NovelToon NovelToon
SHIRAYUKI SAKURA

SHIRAYUKI SAKURA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Fantasi Isekai / Fantasi / Anime / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Reinkarnasi
Popularitas:299
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

The Beginning'2

Setelah berjalan cukup lama di bawah langit malam, Araya mendadak berhenti. Matanya menyipit, mengenali sosok di hadapannya.

"Kau Irago," katanya, suaranya dipenuhi keterkejutan. "Putra Ibu Yukio."

Irago tidak membuang waktu. Ia langsung menoleh, wajahnya serius. "Dengar, Araya. Kalian akan aman di rumah Ibu. Aku sudah berjanji pada Ibu untuk membawa kalian berdua."

Namun, Araya menolak dengan keras. "Tidak. Kami tidak bisa. Kami tidak ingin merepotkan siapa pun." Ia masih ingat penolakan dan kebencian pada warga, dan ia tidak ingin membawa kesialan itu ke orang baik seperti Yukio.

Melihat keras kepalanya, Irago menyela. "Kau harus lebih memikirkan adikmu," katanya, menyala penuh ketegasan. "Ninaya sudah sangat lelah. Berpura-pura kuat tidak akan membuat masalah kalian hilang. Kenapa kau harus menolak bantuan, padahal sudah jelas bantuan itu ada di depan mata?"

Kata-kata Irago menusuk hati Araya. Ia menoleh pada Ninaya, yang hanya diam dan tampak setuju dengan perkataan Irago. Kebersamaan mereka selama ini membuat Araya selalu mengutamakan adiknya. Namun, menolak bantuan kali ini terasa begitu berat.

Araya, yang masih merasa marah dan lelah, memulai perdebatan.

"Kau tidak mengerti!" balasnya, suaranya sedikit meninggi. "Kami membawa sial. Kami akan merepotkan Ibumu."

Irago hanya menghela napas. "Itu bukan urusanmu. Itu urusan Ibu," ucapnya. "Dia sudah memutuskan untuk menolong kalian. Yang perlu kau lakukan hanyalah menerima uluran tangannya."

Pertukaran kata-kata itu menunjukkan betapa lelahnya mereka semua, tetapi di baliknya, ada sebuah janji dan harapan yang perlahan mulai tumbuh.

"Baiklah, aku ikut," kata Araya akhirnya, suaranya terdengar pasrah namun di dalamnya ada sedikit kelegaan. Ia menoleh ke arah adiknya dan Ninaya langsung tersenyum lebar, menggenggam erat tangan Araya di satu sisi dan tangan Irago di sisi lain. "Ayo, Kakak!" bisiknya riang.

Irago mengangguk, puas, dan mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Perdebatan singkat itu telah berakhir, dan kini mereka melangkah bersama menuju rumah Yukio, di mana sebuah babak baru dalam hidup mereka akan dimulai.

Mereka tiba di sebuah pondok yang nyaman, dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun dan salju yang bersih. Dari dalam, terdengar suara tawa dan percakapan. Ninaya segera melepaskan genggaman tangannya dan berlari ke pintu.

Araya menatap ragu-ragu, tapi Irago meyakinkannya. "Jangan takut," katanya. "Kau sekarang aman." Kata-kata Irago berhasil meruntuhkan dinding pertahanan Araya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Araya merasakan secercah harapan.

.

.

.

"Jadi, keluargamu adalah bangsawan dari klan Kitsune/Gumiho, ya?" tanya Yukio dengan nada lembut, menuntun Evelia menyusuri jalan setapak.

Evelia mengangguk "Ya, Nona Yukio. Mereka adalah pengawal kerajaan yang terakhir pergi. Aku... aku tidak mengerti kenapa mereka pergi tanpa aku."

Yukio mendengarkan dengan penuh perhatian. Meskipun ia sudah tahu bahwa keluarga Evelia telah menjadi tumbal dalam ritual gelap yang dilakukan oleh Raja Tirani untuk memperkuat kekuasaannya, Yukio memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran yang kejam itu kepada gadis muda di sampingnya. Ia membelai rambut Evelia, berusaha menghiburnya. "Mereka pasti memiliki alasan mereka sendiri, Evelia," kata Yukio, menyembunyikan kenyataan yang pahit. "Terkadang, orang dewasa harus melakukan hal-hal yang sulit untuk melindungi orang yang mereka cintai."

Evelia menatap Yukio dengan mata penuh air mata. "Aku rindu mereka," bisiknya. "Semua orang di kota bilang aku pembawa sial, tapi Araya dan Ninaya tidak."

