Kakak perempuan Fiona meninggal dalam kecelakaan mobil, tepat pada hari ulang tahunnya ketika hendak mengambil kado ulang tahun yang tertinggal. Akibat kejadian itu, seluruh keluarga dan masyarakat menyalahkan Fiona. Bahkan orang tuanya mengharapkan kematiannya, jika bisa ditukar dengan kakaknya yang dipuja semua orang. Termasuk Justin, tunangan kakaknya yang membencinya lebih dari apapun. Fiona pun menjalani hidupnya beriringan dengan suara sumbang di sekitarnya. Namun, atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga yang telah terjadi sejak kakak Fiona masih hidup, Justin terpaksa menikahi Fiona dan bersumpah akan membuatnya menderita seumur hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fiona Vs Kim
Setelah baru tersadar akan kebodohannya beberapa detik kemudian. Fiona merasakan perutnya terus menjerit keras tak jelas sementara ia berbaring di tengah tempat tidur sambil menatap langit-langit dan berusaha menenangkan pikirannya tentang kejadian-kejadian tadi.
“Apa aku tadi itu juga kena pengaruh obat itu? Astaga Fiona, kamu bodoh!” umpatnya dalam hati.
"Jangan terlalu dipikirkan." Suara serak Justin memanggil dari kanan Fiona, menariknya kembali ke masa kini. Samar-samar Fiona menyadari bahwa ia hanya mengenakan bra, dengan berlumuran cairan putih lengket sementara tubuh telanjang Justin menempel erat di tubuhnya.
"Aku nggak mikir apa-apa," elak Fiona mencoba untuk menatap Justin, tapi ia tidak bisa mengumpulkan keberanian karena pikirannya terus memutar ulang beberapa adegan berulang-ulang, sampai pada titik di mana seluruh tubuhnya memerah.
"Jangan coba-coba bohong." Justin menggelitik sisi tubuh Fiona sedikit, membuatnya memekik pelan. Justin terkekeh, lalu berdiri, “si kecilnya” tampak menggantung bangga di antara kedua kakinya. Fiona menatapnya. Ia masih ingat bahwa hampir saja mereka berhubungan seks. Tapi, Fiona lega karena ternyata Justin bisa menahan diri. Dia pria baik, padahal Fiona adalah istrinya sendiri.
Diam-diam, Fiona tak menampik bahwa ia menyukai sikap Justin.
"Ayo. Aku akan membersihkanmu untuk makan malam." Justin meraih tangan Fiona tapi Fiona hanya menatapnya sejenak sambil masih berbaring di tempat tidur. Justin menghela napas panjang, lalu mengitari tempat tidur, menggendong Fiona ala pengantin, dan mengantar mereka ke kamar mandi.
"Aku cukup mampu membersihkan diriku sendiri, Justin. Kamu nggak perlu bantu." Fiona menolak dan melepaskan diri dari cengkeramannya, tetapi pria itu memang kuat, Justin makin mengeratkan pelukannya di tubuh Fiona, benar-benar menjepitnya di dadanya.
"Aku tahu. Tapi kita sedang menghemat air dan sumber daya. Kamu, sebagai pebisnis, seharusnya lebih memahami itu daripada siapa pun,” ucap Justin sambil mendudukkan Fiona di ubin kamar mandi yang dingin, lalu membantunya melepaskan sisa pakaian yang dikenakan Fiona.
"Kamu ini benar-benar manipulatif. Kamu suka sekali memutarbalikkan keadaan." Fiona menembak, membuat Justin menyeringai dan menyalakan pancuran air.
Kemudian, mereka mandi dalam keheningan yang nyaman, sama-sama polos dan Justin bersikeras menyabuni tubuh Fiona juga membasuh punggungnya. Fiona juga membalasnya, tetapi ketika tangannya merayap turun ke perut Justin, dia bilang, “kalau kamu "membangunkannya" kamu harus bertanggung jawab atas semua yang akan terjadi selanjutnya.”
“Nggak, terima kasih,” balas Fiona kesal. Ia masih kesulitan memahami apa yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu, dan Fiona tidak mungkin membebani pikirannya dengan lebih banyak lagi tingkah nakal Justin.
Setelah mandi kecil-kecilan, mereka pun berpakaian santai dan longgar. Justin mengenakan celana pendek katun longgar dan kemeja lengan pendek. Dia juga mengenakan sandal slip-on barunya sementara Fiona mengenakan gaun musim panas warna hijau pendek dan sandal slip-on cokelat. Setelah sedikit persiapan, mereka naik kembali ke dek atas dan mendapati semua orang sibuk menyiapkan makan malam. Suasananya ramai, dengan Brandon di belakang panggangan memanggang ikan sementara yang lain sibuk di dapur.
