Nikah Kilat Dengan Murid Ayah
“Hari ini pulanglah lebih awal, Nak! Salah satu murid Ayah akan berkunjung.”
“Iya, Yah. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
Adinda Pratiwi, yang akrab disapa Dinda. Seorang guru SD yang baru saja menyelesaikan pendidikannya. Meski belum menyandang status pegawai sipil, setidaknya Dinda sudah menerima gaji berupa tunjangan profesi.
Pilihannya menjadi guru SD, tak lain karena pengaruh sang ayah yang menjabat sebagai kepala sekolah SMP Negeri dan kurangnya tenaga pendidik di desanya. Desa Dinda yang jauh dari kecamatan, membuat perkembangan Pendidikan di desanya tertinggal dibandingkan SD yang lain.
“Pagi, Bu!” seru anak-anak menyambut kedatangan Dinda.
“Pagi.” Satu-persatu dari mereka menyalami tangan Dinda dan segera masuk ke dalam kelas untuk meletakkan tas mereka.
Sementara Dinda masuk ke dalam kantor guru yang ukurannya sama dengan rata-rata ruang kelas. Di dalam sudah ada Sholeh, kepala sekolah.
“Pagi, Pak Sholeh.”
“Pagi, Bu Dinda. Hari ini Bu Dinda mengajar berapa kelas?”
“Dua kelas, Pak karena Bu Maisyurah izin. Bapak sendiri?”
“Saya di kelas 6 saja karena kelas 4 sudah ada yang mengampu.”
“Guru baru, Pak?”
“Iya, sama seperti Bu Dinda. Fresh graduate.”
“Alhamdulillah kalau ada yang melamar kemari, Pak. Biasanya fresh graduate mencari sekolah yang aksesnya gampang dan fasilitasnya lengkap.”
“Ibu benar. Tetapi Pak Gibran ini punya visi yang sama seperti Bu Dinda, yaitu mau memajukan Pendidikan desa yang tertinggal. Makanya masuk ke sekolah kita.”
“Syukurlah kalau begitu, Pak. Saya ajak anak-anak bersih-bersih dulu, Pak.”
“Silahkan!”
Dinda berjalan menyusuri koridor sekolah yang kini terlihat lebih berwarna setelah dirinya menggalakkan penanaman pohon dan bunga di pekarangan sekolah. Sebelumnya, sekolah terasa kosong dan tidak terawat karena tidak ada tukang kebun yang bertugas.
Jangankan tukang kebun, tenaga pengajar saja pas-pasan. Sejak ada Dinda, setiap hari sebelum masuk ke dalam kelas, anak-anak akan bekerja bakti untuk membersihkan kelas dan bersama membersihkan sekolah di Hari Jum’at seperti hari ini.
Sekolah dengan enam kelas, hanya memiliki murid rata-rata perkelas 10-15 orang. Hal ini dikarenakan kebanyakan orang tua di desa memasukkan anak mereka di sekolah luar desa yang lebih maju.
“Bu, ada Pak Guru baru!” seru anak-anak yang sedang menyapu lapangan sekaligus halaman sekolah.
“Iya. Kata Pak Sholeh, guru baru akan mengajar kelas 4.”
“Asyik! Pak Gurunya ganteng.” seru anak-anak perempuan kelas 4.
Dinda tersenyum dan meminta mereka melanjutkan bersih-bersih. Sebagai guru, Dinda tidak hanya mengawasi tetapi juga terjun langsung bersama guru lain. Ia membantu anak-anak merapikan tanaman dan mencabut rumput yang tumbuh di pot-pot bekas kaleng cat.
Setelah selesai, anak-anak berbaris untuk mencuci tangan bergantian dan masuk ke dalam kelas masing-masing. Guru-guru menyusul mereka dan memulai kegiatan belajar.
Di sisi lain.
“Mau ke mana?”
“Mau ke rumah Pak Lilik, Ma.”
“Sampaikan salam Ibu untuk Pak Lilik, ya?”
“Iya, Ma.”
“Oh iya, bukannya Pak Lilik punya anak perempuan?”
“Namanya Dinda.”
“Apa kamu tidak tertarik?”
“Dinda itu sudah aku anggap seperti adikku sendiri, Ma. Lagi pula dia tidak mengenalku karena selama ini dia hanya fokus dengan dunianya.”
“Cocok kalian itu! Sama-sama fokus dengan dunia sendiri sampai tidak ingat dengan pasangan! Mama juga mau jadi Nenek dan gendong cucu!”
“Jodoh itu sudah ada yang mengatur, Ma.”
“Memang sudah ada yang mengatur, tapi kalau tidak diusahakan apa bisa tiba-tiba datang sendiri?”
