NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keenan Menghilang

Aku kembali ke ruangan Pak Arsya sambil membawa nampan berisi secangkir teh sesuai pesanannya. Dengan hati-hati, aku meletakkan cangkir itu di atas meja kerjanya.

Namun, ruangan itu kosong. Pak Arsya sepertinya sedang tak ada di tempat. Mungkin sedang menyidak karyawan lain, seperti biasanya kalau beliau mendadak ingin memantau kerjaan.

Aku memutuskan kembali ke pantry untuk mengambil kemoceng. Tadi, sekretaris Pak Arsya, Mbak Vera, menyuruhku membersihkan meja kerjanya lagi. Katanya, masih berdebu.

Padahal aku yakin banget, meja itu udah aku lap dua kali pagi tadi.

Sambil membawa kemoceng, aku kembali ke ruangan Mbak Vera. Ia berdiri di depan mejanya dengan tangan bersidekap di dada, menatapku tajam dari atas ke bawah seperti mau menelan hidup-hidup.

“Ver, itu meja kamu kan udah bersih!” sahut Mbak Risa yang duduk tak jauh dari situ.

“Diam aja kamu, Risa! Kerjaan dia kan memang bersih-bersih, jadi wajar dong kalau aku nyuruh dia ulang!” sahut Mbak Vera ketus tanpa menoleh.

Aku menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak membalas.

Sudah sering aku diperlakukan begini sama dia. Aku anggap saja angin lalu. Percuma masukin ke hati omongan orang yang pendidikannya tinggi tapi adabnya tipis.

Baru beberapa menit aku fokus membersihkan lagi meja itu, ponselku tiba-tiba berdering keras.

Aku melirik sekilas ke layar,ternyata Bang Rendra yang menelpon.

Aku sempat ragu mau mengangkatnya karena tatapan tajam Mbak Vera benar-benar bikin nyali menciut. Tapi panggilan itu muncul lagi. Berdering terus, kali ini terasa lebih mendesak.

“Mbak, saya boleh angkat teleponnya sebentar? Sepertinya ini penting,” pintaku hati-hati.

“Kalau kerja itu fokus! Main ponsel nanti aja, pas jam istirahat! Bersihin lagi meja saya, masih berdebu!” sahutnya ketus sambil melipat tangan.

“Ver, biarin aja Aini-nya angkat telepon dulu. Mana tau dari keluarganya dan penting,” sela Mbak Risa, mencoba membelaku.

Mbak Vera hanya mendengus pelan, matanya tak lepas dari gerakanku. Ponselku terus berdering di meja, suaranya bikin ruangan makin tegang. Aku menelan ludah, menahan resah.

Tiba-tiba, suara langkah sepatu terdengar dari arah lift.

“Aini!” panggil seseorang.

 Aku menoleh dan langsung tegak sempurna, ternyata Pak Arsya berjalan menghampiri kami hendak masuk ke ruangan nya,tentunya menatap ke arah kami.

“Itu ponsel kamu berdering dari tadi, kenapa gak kamu angkat?”

“Eh…” aku melirik Mbak Vera yang langsung melotot ke arahku, memberi isyarat halus agar diam.

“Iya, Pak... setelah ini,” jawabku pelan.

Begitu aku yakin meja Mbak Vera sudah bersih, aku buru-buru melangkah ke pantry dan langsung mengangkat telepon itu dengan tangan gemetar.

“Halo, Bang! Ada apa? Aku lagi kerja, lho!” ucapku cepat sambil menahan napas.

“Aini…!” suara Bang Rendra terdengar panik dan serak di seberang.

Aku langsung tahu ada sesuatu yang gak beres.

“Kenapa, Bang? Ada apa?” tanyaku, mulai cemas.

“Keenan… Keenan hilang!” suaranya terdengar pecah.

Tubuhku langsung kaku. Tenggorokanku tercekat. Dunia seolah berhenti berputar.

“A-apa? Kok bisa, Bang?! Abang gak jagain Keenan ya?” suaraku meninggi, campur panik dan marah.

“Nanti Abang jelaskan."jawabnya terbata-bata.

“Ya Allah, Bang… di mana abang sekarang? Aku ke sana sekarang juga!”

