NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 - Lahirnya Pohon Sajar

Saat langit maruyung mulai menelan cahaya siang, cahaya hijau melintas membelah kabut tebal di langit barat. Batu api dari langit itu menembus kanopi awan, meninggalkan jejak cahaya yang membakar senja.

‎Sebelum mendarat, bongkahan-bongkahan meteor terpecah menjadi serpihan, hingga salah satu biji benih seukuran jempol jatuh dan tertanam di kaki Gunung Salak.

‎Hari demi hari, biji itu mulai menumbuhkan akar kecil, menembus tanah yang keras.

‎Musim demi musim, tunas mungil muncul di permukaan, menandakan kehidupan baru yang unik.

Siklus demi siklus, batang mulai menjulang, sementara daun pertama terlihat beberapa minggu kemudian.

‎Pohon itu tetap diam di tempatnya, meski masih sangat muda, namun memiliki kesadaran yang aneh dan unik. Seolah-olah ingin bicara dengan pohon lain, namun tidak ada yang mendengar.

‎Ia menunggu, mengajak bicara, karena berdiri sendirian di tengah tanah luas, jauh dari pohon atau tanaman lain. Di belakangnya, tebing tinggi tertutup kabut menambah kesan misterius dan terpencil.

‎Setelah berlanjut siklus lima, akar dan daun tumbuh lebat. Tiba-tiba, akar pohon itu menyentuh akar pohon lain. Sebuah percakapan terjadi tidak dengan kata, tapi dengan getaran dan aliran energi di dalam tanah.

‎Pohon penduduk bumi asli, penasaran, bertanya:

‎“Kamu siapa? Dan dari mana asalmu? Tidak ada satupun di bumi ini seperti kamu. Hanya kau satu-satunya pohon seperti ini.”

‎Pohon misterius menggerakkan daunnya pelan, seolah menahan getaran yang ingin diungkapkan, lalu menjawab dengan suara lembut yang hanya bisa dirasakan melalui akar dan aliran energi tanah:

‎“Aku… baru saja dilahirkan. Aku tidak tahu siapa diriku, dari mana asalku, atau siapa kerabatku. Aku hanya tumbuh di sini, sendirian, menunggu untuk memahami dunia.”

‎Pohon penduduk bumi, yang akarnya telah menyentuh akar pohon baru ini, menunduk sedikit seolah mengamati dengan penuh rasa ingin tahu. Suaranya mengalir melalui akar, lembut namun tegas:

‎“Aku tidak melihat kejadiannya secara langsung, namun aku merasakan kehadiranmu. Kau datang… dari tempat terbuka di atas, bukan dari jatuhnya buah. Kehadiranmu berbeda… istimewa. Tidak ada satupun di bumi ini yang seperti dirimu.”

‎Saat ini umur pohon misterius mencapai siklus ke 15, tubuhnya berkembang semakin besar dan kuat. Batangnya menjulang, daun-daunnya lebat, dan akarnya mulai mengeluarkan gerakan yang aneh tapi anggun.

‎Akar-akar itu bergerak menggeliat layaknya ular, perlahan menyentuh benda-benda di sekitarnya batang pohon lain, batu, rumput, bunga, bahkan binatang kecil yang lewat.

‎Setiap sentuhan terasa lembut, seolah pohon itu telah terbiasa dengan bumi dan setiap makhluk di dalamnya.

‎Pohon misterius belajar berinteraksi dengan alam:

‎Menyapa binatang yang penasaran,

mengalirkan energi menenangkan pada tumbuhan di sekitarnya, Merasakan getaran bumi, air, dan angin dengan kedalaman yang luar biasa.

‎Pohon misterius, meski masih berdiri di kaki Gunung Salak, mulai merasakan getaran pohon lain jauh di timur, hingga mencapai wilayah suku Yaka.

‎Setiap kali kapak menghantam pohon jati, hatinya atau lebih tepat, kesadarannya teriris.

‎Dia merasakan sakit yang sama ketika kayu dibelah menjadi beberapa bagian, diangkut dan dibakar menjadi arang.

‎Getaran itu seperti jeritan yang tak terdengar oleh manusia, namun jelas dirasakan oleh pohon yang baru lahir itu.

‎Beberapa hari kemudian, seorang manusia bepakaian coklat serat kulit sukun muncul di dekat pohon misterius, mencari ranting untuk dijadikan kayu bakar.

‎Pohon itu segera merasakan kehadiran langkah kakinya, getaran yang mirip dengan suara langkah tapak kaki dari timur jauh yang pernah membuatnya sakit hati.