Hati Yukio terasa perih mendengar cerita itu. Ia tahu persis bagaimana rasanya dibenci dan diasingkan karena kekuatan yang tidak mereka minta. "Itu tidak benar," tegas Yukio. "Kau bukan pembawa sial, dan mereka juga tidak. Kalian hanyalah anak-anak yang luar biasa."

Di dalam hatinya, Yukio membuat sebuah janji. Ia akan melindungi Evelia dan anak-anak yang lain, termasuk Araya dan Ninaya. Raja Tirani tidak akan pernah bisa menyentuh mereka lagi. Yukio tahu bahwa kebenaran tentang keluarga Evelia adalah rahasia yang terlalu berat untuk dipikul oleh seorang anak. Ia akan menyimpan rahasia itu, melindunginya dari penderitaan yang tak terbayangkan.

Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan yang nyaman. Evelia yang awalnya ketakutan, kini merasa lebih tenang di samping Yukio. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tetapi ia memiliki keyakinan bahwa ia akhirnya menemukan tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa rasa takut.

Yukio akhirnya tiba di rumah, diikuti oleh Evelia yang masih sedikit ragu. Pintu terbuka dan Riana serta Nuita menyambut mereka dengan wajah cerah.

"Ibu! Kau sudah kembali!" seru Nuita.

Riana menambahkan, "Araya dan Ninaya sudah sampai. Mereka sudah istirahat di kamar, mereka terluka sedikit karena pengawal jahat itu."

Yukio menghela napas lega, menyentuh kepala Irago yang berdiri diam di dekat pintu. "Kerja bagus, Irago," pujinya dengan bangga. "Dan kalian juga, Riana, Nuita. Terima kasih sudah merawat mereka."

Senyum hangat menghiasi wajah mereka semua, menandakan sebuah keluarga baru telah terbentuk.

Yukio lalu memperkenalkan Evelia kepada Riana dan Nuita. "Ini Evelia," katanya. "Dia akan tinggal bersama kita sekarang."

Evelia tersenyum canggung. Riana dan Nuita dengan ramah menyambutnya, membuat Evelia merasa sedikit lebih nyaman. "Araya dan Ninaya... bagaimana keadaan mereka?" tanya Evelia, khawatir.

Riana dengan bangga menjawab, "Jangan khawatir! Aku sudah mengobati luka mereka dengan sihir penyembuhanku. Mereka akan baik-baik saja."

Mendengar itu, Evelia tersenyum lega, dan hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu bahwa ia tidak hanya menemukan tempat yang aman, tetapi juga teman-teman yang peduli.

.

.

.

.

Sementara semua orang beristirahat di kamar masing-masing, Irago yang pendiam hanya memikirkan Araya. Perkataan Araya yang begitu keras kepala dan caranya melindungi adiknya terus terbayang di benaknya. Setelah semua orang tertidur, ia diam-diam berjalan ke kamar Araya dan Ninaya. Ia melihat Araya yang terlelap di tempat tidur, wajahnya yang penuh luka kini terlihat damai. Tanpa ragu, Irago duduk di samping tempat tidur, menunggu Araya terbangun. Namun, rasa lelah menguasainya, dan ia pun akhirnya tertidur dengan kepala bersandar di samping tempat tidur.

Dari balik pintu, Yukio tersenyum. Ia tahu persis apa yang ada di pikiran putranya. Hatinya dipenuhi kebanggaan dan kebahagiaan melihat anak-anaknya yang baru bersatu. Ia telah menciptakan sebuah keluarga baru yang saling melindungi dan mendukung, sebuah keluarga yang akan menjadi benteng dari kekejaman dunia luar. Yukio tahu bahwa tantangan besar masih menunggu mereka, tetapi ia yakin bahwa bersama-sama, mereka akan menghadapinya.

.

.

.

.

.

.

Sepuluh tahun telah berlalu, dan rumah Yukio Ikaeda kini dipenuhi dengan kehidupan dan energi. Araya, Evelia, Irago, Nuita, Ninaya, dan Riana kini telah tumbuh dewasa, masing-masing dengan keahlian unik mereka. Mereka sering berlatih bersama, pedang Araya dan Irago berada di halaman belakang, sementara sihir Evelia, Riana, dan Nuita saling melengkapi. Suasana rumah semakin hangat dan ramai, tetapi di balik tawa dan percakapan, terselip kekhawatiran karena Yukio, yang hanyalah manusia biasa, semakin tua.

"Ibu... kau seharusnya tidak terlalu memaksakan diri," ujar Irago suatu sore, sambil membantu Yukio membawakan keranjang sayuran.

