Keinginan terakhir sang ayah, membawa Dinda ke dalam sebuah pernikahan dengan seseorang yang hanya beberapa kali ia temui. Bahkan beliau meminta mereka berjanji agar tidak ada perceraian di pernikahan mereka.
Baktinya sebagai anak, membuat Dinda harus belajar menerima laki-laki yang berstatus suaminya dan mengubur perasaannya yang baru saja tumbuh.
“Aku akan memberikanmu waktu yang cukup untuk mulai mencintaiku. Tapi aku tetap akan marah jika kamu menyimpan perasaan untuk laki-laki lain.” ~ Adlan Abimanyu ~
Bagaimana kehidupan mereka berlangsung?
Note: Selamat datang di judul yang ke sekian dari author. Semoga para pembaca menikmati dan jika ada kesamaan alur, nama, dan tempat, semuanya murni kebetulan. Bukan hasil menyontek atau plagiat. Happy reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pengantin
Mama Adlan sebagai tetua di rumah, meminta bantuan tetangga untuk menyiapkan keperluan tahlilan. Tentu mereka tidak keberatan dan membantu Mama Adlan menyiapkan semuanya.
Sementara Dinda masih diam di kamarnya. Adlan masuk dengan membawa nampan berisi makanan.
“Makanlah…” Dinda tidak menjawab.
“Kamu mau disuapi?” tanya Adlan seraya mengambil sendok.
“Aku bisa sendiri.” Dinda mengambil alih sendok dan memasukkannya ke dalam mulut.
Pahit. Satu kata saat makanan masuk ke dalam mulutnya. Ia sama sekali tidak berselera makan, tetapi tidak bisa terus menolak Adlan.
“Jangan dipaksakan kalau memang tidak bisa habis.” Kata Adlan yang sedari tadi memperhatikan Dinda.
Dinda mengangguk dan mengembalikan piring makannya ke nampan. Adlan mengambilnya dan menghabiskan sisa makanan di piring, membuat Dinda membulatkan matanya.
Saat dirinya masih kecil, sang ayah sering melakukannya. Tetapi setelah dirinya mulai baligh, sang ayah tidak lagi melakukannya. Tapi sekarang Dinda melihat Adlan menghabiskan sisa makanannya, membuatnya bingung.
“Sayang kalau mubadzir.” Kata Adlan seraya berdiri membawa nampan keluar kamar.
Dinda dibuat bingung dengan sikap Adlan. Sebentar bisa mengancam, sebentar perhatian, sebentar berlaku seperti seorang ayah.
Bakda maghrib, warga berkumpul untuk tahlilan di rumah Dinda. Berkat Mama Adlan, semuanya lancar. Tidak hanya makan bersama di tempat, Mama Adlan juga memberikan nasi kotak untuk dibawa pulang.
Begitu semua orang berpamitan, tinggallah Mama Adlan, Adlan dan Dinda di rumah. Mama Adlan yang sudah Lelah beristirahat di kamar tamu, sedangkan Adlan tidur di kamar almarhum Pak Lilik.
Dinda yang sendirian di kamarnya, diam-diam menangis. Ia memang sudah Ikhlas melepaskan sang ayah. Tetapi hatinya masih merasakan kesedihan. Bagaimanapun, sekarang dirinya yatim piatu.
Tidak ada tempat bersandar dan tidak punya seseorang yang bisa diandalkan. Dinda lupa jika dirinya saat ini sudah berstatus istri.
Adlan yang ada di sebelah kamar Dinda, samar-samar mendengar isakan membuatnya tidak bisa memejamkan mata. Tak tahan mendengarnya, Adlan memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Dinda.
“Ada apa, Kak?” tanya Dinda yang membukakan pintu dengan wajah sembab dan suara parau.
“Kamu mau menangis sampai kapan?” Dinda terdiam.
Adlan mendorong pintu dan masuk ke dalam kamar Dinda. Tadi ia tidak memperhatikan dengan seksama, sekarang ia baru tahu jika kamar perempuan yang berstatus istrinya itu terlihat sangat rapi.
Ia duduk di tempat tidur dan mengambil buku yang ada di atas meja belajar di dekat tempat tidur.
“Kakak kembali saja. Aku tidak akan menangis lagi.” Kata Dinda yang masih berdiri di dekat pintu.
“Kenapa? Bukankah sudah halal?” Dinda menegang.