‎Akar-akar pohon, perlahan namun pasti, menggeliat dan merambat, melilit kaki manusia itu.

‎Bukan dengan niat membunuh, tapi untuk menghentikan perbuatannya, seolah bumi sendiri menolak kekerasan terhadap saudara-saudara pohon yang tak bersalah.

‎Orang itu berteriak minta tolong, suaranya menembus hutan dan terdengar oleh kawannya yang juga sedang mencari ranting kayu.

‎Saat kawannya datang, ia terkejut luar biasa melihat temannya terjerat akar pohon yang bergerak seolah hidup sendiri.

‎Ketakutan melanda, dan tanpa pikir panjang, dia lari menjauh, berlari pulang untuk melaporkan kejadian aneh itu kepada orang-orang desa.

‎Di belakangnya, pohon misterius tetap diam, akarnya kembali ke tanah, menunggu dan mengamati dengan kesadaran yang penuh rasa ingin tahu dan peringatan.

‎Beberapa saat kemudian, empat orang dewasa datang dan sangat terkejut melihat seorang teman mereka terjerat akar pohon yang bergerak seolah hidup.

‎Mereka berteriak dan mundur ketakutan, namun seorang anak muda berbeda berpakaian coklat muda keputihan dari serat pohon ara.

‎Ia tidak panik, tidak lari, bahkan mendekat dengan tenang.

‎Dengan hati-hati, ia menyentuh akar pohon, dan seketika sebuah aliran energi mengalir di antara mereka.

‎Melalui sentuhan itu, pohon misterius dan anak muda itu berkomunikasi tanpa kata, seolah takdir telah mempertemukan mereka, membawa pemahaman dan rahasia yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terbuka.

‎Akhirnya, mereka saling mengenal.

‎Anak muda itu bernama Raka, yang kini usianya sama dengan pohon misterius.

‎Pohon itu sendiri belum memiliki nama, karena bukan bagian dari budaya manusia yang biasa memberi nama.

‎Melalui sentuhan dan aliran energi yang terhubung, Raka merasakan keunikan dan kesadaran pohon itu, lalu memberinya nama sendiri: Sajar.

‎Sejak saat itu, pohon misterius itu dikenal sebagai Sajar, simbol ikatan antara manusia dan alam, dan menjadi sahabat sekaligus guru bagi Raka.

‎Setelah orang yang terlilit akar berhasil dilepaskan dan kembali ke warga desa, Raka tetap duduk di hadapan pohon.

‎Dengan hati-hati, ia menyentuh akar Sajar, dan aliran energi itu menghubungkan mereka.

‎Melalui sentuhan itu, Raka mulai bercerita dimulai dari kisah hidupnya sejak bayi tidak pernah mengetahui siapa kedua orang tuanya, dan dibesarkan oleh seorang guru bijaksana bernama Rasi Laka.

‎Sajar mendengarkan, meski tanpa suara, namun setiap getaran dan energi yang mengalir seolah memahami rasa kehilangan, kesepian, dan rasa ingin tahu Raka tentang dunia.

‎Sejak saat itu, pohon dan manusia itu mulai membangun ikatan batin yang kuat, siap menghadapi rahasia dan tantangan dunia bersama.

‎Raka duduk bersila di bawah naungan Pohon Sajar, daun-daunnya bergoyang pelan seolah menyambutnya. Ia menatap pohon itu dengan mata penuh rasa hormat, merasakan getaran halus yang keluar dari akar dan batangnya.

‎“Sejak aku lahir,” kata Raka lirih, “bersamaan dengan jatuhnya api hijau itu di Gunung Salak oleh Rasi Laka… hingga siklus ke 5, setiap hari aku menghafal wahyu dari lisan Rasi Laka.”

‎Tangan Raka bergerak seolah menabur benih ke tanah, “Aku belajar menanam, merawat dan memanen semua berasal dari wahyu.

"

‎Bahkan hewan seperti ikan, jika tumbuh cukup besar, bisa dipanen. Binatang disembelih dengan izin Sang Pencipta, pohon ditebang pun dengan izin yang sama".

“Setiap hari aku membawa air dengan daun palem dari sungai ke puncak pondok kami tinggal.

Setiap hari memungut ranting untuk ditukar umbi talas sebagai makan. Setiap hari membelah dan menumpuk batu pipih, menjadikannya alas pijakan.”

‎Daun-daun Pohon Sajar bergetar halus, seolah mendengarkan dan memahami setiap kata.

Raka menundukkan kepala, merasakan hubungan yang tak terlihat tapi nyata antara dirinya, manusia, dan Sang Pencipta.

