerangka manusia sungguh sangat menakutkan.
‘Kak Satya,’ lirih Hanin dengan tanpa daya.
••
Satya tiba di kelas membawa banyak makanan. Dia kebingungan saat tak mendapati Hanin di dalam ruangan, seharusnya Hanin tidak mengabaikan pesannya dengan tidak pergi ke mana pun.
“Apa kau melihat Hani?” tanya Satya pada siswa yang berada di dalam ruangan.
“Sejak masuk aku tidak melihat siapa pun di ruangan,” jawabnya.
Satya bergegas keluar dan bertanya pada yang lainnya, tapi tak ada yang bisa menjelaskan di mana dan ke mana Hanin pergi. Satya sampai bertanya pada setiap siswa yang berada di koridor lantai tiga. Namun, tak ada yang bisa memberitahu di mana Hanin.
Melihat Satya tampak kebingungan, Zaki dan Rio menghampiri.
“Ada apa Satya, kau tegang begini?” tanya Zaki.
“Hani pergi, tapi tidak ada yang tahu ke mana.”
“Sudah kau tanyakan pada semua anak-anak di sini?”
“Sudah, mereka tidak ada yang tahu.”
“Aneh, anak sebanyak itu tidak ada yang melihat Hanin,” kata Rio curiga.
“Mungkin tadi semua sedang berada di kantin jadi tidak ada yang melihatnya. Sebaiknya kita cari ke tempat lain,” saran Zaki.
Mereka bertiga menyebar mencari Hanin di lantai dua dan satu. Saat masuk jam pelajaran, tentu saja mereka bertiga tidak bisa bertanya pada siswa yang sudah masuk kelas mereka masing-masing. Satya, Rio dan Zaki terpaksa mencari di ruangan lain, di perpustakaan, di ruang UKS dan juga di toilet.
“Haruskah kita membukanya satu persatu, ini terlalu banyak?” tanya Rio saat mereka mencari di toilet.
“Tidak ada pilihan lain,” balas Zaki. Mendorong pintu satu persatu dan semuanya kosong.
Dirga datang mencari mereka bertiga yang menghilang begitu saja dari kelas.
“Kalian ke mana saja? Kalian dicari guru,” kata Dirga begitu menemukan mereka berada di toilet.
“Hanin, kami sedang mencari Hanin,” jawab Rio.
“Sudah mencari di ruang BK? Ada yang mengatakan Hanin dipanggil ke sana.”
Mendengar itu Satya seketika melesat pergi. Berlari melewati lapangan tanpa menunggu penjelasan dari Dirga menuju ruang BK. Setibanya di sana dengan nafas ngos-ngosan Satya langsung mengetuk pintu.
“Masuk,” suara Bu Nadia, guru BK dari dalam ruangan.
Satya masuk setelah mengatur nafasnya untuk tenang, lalu duduk di kursi di hadapan Bu Nadia.
“Ada apa Satya? Wajahmu tegang begitu, dan ini masih jam pelajaran kau mau izin ke mana?” tanya Bu Nadia.
Sebelum menjawab, Satya mengedarkan pandangannya seluruh ruangan, tapi tak menemukan siapa pun di tempat itu apa lagi Hanin. Apa mungkin Hanin sudah kembali? Pikir Satya.
“Satya, ibu sedang bertanya,” tegur Bu Nadia.
“Iya, maaf, Bu, saya datang kemari untuk mencari Hani, apa dia ada di sini?”
Bu Nadia malah kebingungan dengan pertanyaan Satya.
“Hanin? ibu tidak pernah memanggilnya untuk datang.”
“Tadi ada yang menyampaikan pada Hani bahwa ibu memanggilnya, tapi sampai sekarang Hani belum kembali.”
“Kau sudah mencarinya?”
“Ke seluruh tempat, Bu, tapi belum ketemu juga.”
“Kau yakin? Coba cari lagi mungkin dia sedang berada di toilet atau mungkin pergi ke kantin.”
“Baik Bu, terima kasih, Satya akan mencarinya lagi.”
“Coba kau cari ...,” Bu Nadia belum menyelesaikan kalimatnya Satya sudah pergi meninggalkan ruangan. Dari jawaban Bu Nadia sudah jelas Hanin tidak pernah datang menemuinya, jadi Satya tak perlu berlama-lama di tempat itu.
Satya kembali mencari di tempat yang belum dia datangi. Ketika melewati ruang laboratorium ada banyak siswa di sana, jika Hanin di tempat itu seharusnya mereka bisa melihatnya, Satya pun melewati tempat itu pergi mencari di tempat lain.