Yukio tersenyum lembut, "Tidak apa-apa, Nak. Rasanya senang melihat kalian semua tumbuh menjadi orang yang kuat."

Evelia yang baru saja datang, menimpali, "Tapi Irago benar, Ibu. Biarkan kami yang mengerjakan semua ini. Kami sudah dewasa sekarang."

Araya yang berdiri di dekatnya, mengangguk setuju. "Ibu sudah terlalu banyak berkorban untuk kami."

Mendengar perhatian anak-anaknya, Yukio hanya bisa tersenyum. Ia menatap mereka satu per satu, wajah mereka yang dulu penuh kepolosan kini dipenuhi dengan kekuatan dan tekad. "Kalian semua sudah menjadi pelindung Ibu," katanya, suaranya dipenuhi haru. "Melihat kalian tumbuh dengan baik adalah hadiah terbesar yang Ibu dapatkan." Ia tahu, kebersamaan mereka adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki, dan kini, saatnya mereka membalas kebaikan ibunya.

.

.

.

.

.

Beberapa hari kemudian, kehangatan yang selalu menyelimuti rumah Yukio Ikaeda berganti dengan kesedihan. Yukio jatuh sakit. Ia memanggil anak-anak angkatnya dan Irago ke sisinya. Suaranya yang dulu lantang kini terdengar lemah, "Anak-anakku... Ibu mungkin kini tidak akan bertahan lama. Ada satu hal yang sangat Ibu inginkan... melihat benua ini bebas dari belenggu kerajaan Tirani." Ia menggenggam tangan mereka satu per satu, "Janjilah pada Ibu... kalian tetap bersama dan melindungi satu sama lain." Air mata tak terbendung mengalir di wajah mereka, namun semua mengangguk, berjanji akan memenuhi keinginan terakhir Yukio.

.

.

.

.

.

.

Beberapa bulan berlalu. Keadaan Yukio semakin memburuk hingga akhirnya ia berpulang. Seluruh anak angkat dan putra kandungnya, Araya, Irago, Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana, berkumpul di luar rumah, menyaksikan proses kremasi dengan hati yang hancur. Api melahap jasad wanita yang telah menjadi ibu bagi mereka semua, mengubahnya menjadi abu.

Irago, yang biasanya pendiam, kini tak bisa menyembunyikan kesedihannya. "Ibu..." bisiknya, air mata mengalir membasahi pipinya.

Araya memeluk Ninaya yang terus terisak, sementara Evelia menyandarkan kepalanya di bahu Nuita, mencoba mencari kekuatan.

Mereka berdiri dalam keheningan yang lama, membiarkan duka menyelimuti mereka.

"Ibu sudah pergi," kata Riana, suaranya parau. "Tapi janjinya pada kita masih ada." Ucapan Riana memecah keheningan, menyadarkan mereka semua. Di balik duka yang mendalam, ada sebuah tujuan baru yang kini harus mereka capai. Keinginan terakhir Yukio kini menjadi misi mereka.

.

.

.

.

Setelah api padam dan hanya menyisakan tumpukan abu, Irago mengambil sebuah kotak kayu kecil dan mengumpulkannya. "Kita akan menabur abu ini di puncak Gunung Shirayuki," katanya, suaranya dipenuhi tekad. "Itu adalah tempat yang paling indah dan paling dekat dengan langit. Ibu akan bahagia di sana."

Mereka semua setuju. Misi mereka dimulai dari sana: memenuhi janji yang telah mereka buat pada ibu angkat mereka, Yukio Ikaeda.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pagi hari di Gunung Shirayuki begitu dingin, tetapi tekad mereka membakar semangat. Enam orang anak yang kini telah dewasa mendaki hingga puncak tertinggi. Di sana, di tengah salju yang murni, Irago membuka kotak kayu kecil dan menaburkan abu Yukio ke udara. Abu itu melayang terbawa angin, seolah-olah Yukio kini menjadi bagian dari gunung yang selalu ia cintai. Satu per satu, Araya, Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana juga ikut menaburkan sedikit abu dari telapak tangan mereka, sebagai tanda perpisahan dan penghormatan terakhir.

Setelah prosesi itu selesai, mereka semua menatap ke arah utara. Di sana, di kejauhan, terbentang kerajaan Tirani yang menjadi sumber penderitaan. Kastil megah yang terlihat seperti noda hitam di lanskap yang luas itu adalah lambang kejahatan yang telah merenggut orang yang paling mereka cintai.

