NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:479
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6

Daniel Tirtayasa benci tempat ini.

Ruang autopsi di Rumah Sakit Bhayangkara adalah antitesis dari kemanusiaan. Udara dingin yang steril menusuk paru-parunya, membawa aroma kimia yang abadicampuran disinfektan dan formaldehida yang selalu berhasil membuat perutnya bergejolak. Segalanya terbuat dari baja tahan karat atau ubin porselen putih, memantulkan cahaya lampu bedah di langit-langit dengan kejam, menyingkirkan semua bayangan dan ambiguitas.

Di tengah ruangan, di atas meja logam yang dingin, terbaring sisa-sisa dari Lukas Santoso. Daniel memaksa dirinya untuk menatap. Di sini, di bawah tatapan sains yang tak kenal ampun, tubuh itu tampak lebih kecil, lebih rapuh. Ia bukan lagi sebuah simbol di kapel; ia hanya sekumpulan jaringan yang menunggu untuk ditanyai.

Dan sang penanya sudah ada di sana, terbungkus pakaian bedah biru. Dr. Samuel Adhinata tampak menyatu dengan lingkungan sterilnya. Daniel mengagumi pikiran Samuel yang brilian, tapi ia tidak pernah bisa terbiasa melihatnya di sini. Samuel tidak melihat mayat; ia melihat sistem biologis yang gagal. Ia tidak melihat tragedi; ia melihat teka-teki.

“Kau siap?” suara Samuel terdengar dari balik maskernya, tenang dan teredam.

“Lakukan saja, Sam,” jawab Daniel, menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin.

Samuel mengangguk. Tanpa basa-basi, ia mengangkat skalpel. Kuliah dimulai.

“Pemeriksaan eksternal menunjukkan total 217 luka tusuk,” Samuel memulai, suaranya seperti dosen yang fasih, tidak perlu catatan. “Tidak ada yang acak. Pelaku kita sangat metodis. Setiap tusukan dibuat dengan benda tajam bermata tunggal, ujung yang sangat runcing.”

Tangan Samuel yang bersarung tangan menunjuk beberapa luka di dada Lukas dengan sebuah probe logam. Gerakannya ekonomis, tanpa satu pun gerakan yang sia-sia.

“Yang menarik adalah penempatannya,” lanjut Samuel. Ia mengarahkan lampu bedah yang lebih kecil. “Pelaku secara sadar dan sistematis menghindari semua arteri besar. Karotis, subklavia, femoralis. Semuanya utuh. Dia juga menghindari jantung dengan presisi luar biasa. Jika dia ingin membunuh dengan cepat, satu tusukan di jantung sudah cukup.”

“Tapi dia tidak menginginkan itu,” sela Daniel, suaranya serak.

“Tepat,” Samuel mengafirmasi, nadanya datar. “Dia menginginkan proses. Penyebab kematian adalah kombinasi dari syok hipovolemik kehabisan darah secara internal dan pneumotoraks bilateral. Sederhananya, paru-parunya dibuat kolaps secara perlahan. Setiap napas akan semakin sulit, semakin menyakitkan. Berdasarkan analisis lividitas, aku memperkirakan proses kematian ini berlangsung tidak kurang dari tiga puluh menit.”

Daniel mengepalkan tangannya di dalam saku celana. Tiga puluh menit. Setengah jam penyiksaan yang dingin dan terencana. Amarah yang panas mulai naik di dadanya, tapi ia menelannya kembali. Emosi adalah kontaminan di ruangan ini.

“Sekarang, mari bicara tentang si pelaku,” kata Samuel, dan nadanya sedikit berubah. Ada antusiasme akademis yang nyaris tak kentara. “Aku menemukan dua hal signifikan.”

Ia berjalan ke meja instrumen dan kembali dengan kantong bukti kecil. Di dalamnya ada sehelai serat biru yang nyaris tak terlihat.

“Serat mikro dari lateks sintetis. Ditemukan tertanam di tepi empat luka. Ini dari sarung tangan bebas serbuk. Kualitas ruang operasi, bukan yang kau beli di apotek. Pelaku kita sangat peduli pada sterilitas.”

Pikiran Daniel langsung berputar. Petunjuk konkret.

“Dan yang kedua, senjatanya,” Samuel melanjutkan. Ia kembali ke tubuh Lukas. “Awalnya aku mengira stiletto. Aku salah.”

Ia dengan hati-hati memasukkan probe ke dalam salah satu luka. “Lihat profilnya. Sangat sempit. Bersih. Ini pisau yang sangat tipis namun kuat.”

Samuel menegakkan tubuh dan menatap lurus ke arah Daniel.

“Pelakumu menggunakan pisau bedah nomor 11. Alat untuk bedah presisi. Ini instrumen seorang ahli, Daniel.”

Hening. Daniel membiarkan informasi itu meresap. Sarung tangan steril. Pisau bedah. Keahlian anatomi.

Sebuah profil mulai terbentuk.

“Jadi, kesimpulanmu?” tanya Daniel.

“Kesimpulanku, kita tidak sedang berhadapan dengan preman,” jawab Samuel. “Kita berhadapan dengan seseorang yang memiliki pengetahuan medis tingkat lanjut. Seseorang dengan tangan yang mantap, saraf baja, dan pemahaman intim tentang cara membuat tubuh gagal berfungsi secara perlan.”

“Seorang dokter? Ahli bedah?” lontar Daniel, benaknya langsung menyusun daftar.

Samuel terdiam sejenak, seolah menimbang kata-katanya.

“Itu adalah hipotesis yang paling jelas,” Samuel setuju. “Semua data fisik menunjuk ke sana. Keahlian, alat, dan metode ini tidak dipelajari di jalanan. Ini dipelajari di ruang kuliah dan di atas meja operasi. Timmu harus mulai dari sana.”

Daniel merasakan secercah harapan. Di tengah kasus yang begitu irasional dan simbolis, sebuah petunjuk logis terasa seperti jangkar.

“Periksa semua rumah sakit, klinik, dan sekolah kedokteran,” lanjut Samuel. “Cari hubungan apa pun antara Lukas Santoso dan komunitas medis. Mungkin dokter yang pernah merawatnya. Mungkin musuh di antara mereka. Itu adalah jalur investigasi yang paling logis.”

“Terima kasih, Sam,” kata Daniel tulus. “Ini... ini memberi kami arah.”

“Tentu saja,” kata Samuel, mulai melepaskan sarung tangannya yang berlumuran. Di bawah cahaya lampu yang keras, matanya tampak tenang. “Tugas kita sama, Daniel. Kau mencari keadilan bagi jiwa mereka. Aku hanya memastikan tubuh mereka tidak berhenti bercerita sebelum semuanya terungkap.”

Saat Daniel berjalan keluar dari kamar mayat yang dingin itu, kembali ke dunianya yang penuh kekacauan, pikirannya berpacu. Ia sudah menyusun rencana. Ia akan mengerahkan timnya untuk menyisir setiap database medis di Jakarta.

Dokter. Perawat. Mahasiswa kedokteran.

Ia akan mencari jarum di tumpukan jerami raksasa. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya sejak menemukan mayat Lukas, Daniel merasa mereka tidak lagi buta.

Ia tahu di mana tumpukan jerami itu berada.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!