Pertanyaan Adlan membuat Dinda ingat dengan statusnya. Benar. Mereka sudah halal. Tidak ada yang salah dengan Adlan yang tinggal di kamarnya. Dinda berjalan dan duduk ujung tempat tidur.
Adlan hanya diam. Ia tidak mau memaksa Dinda. Jika Dinda masih belum bisa menerima pernikahan mereka, ia akan memberikan waktu sampai istrinya bisa menerimanya.
Keduanya saling diam, sampai Dinda menguap.
“Tidurlah, aku akan berjaga di sini!”
Meski masih merasa canggung, Dinda mengangguk dan tidur di sisi kiri tempat tidur. tak butuh waktu lama, Adlan sudah bisa mendengar nafas teratur Dinda.
Adlan meletakkan buku dan menutup pintu perlahan, lalu merebahkan tubuhnya di samping Dinda.
Malam ini adalah malam pengantin mereka. Malam pengantin mereka tidak seperti pasangan pada umumnya. Adlan tidak menyesal.
Malam pengantin atau bukan, baginya tidak penting. Fokusnya sekarang ini adalah Dinda, perempuan yang dititipkan kepadanya.
“Semoga setelah hari ini, kamu bisa kembali mengembangkan senyummu.” Kata Adlan seraya merapikan anak rambut Dinda.
Tak lama, Adlan menyusul Dinda ke alam mimpi. Keduanya tidur dalam satu ranjang malam itu, sampai keesokan harinya Adlan yang bangun lebih dulu mendapati Dinda yang mengigau.
Saat mencoba membangunkannya, Adlan merasakan suhu tubuh Dinda yang tinggi. Segera ia berlari ke dapur untuk mengambil kompres, mengejutkan sang mama yang baru saja keluar dari kamar.
“Dinda kenapa?”
“Demam, Ma.”
“Dibawa ke klinik saja.”
“Di sini tidak ada klinik, Ma.”
“Masak tidak ada dokter?”
“Ada Puskesmas.”
“Menunggu Puskesmas buka, jam berapa?”
“Tenang dulu, Ma! Semoga saja dengan kompres demamnya turun. Nanti kalau Dinda bangun, baru tanya ada obat penurun panas tidak.”
“Ya sudah! Mama buat bubur untuk Dinda kalau begitu.” Adlan mengangguk.
Adlan melihat Dinda menggigil, merasa tidak tega. Akhirnya ia melepaskan pakaiannya dan memeluk Dinda untuk menyerap panas.
Setengah jam berlalu, Dinda tak lagi menggigil. Adlan menghela nafas lega dan kembali merebahkan tubuh Dinda dengan perlahan.
“Ayah…” panggil Dinda dengan suara parau saat membuka matanya.
“Ini aku.”
Dinda mengerjapkan matanya untuk melihat dengan jelas. Orang yang ada di hadapannya adalah Adlan, bukan sang ayah. Melihat Adlan mengenakan pakaiannya, Dinda reflek meraba tubuhnya yang ternyata masih berpakaian lengkap.
“Apa yang kamu pikirkan? Apa ada obat penurun panas?” Dinda mengangguk dengan linglung.
“Dimana?”
“Di meja TV sebelah kanan.” Adlan keluar kamar dan mencari di tempat yang dimaksud.
Setelah menemukan kotak obat, Adlan mengambil obat penurun panas dan mengambil air ke dapur.
“Apa Dinda sudah bangun?”
“Sudah, Ma.”
“Ini. Dia harus makan dulu sebelum minum obat.” Kata Mama Adlan saat melihat obat ditangan anaknya.
Adlan menerima mangkuk berisi bubur dan membawanya ke kamar Dinda. Dinda yang masih linglung, mengikuti perintah Adlan dengan membuka mulutnya dan mengunyah bubur yang masuk ke dalam mulutnya.
“Sudah, Kak.” Kata Dinda yang sudah tidak bisa menelan bubur lagi.
“Minumlah!” Adlan menyodorkan obat penurun panas dan gelas berisi air.
Dinda meminumnya dengan patuh. Setelah minum obat, Adlan memintanya untuk kembali tidur.
Setelah memastikan Dinda tidur, Adlan keluar dengan membawa sisa bubur Dinda. Ia mengambil bubur lagi dan menghabiskannya.
Sang mama hanya memperhatikannya tanpa berkomentar. Bagi beliau, apa yang dilakukan Adlan sudah benar karena makan adalah yang utama sebelum melakukan sesuatu.