Tanpa pikir panjang, aku langsung menutup telepon dan berlari keluar pantry.

Begitu sampai di ruang utama, aku hampir menabrak Mbak Cici yang baru datang dari arah lift.

“Aini! Eh, kenapa wajah kamu pucat begitu?” tanyanya kaget.

“Mbak… saya bisa izin pulang sekarang?” suaraku bergetar. Air mataku udah menumpuk di pelupuk mata.

“Kenapa, ada masalah?” tanya Mbak Cici cemas.

“Anak saya, Mbak… anak saya hilang di taman bermain,” jawabku lirih sambil menunduk. Air mataku akhirnya jatuh juga.

“Astaga! Kok bisa?”

“Tadi pagi dijemput bapaknya buat jalan-jalan, Mbak. Tapi barusan bapaknya nelpon, katanya Keenan tiba-tiba hilang…” jawabku dengan suara tercekat.

Mbak Cici langsung menghela napas panjang dan menepuk bahuku lembut.

“Ya sudah, kamu pulang sekarang aja. Jangan pikirin kerjaan dulu, yang penting anak kamu ketemu. Tenangin diri kamu di jalan, ya.”

Aku mengangguk cepat, menyeka air mata yang terus jatuh.

Langkahku gontai tapi tergesa. Hatiku benar-benar hancur.

Dalam benakku hanya satu hal yang terus terngiang,Keenan harus segera ditemukan dan tak terjadi apa-apa dengan anakku itu.

**

Saat ini aku sudah berdiri di depan perusahaan, menatap jalanan yang ramai tapi terasa begitu lambat bergerak. Aku mencoba memesan ojek online berkali-kali, tapi pesanan terus ditolak. Begitu juga taksi dan semuanya penuh.

Tanganku gemetar, napasku terasa sesak. Rasanya waktu berjalan terlalu cepat, sementara aku malah terjebak di sini. Panik menyergap dari ujung kepala sampai kaki. Pikiranku cuma satu yakni Keenan harus segera ditemukan.

Aku meremas tanganku cemas dan mataku terus menyapu sepanjang jalan berharap ada kendaraan lewat yang bisa aku hentikan. Tapi nihil.

Tiba-tiba suara klakson pelan terdengar. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapanku.

Kaca jendela turun, menampakkan wajah Pak Arsya yang menatapku dengan alis berkerut.

“Aini? Kamu mau ke mana? Ini masih jam kerja, kan?” tanyanya heran. Nada suaranya terdengar antara bingung dan tidak suka.

Aku langsung melangkah mendekat, mencoba bicara di sela napas yang tersengal.

“Saya sudah izin, Pak, sama Mbak Cici. Anak saya… anak saya hilang, Pak. Jadi saya mau ke tempat dia, di taman bermain itu.”

Mata Pak Arsya langsung berubah, ada rasa terkejut sekaligus khawatir di sana.

“Naik cepat! Biar saya antar,” ucapnya tegas.

“Tapi Pak..”

“Udah, gak usah banyak mikir. Sekarang yang paling penting itu anak kamu,” potongnya.

Aku langsung mengangguk dan tanpa pikir panjang, membuka pintu mobil. Tanganku bergetar saat menarik sabuk pengaman. Mobil segera melaju agak ngebut, seolah ikut menyalurkan kepanikanku.

Aku menatap ke luar jendela, mataku panas, pikiranku kalut. Suara deru mesin mobil saja rasanya membuat jantungku makin berdetak cepat.

Pak Arsya tetap fokus menyetir, tapi suaranya terdengar tegas ketika bertanya, “Kenapa Keenan bisa hilang?”

Aku menelan ludah sebelum menjawab. “Tadi pagi papanya menjemput, katanya mau ngajak jalan-jalan. Tapi…” suaraku tercekat, “...tiba-tiba dia bilang Keenan hilang.”

Pak Arsya mendecak pelan. “Kok bisa-bisanya suami kamu itu gak bisa jaga anaknya sendiri? Anak ditangan sendiri juga bisa hilang. Aneh sekali.”

Nada suaranya terdengar kesal, tapi entah kenapa aku merasa sedikit lega karena ada orang lain yang ikut marah sepertiku.