Irago yang biasanya pendiam, kini suaranya dipenuhi tekad yang membara. "Aku bersumpah," ucapnya dengan lantang, "kita akan meruntuhkan kerajaan itu. Kita akan membebaskan benua ini, seperti yang Ibu inginkan."

Araya maju selangkah, menatap tajam ke arah kastil. "Aku akan menyusup ke dalam," usulnya, mengejutkan yang lain. "Aku akan menjadi prajurit mereka, mengikuti setiap perintah raja untuk mengalahkan Tiamat. Itu adalah satu-satunya cara untuk mendekati raja dan mencari tahu kelemahan mereka."

Evelia yang terkejut, mencoba menahan Araya. "Itu terlalu berbahaya, Araya! Kau bisa saja..."

Namun, Araya menggeleng. "Ini satu-satunya cara. Kita butuh seseorang di dalam."

Rencana itu begitu berisiko, tetapi tidak ada yang bisa membantah keberanian Araya. Mereka semua tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan bagi Yukio. Araya, yang selalu terlihat kuat, kini siap melakukan pengorbanan terbesar. Misi mereka untuk memenuhi janji terakhir Yukio kini telah dimulai.

Waktu terus berjalan, dan Araya kini telah beradaptasi dengan kehidupan barunya sebagai prajurit di Kerajaan Tirani. Berkat kecerdasan dan keterampilannya, ia berhasil menyusup lebih dalam, mendapatkan kepercayaan pada petinggi kerajaan.

Meskipun demikian, hati dan pikirannya selalu tertuju pada misinya. Sesekali, ia mencuri waktu untuk kembali ke rumah Yukio, di mana ia akan bertemu dengan Evelia, Irago, Nuita, Ninaya, dan Riana untuk merencanakan langkah selanjutnya. Malam-malam yang singkat itu diisi dengan diskusi strategi, mengamati setiap celah dan kelemahan kerajaan tiran yang kini menjadi rumah sementaranya.

Ketika memiliki waktu luang, Araya menyisihkannya untuk Irago. Mereka sering menghabiskan waktu di tepi sungai yang tenang, mengenang masa lalu. Suasana damai itu kontras dengan ketegangan yang Araya hadapi setiap hari.

"Ingat tidak, waktu Ibu melihat kita memanjat pohon apel di kebun? Dia langsung berteriak, 'Kalian berdua! Turun dari sana! Nanti jatuh, siapa yang akan mengobati?'" kata Irago, terkekeh mengingat omelan Yukio.

Araya tersenyum, "Tentu saja. Padahal dia tahu kita berdua tidak pernah takut jatuh. Tapi dia selalu begitu, selalu khawatir."

Kenangan akan kebaikan Yukio yang tak terbatas selalu membawa kehangatan di hati mereka. Percakapan mereka tidak hanya sekadar nostalgia, tetapi juga menjadi pengingat akan tujuan besar yang mereka pikul.

"Dia akan bangga melihat kita sekarang," bisik Araya, matanya menerawang jauh. "Kita semua tumbuh kuat berkat dia."

Irago mengangguk, menyetujui. "Kita harus pastikan pengorbanannya tidak sia-sia. Kita harus membebaskan benua ini, seperti yang dia inginkan."

Momen-momen intim di tepi sungai itu menjadi sumber kekuatan bagi Araya, pengingat bahwa di balik misi berbahaya yang ia jalani, ada sebuah keluarga yang menunggu kepulangannya. Ikatan di antara mereka semakin kuat, didasarkan pada duka dan janji yang mereka buat untuk ibu angkat mereka. Mereka tidak berjuang hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk mewujudkan impian Yukio akan dunia yang lebih baik.

.

.

.

.

.

.

.

Beberapa tahun telah berlalu, dan rencana yang disusun oleh Araya dan saudara-saudaranya mulai berjalan. Araya ditugaskan untuk mengalahkan naga legendaris Tiamat, sebuah misi yang tampak mustahil bagi orang lain.

Sementara itu, di waktu yang sama, Irago, Nuita, dan Ninaya melancarkan serangan tersembunyi. Dengan cermat dan brutal, mereka membantai ajudan-ajudan penting Kerajaan Tirani di berbagai tempat, meninggalkan jejak yang seolah-olah menunjukkan bahwa kekacauan itu adalah ulah Tiamat, si naga pembawa malapetaka.

"Biar saja mereka berpikir Tiamat sedang mengamuk," gumam Irago. "Semakin banyak kekacauan, semakin mudah kita bergerak."

.

.

.

.

.