“Aku bukan hanya merawat bumi… aku menjadi penghubung antara manusia dan Sang Pencipta,” katanya, napasnya berirama dengan angin yang lewat di cabang pohon.

‎Pohon Sajar kemudian mengeluarkan suara gemerisik lembut, seolah mengiyakan. Raka tersenyum, menepuk akar pohon, “Kau mengerti, kan? Semua yang kulakukan adalah wujud syukur, bukan kekuasaan.”

‎Di sekeliling mereka, udara seolah lebih hidup daun, bunga, dan bahkan tanah seakan ikut menyerap getaran wahyu itu.

Pohon Sajar tidak hanya diam; ia menanggapi, berkomunikasi dalam bahasa yang hanya bisa dirasakan Raka.

Sebuah ikatan suci terbentuk, di mana manusia dan alam berinteraksi dalam keharmonisan yang sempurna.

‎Raka menundukkan kepala, tangannya masih menyentuh akar Pohon Sajar.

Tiba-tiba, getaran yang lembut berubah menjadi gemerisik yang lebih tegas, hampir seperti suara yang menuntut perhatian.

‎“Raka…” suara itu terdengar jelas di pikirannya, meski berasal dari pohon. “Ada kaummu manusia yang telah menebang pohon dengan cara sangat kasar di Timur Jauh, di mana matahari pertama kali muncul. Apakah manusia sejahat itu terhadap kaumku sendiri?”

‎Raka terdiam sejenak, menelan rasa bersalah yang muncul. “Tidak semua begitu,” jawabnya pelan. “Ada yang bijak, ada yang belajar… tapi memang banyak yang lupa menghormati pohon, menghormati alam.”

‎Pohon Sajar bergoyang lebih kencang, rantingnya seakan menunjuk jauh ke arah Timur. “Kau harus ingatkan mereka, Raka. Kaummu harus belajar, atau alam akan menderita lebih banyak lagi.”

‎Raka menunduk, menyadari tanggung jawabnya. “Aku akan mengajarkan apa yang aku pelajari dari Rasi Laka… cara menanam, merawat, memanen dengan bijak. Aku akan menjadi perantara agar manusia belajar menghormati kalian.”

‎Daun-daun Pohon Sajar bergetar lembut lagi, kali ini seperti mengiyakan. Sebuah ikatan terjalin, bukan hanya antara Raka dan pohon itu, tapi juga sebagai pengingat bahwa manusia bisa menjadi penjaga alam, bukan perusaknya.

‎Di tengah heningnya hutan, Raka masih duduk bersila menghadap Pohon Sajar, tangannya menepuk akar dan menunduk seolah sedang bermeditasi. Getaran lembut dari pohon itu memenuhi udara.

‎Tiba-tiba, dari arah jalan setapak, terdengar langkah berat. Rasi Laka muncul, wajahnya tegang. “Raka! Apa yang kau lakukan? Duduk di depan pohon seperti itu… apa kau… menyembahnya?” Suara Rasi Laka meninggi, ada amarah yang sulit disembunyikan.

‎Raka menoleh perlahan, tak terganggu oleh nada keras gurunya. “Bukan, guru. Aku tidak menyembah pohon ini. Aku belajar darinya… ia bisa berbicara.”

‎Resi Laka menatapnya, alisnya berkerut. “Berbicara? Jangan main-main, Raka!”

‎“Tidak, sungguh…” Raka membungkuk sedikit. “Pohon ini… ia mengeluh. Ia berkata bahwa ada kaum di Timur yang menebang pohon dengan paksa, tanpa izin sang pencipta. Ia sedih melihat kaumnya dirugikan. Aku hanya mendengarkan dan berjanji akan mengajarkan manusia agar tidak merusak alam.”

‎Rasi Laka terdiam sejenak, napasnya terengah. Ia menatap Raka, lalu ke arah pohon. Gemerisik daun dan ranting terdengar seolah menegaskan kata-kata Raka.

“Hmph… rupanya bukan kau yang salah, Raka,” ucap Rasi Laka akhirnya, suaranya melembut.

“Tapi ingat, ini tanggung jawabmu. Wahyu lisan yang kau pelajari bukan hanya untukmu sendiri. Kau harus menjadi penghubung, agar manusia dan alam tetap selaras.”

‎Raka menunduk hormat, sambil menyentuh akar Pohon Sajar. Pohon itu bergoyang pelan, seakan mengiyakan. Di momen itu, hubungan antara manusia, guru, dan alam terasa hidup, penuh tanggung jawab dan kesadaran.

