NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:302
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sisi Rapuh Dewi

Di dalam, tekanan semakin meningkat. Ibu-ibu mulai memberikan saran-saran yang semakin intim dan tidak relevan.

"Nanti kalau sudah menikah, jangan terlalu sering jualan sampai malam, Dewi," kata Bu Ida.

"Suami butuh perhatian! Nanti Gunawan cari yang lain!"

Dewi mengernyit.

"Gunawan tidak akan begitu, Bu! Dia fokus jualan rujak!"

"Halah, semua laki-laki itu sama, Dewi!" Bu Lastri menyahut, matanya berbinar.

"Kalau istrinya kurang perhatian, pasti matanya jelalatan! Kamu harus bisa memanjakan Gunawan!"

"Manjakan bagaimana, Bu?" Dewi bertanya, suaranya terdengar frustrasi.

"Ya, misalnya, masak makanan kesukaan dia! Atau pakai baju yang cantik di rumah! Jangan daster bolong-bolong terus!" Bu Marni tertawa.

Dewi membayangkan dirinya memakai gaun di rumah, melayani Gunawan yang pulang dari jualan rujak. Rasanya absurd. Ia selalu merasa paling nyaman di balik gerobak seblaknya, mengaduk kuah pedas, berinteraksi dengan pelanggan. Dunia rumah tangga yang digambarkan ibu-ibu ini terasa seperti sangkar emas yang sesak.

Ia merasa terkekang. Ia merasa semua orang ingin mengendalikannya, membentuknya menjadi 'istri idaman' versi mereka. Persis seperti yang ia benci. Dulu, ia pernah punya rencana hidup yang jelas, tanpa ikatan, tanpa komitmen. Tapi sekarang, ia terjebak di tengah arisan yang memaksanya masuk ke dalam cetakan yang ia hindari.

Tiba-tiba, ia teringat Gunawan. Pria itu, yang meski canggung dan seringkali berbicara omong kosong tentang "ekosistem bisnis mikro terintegrasi", tidak pernah mencoba mengendalikannya.

Ia hanya ada di sana, di sampingnya, kadang membela, kadang hanya mengamati. Sentuhan tangannya kemarin, saat ia menahannya dari jatuh, terasa begitu spontan, begitu... melindungi.

Ia menyadari sesuatu. Di tengah semua paksaan dan drama ini, Gunawan adalah satu-satunya yang tidak pernah memaksanya menjadi orang lain. Dia menerima Dewi apa adanya, bahkan saat Dewi bersikap kasar atau sinis.

Dan entah mengapa, pikiran itu membuat dadanya sedikit menghangat. Ia merasa merindukan kehadiran Gunawan, yang meskipun kaku, terasa lebih jujur daripada semua senyum paksa di arisan ini.

"Dewi, kamu melamun!" Bu Ida menepuk tangannya.

"Ini penting! Kamu harus tahu, nanti kalau sudah menikah, Gunawan itu suka apa? Jangan sampai kamu tidak tahu kesukaan suami sendiri!"

Dewi tersentak dari lamunannya. Ia menatap Bu Ida, lalu ke ibu-ibu lainnya. Rasa frustrasi dan amarah yang terpendam mulai mendidih. Ia sudah cukup.

"Saya... saya tahu Gunawan suka rujak bumbu buatannya sendiri," Dewi menjawab dengan nada dingin.

"Dan dia suka kopi hitam. Itu saja yang perlu saya tahu."

Bu Lastri tertawa mengejek.

"Halah, Dewi! Itu kan sepele! Bagaimana dengan hal-hal yang lebih intim? Misalnya, Gunawan itu suka istri yang... yang bagaimana di ranjang?"

Pertanyaan itu, yang diucapkan dengan tawa genit, adalah puncaknya. Dewi merasa darahnya mendidih. Ia sudah tidak bisa menahan diri lagi. Ini sudah keterlaluan. Ia merasa telanjang, semua privasinya diacak-acak oleh orang-orang yang hanya ingin mengontrolnya.

Ia mengepalkan tangannya di bawah meja. Matanya berkilat, menatap Bu Lastri dengan amarah yang membara.

"Apa-apaan pertanyaan itu?!" Dewi membentak, suaranya menggelegar, membuat tawa ibu-ibu seketika mereda.

Semua mata tertuju padanya. Ia merasa semua pandangan itu menusuknya, menilai dirinya, mencemooh dirinya. Ia tahu ia akan meledak.

"Itu bukan urusan kalian!" Dewi berseru, ia merasa napasnya memburu.

"Saya tidak akan menjawab pertanyaan kotor seperti itu! Saya di sini untuk arisan, bukan untuk diinterogasi tentang kehidupan pribadi saya! Kalian ini, memangnya tidak ada topik lain apa?!"