“Mungkin saja, Ma. Yang namanya kuasa Allah, tidak ada yang tahu.”
“Kesal Mama ngomong sama kamu. Ya Allah, semoga Engkau lekas memberikan hamba-Mu ini mantu.” Doa sekaligus sindiran Mama Adlan sambil berlalu.
Adlan menyalakan mesin motornya dan segera pergi menuju rumah Pak Lilik. Jarak yang lumayan jauh dan jalan yang tidak mulus, membuat Adlan memilih menggunakan motor dibandingkan dengan mobil.
Dengan motor, ia juga bisa menikmati pemandangan yang bebas polusi tidak seperti di kota tempatnya tinggal.
Setelah satu jam setengah perjalanan, Adlan sampai di rumah Pak Lilik. Sayangnya, rumah masih tertutup rapat yang artinya tidak ada orang di rumah.
Sambil menunggu, Adlan duduk di kursi bambu yang ada di teras dan memainkan ponselnya. Ia yang membuka bisnis bengkel mobil, sudah bisa menyerahkan semua urusan kepada karyawannya. Sehingga ia memiliki banyak waktu luang seperti sekarang.
“Ada apa, Di?” tanya Adlan yang menerima panggilan dari mekaniknya.
“Bos! Ada yang mencari.”
“Siapa?”
“Aku lupa tanya, Bos! Tapi katanya kenal dengan Bos. Ciri-cirinya, perempuan tinggi sebahuku, penampilannya modis dan pakai mobil sedan warna hitam.”
“Kalau ada urusan, suruh datang lagi lain waktu saja. Aku sedang tidak bisa diganggu!”
“Siap!”
Adlan mencoba mengingat perempuan yang dimaksud Adi. Tetapi ia tidak bisa menebak siapa karena selama ini ia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun.
Tak lama kemudian, Pak Lilik datang dengan motor tuanya. Adlan segera berdiri dan menyambutnya.
“Sudah lama?”
“Baru saja, Pak.”
“Maafkan Bapak, tadi motornya mogok. Maklum sudah tua seperti yang punya.”
“Kenapa tidak diganti saja, Pak?”
“Sayang, Nak! Motor itu ada kenangannya sendiri.” Adlan mengangguk dan mengikuti Pak Lilik masuk ke dalam rumah.
Rumah sederhana yang terlihat rapi itu membuat Adlan merasa nyaman. Ia yang sudah mengenal Pak Lilik sejak awal masuk SD, menjalin hubungan baik dengan beliau karena Pak Lilik yang telah membimbingnya menjadi dirinya yang sekarang.
Ia sudah sering berkunjung sehingga ia hafal dengan tata letak rumah. Yang paling membuatnya nyaman adalah belakang rumah beliau, dimana ada kolam ikan nila dan lele dengan saung di atasnya.
Pohon mangga dan jambu di sekeliling yang membentuk pagar, membuat sekitar terasa sejuk meski panas di Tengah hari. Ia sering menghabiskan waktu di sana saat berkunjung.
“Seadanya, Nak.” Pak Lilik menyuguhkan air putih untuk Adlan.
“Sepertinya Dinda lupa belanja, makanya tidak ada gula di rumah.” Imbuhnya.
“Tidak perlu repot-repot, Pak.”
“Nak Adlan… Maafkan Bapak yang menyita waktumu yang sibuk.”
“Saya tidak sibuk, Pak. Untuk Bapak, saya akan luangkan waktu.”
“Maksud Bapak memanggilmu kemari adalah untuk menanyakan sesuatu yang tidak bisa Bapak tanyakan lewat telepon.”
“Apa itu?”
“Apa kamu saat ini sudah punya pasangan?”
“Belum.”
“Apa kamu sedang menyukai seseorang?” Adlan terdiam.
“Maafkan Bapak kalau lancang. Bapak hanya ingin memastikan sesuatu.”
“Kenapa Bapak menanyakan ini?” Pak Lilik menghembuskan nafas dalam.
“Umur Bapak tidak akan lama, Nak. Sebelum itu, Bapak ingin mencarikan seseorang yang bisa dipercaya untuk menjaga Dinda. Dan kamu adalah pilihan pertama yang terpikirkan. Kamu tahu, Dinda sudah tidak memiliki Ibu sejak lahir. Bapak tidak ingin Dinda sendirian saat aku juga meninggalkannya. Sementara Dinda tidak memiliki laki-laki yang disukai karena selama ini ia hanya fokus dengan pendidikannya dan Bapak. Tapi Bapak tidak memaksa, Nak. Bapak menghargai keputusanmu.”
“Saya setuju.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
𝐈𝐬𝐭𝐲
hadir Thor
2025-09-19
1
indy
hadir kakak
2025-09-19
1