Di sebuah lembah terpencil, pertarungan epik antara Araya dan Tiamat akhirnya selesai. Araya, yang sebenarnya bersekutu dengan naga itu, kini menanyakan hal penting.

"Aku sudah menuntaskan bagianku, Tiamat," ucap Araya. "Sekarang, ceritakan semua yang kau tahu tentang rahasia Raja Tirani."

Tiamat, dalam wujud wanita bersisik naga, tersenyum sinis. "Kau ingin tahu kelemahannya? Baik, dengarkan," katanya. Tiamat mulai mengungkapkan rahasia gelap: Raja Tirani telah menjalin kontrak dengan iblis Argus, memberinya kekuatan tak terbatas dan keabadian.

Setelah mencerna semua informasi itu, Tiamat menawarkan kekuatannya. "Ambil kekuatanku, Araya. Dengan itu, kau akan memiliki kesempatan untuk mengalahkan Raja. Tapi ada risikonya," Tiamat memperingatkan. "Kekuatan ini terlalu besar. Sebagian kecil darinya akan bocor dan mengkontaminasi alam. Kau mungkin akan membawa kutukan baru ke dunia ini."

Araya mengangguk, menerima risiko itu. Ia menyerap kekuatan Tiamat, merasakan gelombang energi yang luar biasa mengalir di tubuhnya.

.

.

.

.

.

Setelah proses itu selesai, Araya memandang ke kejauhan. Di Benua Hanie, yang terletak di bagian barat, sebuah cahaya kebiruan terang yang belum pernah ia lihat sebelumnya bersinar di cakrawala. "Cahaya apa itu?" gumamnya, penuh tanda tanya.

Araya tak punya waktu untuk memikirkannya. Misi pertamanya selesai. Ia kembali ke Kerajaan Tirani dan melaporkan, "Saya telah menuntaskan tugas. Tiamat telah dikalahkan."

Sang raja menyambutnya dengan senyum puas, tak menyadari bahwa ini hanyalah awal dari sandiwara yang lebih besar.

.

.

.

.

.

.

.

Beberapa tahun berlalu sejak Araya bergabung dengan prajurit Kerajaan Tirani. Dalam salah satu pertemuan rahasianya dengan Irago, Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana, Araya menyampaikan sebuah penemuan penting.

"Aku menyadari sesuatu," bisiknya. "Raja Tirani memang menyerap kekuatan dari iblis yang dikalahkannya, tapi Tiamat hanya membagikan sebagian kecil dari kekuatannya padanya, tidak semua."

Hal ini menunjukkan bahwa Tiamat telah menipu raja dan Araya berhasil mempertahankan kekuatannya. Diskusi berlanjut, mereka memanfaatkan informasi ini untuk menyusun strategi yang lebih matang, menganggap Tiamat sebagai sekutu yang tidak terlihat.

.

.

.

.

Suatu hari, di sela-sela misi dan perencanaan, Araya dan Irago kembali menghabiskan waktu di tepi sungai yang dulu sering mereka kunjungi. Suasana tenang itu tiba-tiba berubah ketika Araya mulai berbicara tentang hal yang mengejutkan.

"Irago, ada yang ingin kubicarakan," katanya, suaranya terdengar lembut namun serius. "Aku... aku sedang mengandung anakmu."

Irago terdiam, matanya melebar karena terkejut. Meskipun berita itu adalah kebahagiaan, ia tak bisa menyembunyikan kepanikan yang muncul di wajahnya, mengingat misi berbahaya yang sedang mereka jalani.

Melihat ekspresi Irago, Araya tersenyum menenangkan. "Ini baru permulaan," katanya, memegang tangan Irago dengan erat. "Jangan panik. Aku tahu ini akan sulit, tapi kita akan menghadapinya bersama. Aku sudah memikirkan semuanya." Araya lalu menambahkan sebuah janji yang tulus. "Setelah semua ini berakhir, setelah Kerajaan Tirani hancur, kita akan hidup tenang. Kita akan membesarkan anak ini bersama, di tempat yang damai."

Janji Araya membuat Irago merasa lebih tenang. Ia menatap Araya, melihat tekad dan cinta yang terpancar dari matanya. Ia tidak lagi melihat seorang prajurit yang berani, melainkan seorang calon ibu yang ingin melindungi keluarganya demi masa depan.

Keputusan Araya untuk melanjutkan misi demi masa depan mereka semakin menguatkan tekad Irago. Ia tahu mereka harus memenangkan pertarungan ini, bukan hanya untuk mengenang Yukio, tetapi juga untuk memberikan masa depan yang aman bagi anak mereka.

1
Fairuz
semangat kak jngan lupa mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!