Bu Ida, Bu Marni, dan Bu Tuti terkejut melihat ledakan amarah Dewi. Wajah Bu Lastri pucat pasi. Suasana mendadak beku, semua ibu-ibu terdiam, menatap Dewi dengan mata terbelalak.

Dewi berdiri tegak, dadanya naik turun dengan cepat. Ia merasa air mata mulai menggenang di matanya, bukan karena sedih, tapi karena amarah dan rasa terpojok. Ia melihat ke sekeliling, mencari jalan keluar.

Saat itu, matanya menangkap siluet Gunawan di balik gerobak sate, yang kini tampak menatapnya dengan pandangan khawatir. Untuk sesaat, ia merasa ada secercah harapan. Gunawan, yang selalu ada di sana, bahkan saat ia tidak menyadarinya.

"Saya... saya tidak peduli apa kata netizen julid atau apa yang kalian inginkan!" Dewi berkata, suaranya bergetar.

Ia melirik Gunawan, lalu kembali menatap ibu-ibu arisan itu dengan tatapan menantang.

"Saya akan menikah jika saya mau! Dengan cara saya sendiri! Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun..."

"...membiarkan siapa pun mendikte hidup saya!" Dewi mengakhiri kalimatnya dengan napas terengah-engah, suaranya masih bergetar, namun kini dipenuhi tekad yang membara.

Ia menghempaskan diri dari sofa, bangkit berdiri dengan cepat. Kursi-kursi di sekitarnya berderit. Semua ibu-ibu masih terpaku, terkejut dengan ledakan amarah Dewi. Wajah Bu Ida, Bu Marni, dan Bu Tuti tampak memucat, sementara Bu Lastri kini terlihat ketakutan.

"Kalian... kalian semua tidak berhak tahu apa pun tentang saya! Tentang Gunawan! Tentang pernikahan kami!" Dewi berseru lagi, air mata yang tadi menggenang kini tumpah, namun bukan karena kesedihan, melainkan kemarahan yang meluap.

"Ini hidup saya! Urusan saya! Saya bukan boneka yang bisa kalian atur-atur!"

Ia melangkah mundur, lalu berbalik, menabrak meja kecil di belakangnya hingga piring kue-kue tradisional di atasnya bergetar. Tanpa peduli, ia berjalan cepat menuju pintu, langkahnya mantap meskipun tubuhnya sedikit gemetar.

Ia ingin keluar dari sana, secepatnya. Udara di dalam rumah Bu Marni terasa sesak, dipenuhi tatapan menghakimi dan bau bedak yang memuakkan.

"Dewi! Mau ke mana kamu?!" Bu Ida berseru, mencoba menghentikannya, namun Dewi sudah terlalu jauh.

"Pergi! Saya mau pergi!" Dewi hanya menjawab singkat, tanpa menoleh.

Ia membuka pintu dengan kasar, lalu menghilang di balik ambang pintu, meninggalkan keheningan yang aneh dan canggung di antara ibu-ibu arisan yang masih terkejut.

*

Dewi berjalan terhuyung-huyung di sepanjang gang lapak, tidak peduli dengan tatapan penasaran para penjual lain atau beberapa pelanggan yang masih lalu lalang. Air mata terus mengalir di pipinya, bukan lagi karena marah, tapi karena rasa sakit yang dalam.

Setiap kata-kata ibu-ibu arisan tadi terasa seperti pukulan langsung ke ulu hatinya, membangkitkan kembali luka-luka lama yang ia coba kubur dalam-dalam.

Ia merasa terpojok, terkekang, dan terkhianati. Semua orang seolah bersekongkol untuk memaksanya menjadi seseorang yang bukan dirinya, menjadi 'istri idaman' yang ia benci.

Ia benci ide komitmen, ia benci ide rumah tangga, ia benci ide anak-anak. Semua itu adalah simbol dari masa lalu yang ingin ia lupakan, simbol dari kepercayaan yang pernah hancur.

Ia terus berjalan tanpa arah, hingga akhirnya menemukan sebuah sudut lapak yang sepi, di belakang tumpukan kardus kosong milik lapak grosir sembako.

Itu adalah tempat yang biasa ia gunakan untuk menenangkan diri, jauh dari keramaian dan tatapan orang. Ia duduk bersandar di dinding semen yang dingin, memeluk lututnya, dan membiarkan air matanya mengalir deras. Ia tidak peduli jika ada yang melihatnya, ia hanya ingin menghilang.

Kenangan pahit itu kembali berputar di kepalanya, seperti film lama yang diputar ulang. Wajahnya yang dulu ceria, senyumnya yang lepas, semua itu kini terasa asing. Ia ingat bagaimana ia pernah begitu percaya pada seseorang, memberikan segalanya, hanya untuk dicampakkan dan dikendalikan.

"Dewi?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!