Aku menunduk, air mataku mulai menetes tanpa bisa ditahan. Apa yang dipikirkan Pak Arsya, itu juga yang berputar di kepalaku. Bagaimana bisa bang Rendra seceroboh itu? Apalagi dia gak sendiri. Ada Della di sana bersama perempuan yang sudah merebut semuanya dariku.

Tiba-tiba perasaan buruk menyusup di dada. Jangan-jangan ini ulah dia.

Kalau benar begitu, aku sumpah, gak akan pernah maafin perempuan itu seumur hidupku.

**

Begitu mobil berhenti di area parkir taman bermain, aku langsung membuka pintu dan berlari tanpa pikir panjang. Nafasku memburu, langkahku terasa berat tapi cepat.

Aku menuju pos informasi, tempat Rendra dan Della sedang berdiri. Aku tak menyangka, Pak Arsya ikut turun dan mengikuti langkahku dari belakang. Wajahnya tampak tegang, mungkin ikut khawatir.

Begitu bang Rendra melihatku datang bersama Pak Arsya, ekspresinya langsung berubah. Matanya menatapku tajam, seolah kehadiranku saja sudah mengganggu. Della yang berdiri di sampingnya memeluk tas kecil di dada, pura-pura panik tapi wajahnya terlihat tenang dan bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini.

“Bagaimana, Bang? Udah ketemu Keenan-nya?” tanyaku tanpa basa-basi. Suaraku bergetar, campuran antara takut dan marah. Aku gak peduli tatapan sinis mereka berdua.

Bang Rendra menggeleng lesu. “Belum.”

Aku menatapnya tak percaya. “Lantas abang cuma berdiri di sini?! Gak nyari anak kita?!” suaraku meninggi, membuat beberapa orang di sekitar menoleh.

“Tadi abang udah keliling sama petugas keamanan,” jawabnya defensif.

“Tapi kami gak nemu Keenan.”

“Sekali keliling terus nyerah?! Kamu pikir Keenan itu barang ilang bisa dicari santai kayak gini? Dia anak kita, Bang! Anak kita!” suaraku pecah, air mata mengalir deras.

“Tenang dulu, Aini. Kamu jangan marah-marah. Kamu gak lihat Rendra juga panik?”

Suara Della terdengar manis di telinga, tapi bagiku itu seperti racun.

Aku menatapnya tajam. “Aku gak minta pendapat kamu!” ujarku dingin sebelum berbalik dan berlari ke arah taman.

Aku menembus kerumunan orang, mataku liar mencari sosok kecil yang mungkin sedang menangis, tersesat, atau ketakutan.

Bang Rendra berlari menyusul dan sempat menarik lenganku.

“Aini, tunggu! Abang ikut cari!”

“Gak perlu! Urus aja istri muda kamu itu!” bentakku sambil menepis kasar tangannya.

“Aini! Aku masih suamimu, tolong bicara baik-baik!” suaranya meninggi.

Aku berhenti sejenak, menatapnya dengan mata basah. “Bicara baik-baik? Dengan kamu?” suaraku bergetar marah.

“Dasar bajingan!”

Wajah bang Rendra langsung berubah muram. Ia mengangkat tangan, jelas hendak menamparku. Tapi sebelum tangannya sempat menyentuh wajahku, seseorang lebih dulu menahan pergelangannya dengan kuat.

Suara berat Pak Arsya terdengar tajam di antara kami.

“Coba kalau kamu berani sentuh dia,” ucapnya dingin, menatap Rendra dengan sorot mata tajam.

Udara seketika membeku.

Bang Rendra menatap Pak Arsya dengan rahang mengeras, tapi akhirnya menurunkan tangannya pelan-pelan.

Aku menatap mereka bergantian, dadaku naik-turun menahan tangis dan amarah yang bercampur.

Pak Arsya menatapku sekilas. “Sekarang fokus cari anak kamu dulu, Aini. Yang lain urusan nanti.”

Aku mengangguk pelan, menyeka air mataku, lalu kembali berlari ke arah taman karena didorong oleh ketakutan yang makin menghimpit dada.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!