Fiona melihat Kim sendirian di kursi malas sambil minum anggur, sementara Kennedy berdiri sendirian di teras sambil mengepulkan asap rokoknya. Jelas mereka berdua tidak benar-benar berbincang. Dan Fiona mengerti. Sumpah, kalau Fiona jadi Kennedy, ia pasti sudah marah besar. Membayangkan ia berada di situasi seperti itu saja sudah membuat darahnya mendidih. Fiona pun hanya bisa membayangkan apa yang sedang dialami oleh Kennedy, bagaimana perasaannya selama ini. Dia pasti benar-benar butuh bahu untuk bersandar saat ini.
"Aku harus bicara dengannya," kata Justin sambil berlari. Fiona tetap tinggal dan melihat sekeliling.
"Hei, kemarilah." Olivia melambaikan tangannya dari dapur, dan begitu Fiona mendekat, Olivia menghampirinya sambil membawa mangkuk salad dan langsung menyodorkannya ke tangan Fiona.
"Kami semua sudah menunggumu. Sini, kamu bisa menyiapkan mejanya, ya?" Olivia tidak menunggu jawaban dari Fiona, karena dia mengedipkan mata dan berbalik untuk pergi.
Fiona berbalik ke ruang makan dan mulai menyiapkan semuanya. Pikirannya sibuk melayang kembali ke kejadian hari ini. Lomba itu, pemberian obat bius, lalu.... Hal yang ia lakukan bersama Justin di kamar tidur.
Itu membuat Fiona bersumpah kalau Eldo pasti akan tertawa terbahak-bahak saat mendengar ini.
"Ya ampun. Kenapa kamu di sini sendirian dan tersipu?" goda Tina sambil melingkarkan lengannya di pinggang Fiona, lalu mengintip dari samping.
"Oh, ayolah, Tina." Fiona tersenyum padanya dan Tina menatapnya dengan pandangan penuh arti.
"Kamu baik-baik saja? Dan Justin?" Tina sedang memancing. Fiona bisa merasakannya.
"Kami baik-baik saja, Tina, terima kasih." Fiona tersenyum sopan.
Mata Tina turun ke leher Fiona sebelum melotot, lalu menatap wajahnya dan tersenyum lebar.
"Aku tahu kamu LEBIH dari baik-baik saja." Tina mengejek lalu pergi, meninggalkan Fiona sendirian di sana, mencoba memikirkan apa yang sebenarnya Tina maksud. Dan ketika Fiona malas memikirkannya, ia hanya melanjutkan pekerjaannya, menyiapkan meja untuk makan malam. Setelah selesai, ia berjalan ke tempat Kim duduk lalu duduk di sebelahnya.
Mereka duduk diam lama sebelum Kim mengejek.
"Kamu datang ke sini untuk berbangga diri, kan?"
"Aku nggak paham maksudmu," jawab Fiona sambil menatap Kim balik. Sejujurnya, Fiona tidak tahu kenapa ia duduk di situ. Tapi ia pikir dia dan Kim harus bicara. Terlepas dari semua itu, pasti ada masalah yang sangat serius dengannya. Fiona tidak tahu apa itu atau apa yang mungkin menyebabkannya melakukan hal-hal seperti itu, tapi Fiona pikir ada sesuatu yang harus ia lakukan. Karena meskipun Fiona tak ingin peduli, suaminya-lah yang dibius. Jadi ya, Fiona dan Kim punya beberapa masalah yang harus diselesaikan.
"Hmmm... pasti menyenangkan waktu dia kasih kamu banyak ciuman dan sebagainya. Gimana? Apa dia nidurin kamu kayak dulu dia nidurin..."
"Kim, sudah cukup." Fiona menggeram padanya, membuatnya memutar bola matanya ke langit lalu bangkit untuk pergi. Tapi Fiona belum selesai. Ia menarik tangan Kim dan memaksanya kembali ke kursi.
"Sebenarnya ada apa sama kamu?" teriak Fiona di hadapannya, "Kamu dan aku, kita bukan teman, dan percayalah, bahkan kalau kamu orang terakhir yang tersisa di bumi ini, aku tetap nggak mau berteman sama kamu. Tapi Kim, sampai kapan kamu mau hidup seperti ini? Menghancurkan segalanya dan semua orang di sekitarmu?" Fiona menatapnya tajam dan menunggunya menjawab. Ketika Kim tidak menjawab, ia melanjutkan.
