Rumah tangga yang baru dibina satu tahun dan belum diberi momongan itu, tampak adem dan damai. Namun, ketika mantan istri dari suaminya tiba-tiba hadir dan menitipkan anaknya, masalah itu mulai timbul.
Mampukah Nala mempertahankan rumah tangganya di tengah gempuran mantan istri dari suaminya? Apakah Fardana tetap setia atau justru goyah dan terpikat oleh mantan istrinya?
Ikuti kisahnya yuk.
IG deyulia2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Tidak Jadi Pulang
Habis sudah libur sekolah Raina. Hari ini, Dana bermaksud mengantarkan Raina ke sebuah tempat yang telah disepakati bersama Devana, yaitu taman alun-alun.
Hal ini juga sudah diketahui Nala. Dana membicarakan hal ini dengan Nala terlebih dahulu. Nala yang sebelumnya masih mendiamkan Dana karena masih kesal, akhirnya kini kembali bicara dengan Dana, setelah Dana membujuknya.
Dari kemarin Raina sudah mengingatkan kepulangannya hari ini pada Dana. Dana menyanggupi sesuai permintaan Raina.
"Sayang, sore nanti Mas akan antarkan Raina pada mamanya. Devana sudah memilih taman alun-alun untuk menjemput Raina. Menurutmu gimana?" tanya Dana meminta pendapat Nala sang istri.
"Nggak apa-apa, antarkan saja ke tempat itu. Dengan catatan Nala ikut," ujarnya meminta syarat. Dana tidak keberatan. Kali ini yang penting Nala sudah mau bicara padanya, itu sudah membuat Dana bahagia.
"Siap, Nyonya Dana," balas Dana, lalu membopong tubuh Nala dan membawanya ke kamar. Wajah Dana diliputi kabut asmara. Sudah beberapa hari Nala marah dan merajuk padanya dan tidak mau disentuh olehnya. Maka kali ini kesempatan untuk Dana menumpahkan rindu yang sejak kemarin-kemarin sudah bergelayut dalam dadanya.
"Mas kangen, Sayang," ujarnya seraya membaringkan tubuh Nala di atas ranjang. Dana tidak peduli, siang-siang begini memadu rindu, yang jelas kerinduan ini sudah tidak terbendung lagi.
"Mas Dana mau apa?" Nala sempat terkejut, melihat Dana sudah berkabut asmara. Padahal ini masih sangat siang.
"Mas kangen, Sayang," ujarnya. Namun, baru saja tangan kekar Dana memeluk pinggang Nala, tiba-tiba suara Raina terdengar memanggil Dana dengan lengkingan yang biasa ia perdengarkan.
"Papaaaa, Raina tidak jadi pulang. Raina masih akan di sini sampai Raina bosan. Raina juga akan berangkat sekolah dari sini. Boleh, ya, Paaa?" teriaknya, menghentikan aksi Dana yang mulai tidak terkendali.
Wajah Dana maupun Nala berubah seketika. Dana yang tadi berkabut gairah, kini seketika wajahnya redup bak lampu neon lima watt.
Sama halnya dengan Nala, wajahnya yang tadi diliputi senyum, kini dipenuhi keterkejutan. Sungguh bukan dia tidak suka dengan kehadiran Raina, akan tetapi permintaan Raina seperti ganjil.
Nala justru sedang berpikir, jangan-jangan keputusan Raina atas kendali Devana. Firasat Nala mengatakan begitu. Dan feelingnya sejauh ini, tidak pernah salah.
"Kemarin Raina mengingatkan untuk pulang hari ini. Tapi, kenapa tiba-tiba sekarang tidak jadi pulang bahkan Raina mau berangkat sekolah dari sini. Apa tidak kejauhan, Mas, jarak rumah ini ke sekolahnya?" ujar Nala terdengar kurang srek dengan keinginan Raina.
"Iya, Mas juga berpikir begitu. Tapi, kamu tidak sedang keberatan bukan tentang permintaan Raina barusan?"
Dana melontarkan pertanyaan seolah Nala merasa keberatan dengan permintaan Raina yang tiba-tiba.
"Mas Dana, kenapa sampai berpikir seperti itu? Nala hanya heran, kenapa tiba-tiba Raina meminta untuk tidak pulang ke mamanya dan justru ingin tinggal di sini lalu memilih pergi sekolah dari rumah ini, kan kejauhan? Apa Raina sengaja diminta Mbak Devana untuk tetap tinggal di sini? Nala sama sekali tidak keberatan, tapi...."
"Tapi apa, tapi kamu memang keberatan, kan? Bilang aja jujur," tuduh Dana. Nala terpancing emosinya dengan tuduhan Dana barusan.
Walaupun pada awalnya Nala senang mendengar Raina akan pulang sore nanti, akan tetapi kalau ia dituduh keberatan dengan kehadiran Raina kembali tinggal di sini, ia tidak terima dan marah.
"Kenapa Mas Dana suudzon begitu? Dengar maksud Nala sebelum Mas Dana menuduh yang tidak benar. Nala hanya heran saja kenapa Raina tiba-tiba memutuskan untuk tidak jadi pulang sama mamanya, sementara kemarin Raina mengingatkan berulang-ulang kalau hari ini Raina pulang," terang Nala. Sejenak ia mengatur napasnya dalam-dalam. Rasa kesalnya kini kembali memuncak.
Dana terkejut melihat sang istri diliputi amarah. Dana menyadari, ucapannya tadi sudah menyinggung perasaan sang istri.
"Aku tidak menuduh, Sayang. Aku hanya bertanya. Maafkan, aku mungkin salah bertanya."
"Salah bertanya, harusnya Mas Dana berpikir kalau ngomong, jangan asal bicara. Mas Dana memang tidak pernah memahami perasaan Nala. Bahkan berpikir kalau pertanyaan barusan menyakiti hati istri atau tidak, sama sekali tidak Mas pikirkan."
"Mas minta maaf, mas salah bicara." Dana berusaha membujuk Nala yang kembali merajuk.
"Sudahlah tidak perlu minta maaf kalau pada kenyataannya Mas Dana tidak pernah mengerti perasaan Nala."
"Mas ngerti, Sayang. Jangan marah seperti ini. Mengenai Raina, biar Mas tangani dulu, ya. Kamu jangan marah lagi. Tolong, Mas tidak nyaman kalau kamu marah lagi seperti sebelumnya," bujuk Dana menatap wajah istrinya lekat.
"Tidak perlu membujuk Nala, Mas. Tapi, perlu Mas Dana tahu, mengenai permintaan Raina tadi, Nala sama sekali tidak keberatan. Nala hanya curiga kalau permintaan Raina adalah atas bujukan atau hasutan Mbak Devana.
Apalagi kalau Raina pergi sekolah dari rumah ini, apa tidak kejauhan? Nala hanya khawatir, Raina dan Mas Dana sama-sama kelelahan saat tiba di sekolah maupun di kantor. Bahkan bisa saja Mas Dana datang terlambat karena harus antar Raina sekolah lebih dulu," urai Nala menjelaskan.
"Jadi, kamu menaruh curiga kalau permintaan Raina ini adalah hasutan dari mamanya?" selidik Dana.
"Tentu saja. Apakah Mas Dana tidak punya firasat ke arah sana?" tukas Nala.
"Papaaaa. Papa dengar nggak?" teriakan Raina kembali menggema, membuat Dana dan Nala kembali tersentak. Nala geleng kepala, dia tahu semua ini adalah rencana Devana.