‎“Dulu… saat aku masih tinggal di Lakantara,” suara Rasi Laka terdengar lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri, “aku berdiri di menara tempat Rasi P'rana tinggal, menyaksikan para anggota suku Yaka membawa arang dari pohon jati dari selatan.

‎Mereka membakarnya, untuk melelehkan tembaga yang kemudian dipakai membangun dinding istana…”

‎Raka menatapnya dengan rasa kagum dan sedikit takut. “Begitu banyak pohon… dibakar begitu saja?” tanyanya pelan.

‎Rasi Laka mengangguk, alisnya mengerut. “Ya… dan aku tahu, saat itu, alam menjerit dalam diam. Tak ada yang mendengar kecuali aku.

‎Sejak saat itu, aku sadar: setiap murid yang belajar dari Para Rasi harus menghormati alam, tidak boleh merusak pohon atau binatang demi kepentingan manusia semata.

‎Wahyu lisan yang aku ajarkan bukan hanya ilmu menanam atau merawat, tapi juga pengingat tanggung jawab.”

‎Pohon Sajar bergoyang pelan, seolah mengiyakan kata-kata Rasi Laka. Raka menunduk, menyadari betapa besar tanggung jawab yang ada di pundaknya. “Aku akan belajar, dan mengajarkan manusia untuk tidak mengulang kesalahan itu,” kata Raka, penuh tekad.

‎Rasi Laka menarik napas panjang, menatap Raka dengan mata yang tajam namun penuh harap. “Ingat baik-baik, Raka. Kaummu manusia bisa menjadi penjaga alam, atau perusaknya. Pilihan ada padamu.”

‎Raka menunduk hormat, lalu menatap Pohon Sajar yang berdiri tegak di hadapannya. Tangannya menyentuh batang pohon, dan getaran hangat langsung mengalir ke tubuhnya. “Aku mengerti, Guruku… aku akan menjadi penghubung antara manusia dan alam. Aku tidak akan membiarkan mereka merusak kaummu.”

‎Pohon Sajar bergoyang lembut, cabang dan daunnya seakan tersenyum. Dari akar, sebuah lilitan terbentuk di pergelangan tangan Raka gelang akar yang bisa membantunya tetap berkomunikasi dengan pohon Sajar, bahkan saat ia jauh dari hutan.

‎Raka mengangkat kepalanya, napasnya dalam, tekadnya bulat. “Aku harus pergi ke Timur. Aku harus melihat sendiri apa yang terjadi, dan mengajarkan manusia cara menghormati alam.”

‎Rasi Laka menatapnya dengan tegas, lalu menggeleng pelan. “Tidak, Raka. Kau masih terlalu muda untuk perjalanan sejauh itu".

Langit maruyung hampir menuju gelap, dan jalan ke Timur panjang serta berbahaya.

Kau harus pulang sekarang, belajar lebih banyak, dan mempersiapkan dirimu.”

‎Raka ragu sejenak, menatap gelang akar di pergelangan tangannya.

‎Pohon Sajar bergoyang lembut, seakan memberi dukungan. Namun Raka tahu gurunya benar.

‎Dengan napas panjang, ia menunduk lagi. “Baik, Guruku. Aku akan pulang… dan mempersiapkan diri agar suatu hari bisa menunaikan tanggung jawab ini.”

‎Rasi Laka tersenyum lembut, menepuk bahu Raka. “Itulah muridku yang bijak. Alam akan menunggumu, Raka.

‎Dan saat waktumu tiba, kau akan tahu jalan yang benar untuk menuntun kaummu.”

‎Dengan itu, Raka menoleh sekali lagi pada Pohon Sajar, lalu melangkah pulang, perasaan campur aduk antara tekad dan kesabaran, namun gelang akar di pergelangan tangannya tetap bergetar lembut, menjadi pengingat akan tanggung jawab yang menantinya suatu hari nanti.

‎Di lereng barat Gunung Salak, udara malam kerap diselimuti kabut lembap yang turun perlahan dari puncak. Dari balik tirai kabut itu, tampak kilau samar berwarna hijau, seolah ada api yang menyala di bawah tanah.

Namun bukan api, melainkan pendar dari batu-batu langit yang jatuh bersama Api Hijau bertahun-tahun lalu.

Cahaya itu tidak panas, tidak pula menyilaukan, hanya bergetar lembut di permukaan kabut seperti napas bumi yang belum padam.

Maka setiap malam, di sekitar pondok Rasi Laka, bayangan pohon dan bebatuan tampak hidup, berpendar halus, mengingatkan bahwa langit pernah menurunkan sesuatu yang tak sepenuhnya padam.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!