"Kamu menjauhkan semua orang di sekitarmu. Untuk apa? Apa kamu benar-benar pengin berhubungan seks dengan Justin sampai ngasih dia obat bius? Bagaimana dengan Kennedy? Apa rasanya kayak ngasih kamu rasa pencapaian waktu kamu terus-menerus nyakitin dia? Apa dia salah cinta sama kamu dan ngasih kamu seluruh dunia? Dia cinta sama kamu, sialan. Aku belum lama ada di lingkaran ini, tapi wajahnya tergambar jelas kalau dia akan mengguncang dunia untuk kamu. Dan gimana bisa kamu membalas kebaikannya? Dengan “teman-temannya?”" tanya Fiona, dan Kim tiba-tiba menarik tangannya dari tangan Fiona.
"Jangan, jangan sedetik pun berpikir kamu tahu apa pun tentangku. Jangan, dan jangan ikut campur urusanku." Desisnya lalu beranjak dari kursi.
Fiona juga bangkit. Mereka saling menatap dengan tatapan tajam.
"Aku mungkin sudah melewati batas dengan semua omong kosong hari itu. Dan aku minta maaf. Tapi kalau kamu sampai bertingkah seperti ini lagi sama Justin, aku nggak akan tinggal diam. Sayang, kamu nggak akan mau berurusan sama aku. Kalau kamu segitu gatalnya, kusediakan laki-laki yang bisa nidurin kamu enam kali dalam semalam sampai kamu kesulitan memahami apa yang terjadi. Dan percayalah, kamu pasti nggak ingin itu terjadi." Saat itu, Fiona sudah sangat marah. Ia mungkin baik-baik saja, tapi fakta bahwa Kim dengan berani menyombongkan diri, tanpa malu-malu mengakui semua yang dia lakukan tanpa sedikit pun rasa penyesalan... Itu membuat Fiona ingin menghancurkan rambut pirangnya.
Kim hanya melipat tangannya di dada lalu berlari menuju tangga menuju dek bawah.
"Seharusnya kamu nggak perlu mencoba, tahu?" sebuah suara lembut memanggil, dan Fiona menoleh ke belakang dan mendapati Luna memegang dua gelas anggur. Ia menyerahkan gelas satunya kepada Fiona.
"Tenang saja, nggak ada obat di dalamnya. Aku bukan Kim." Dia bercanda sambil tersenyum kecil, dan Fiona balas tersenyum sambil menerima gelas itu.
"Aku nggak khawatir soal itu," aku Fiona, sambil kembali bersandar di kursinya.
"Aku tahu apa yang kamu khawatirkan. Kita semua juga." Luna menjawab sambil duduk di samping Fiona.
"Aku sudah kenal dia dari lama. Kami dulu teman sekamar waktu kuliah."
"Apa dia selalu seperti ini?" tanya Fiona, dan Luna mengangguk.
"Bisa dibilang dia selalu bisa mengendalikan 'situasinya'. Tapi sekarang..."
Luna menggelengkan kepalanya dengan sedih dan meneguk sedikit anggurnya.
"Yang paling menyakitkan adalah aku hanya bisa duduk diam dan menyaksikan dia menghancurkan hidupnya sendiri. Karena dia menolak bantuanku dan semua orang di sekitarnya. Semua orang di sini..." Luna memutar tangannya sedikit, "Sudah mencoba membantu, membujuknya. Tapi satu-satunya bantuan yang dia inginkan hanyalah bantuan di antara kedua kakinya."
Fiona syok mendengarnya.
"Jadi ini lebih buruk daripada yang kelihatan, ya."
"Lebih dari lebih buruk. Dan yang satu itu mendapat bagian terkutuk itu... Kennedy." Luna menggelengkan kepalanya drastis. Lalu menghela napas panjang sebelum menatap Fiona dengan senyum kecil.
"Ayo makan malam, ya?" Luna bangkit dan hendak pergi sebelum Fiona sempat berkata apa-apa.
Fiona tetap di sana, mencoba memikirkan semua yang dia katakan. Fiona benar-benar penasaran apa yang ada di pikiran Kim. Atau apa yang sedang terjadi. Tapi ia bukan Tuhan, dan ia tidak akan menyembuhkan seseorang yang begitu membenci ‘pengobatan’.
kamu mau mengharapkan apa Fiona pada lelaki yang belum bisa lepas dari masa lalunya bahkan tidak mencoba lepas dari dulu sebelum kamu masuk dlm hidupnya.beri ruang untuk diri masing2 aja dulu, tidak usah dipaksakan agar selaras karena kalau dipaksakan selaras, Fiona lah yang harus kuat mental,jika tak kuat mental siapa2 aja tertekan batin.
cara paling utama: jangan pernah mencintai secara berlebihan segala sesuatu yg bersifat sementara (tidak kekal) karena segala yg berlebihan itu tidak pernah baik . lihat kamu, seperti orang gila +tolol+Ling lung, hilang arah.
jadi orang kok egoisan banget...