Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Langit bulan itu selalu kelabu, seolah ikut meresapi sunyi yang kini tinggal di hati Dimas. Apartemen yang dulu ia tempati bersama Alya terasa seperti museum—penuh jejak yang tak lagi bisa disentuh.
Cangkir teh Alya masih di rak atas. Buku-buku pilihannya masih tersusun di rak—tak satu pun ia sentuh, seolah takut merusak kenangan. Dan setiap malam, Dimas memutar ulang suara rekaman dari CCTV kecil yang tak pernah ia matikan: Alya sedang menyiram tanaman, Alya tertidur dengan buku di dada, Alya menangis sendiri di sudut balkon.
“Kamu tahu rasanya terlambat, Mas?”
“Bukan hanya kehilangan orangnya, tapi kehilangan hak untuk dicintai kembali.”
Suara itu masih terngiang di telinganya.
Di tempat lain.
Alya kini tinggal di sebuah kamar kost sederhana di tepi kota. Ia mengajar kelas online bernama “Suara Kedua”, khusus untuk perempuan-perempuan yang pernah dijadikan pilihan kedua—istri kedua, janda muda, atau korban stigma.
Ia mengajar dengan mata yang jernih. Bicaranya tenang, tidak menyalahkan. Di ujung setiap kelas, selalu ada satu kalimat yang ia ulang:
“Kita bukan korban. Kita adalah penyintas dari kisah yang tak kita minta.”
Suatu malam, setelah selesai mengajar, ia membuka email. Ada dua pesan yang belum dibaca. Satu dari Dimas. Satu dari Rey.
Alya mengklik milik Dimas terlebih dahulu.
Dari, Dimas Arsyad
Alya,
Aku ingin menulis ini tanpa harapan kau membalas. Tapi aku menulis karena aku tahu kau berhak tahu.
Sejak kamu pergi, aku belajar untuk hidup tanpamu bukan sebagai hukuman, tapi sebagai pelajaran.
Aku berhenti dari dewan perusahaan. Aku kembalikan saham yang dulu diberikan keluargamu saat kita menikah. Aku tak ingin harta itu menjadi luka yang kamu pikul.
Aku mulai menulis. Buku kecil, tentang kesalahan seorang laki-laki yang terlalu lama diam ketika perempuan di sampingnya perlahan mati rasa.
Aku tak akan memintamu kembali. Tapi aku ingin kamu tahu… kalau kamu bahagia, maka penyesalanku bukan sia-sia.
Terima kasih telah pernah memilihku.
Dimas.
Alya menutup email itu tanpa air mata. Bukan karena ia tak sedih—tapi karena hatinya tak lagi digantung oleh keinginan untuk diperjuangkan oleh orang yang salah.
Ia lalu membuka email dari Rey.
Dari, Rey Satria
Untuk Alya,
Aku tahu kamu butuh waktu. Dan aku akan selalu menghormati itu.
Tapi jika suatu hari kamu ingin seseorang untuk menjemputmu dari sepi, bukan untuk memintamu menjadi siapa pun—aku akan ada di tempat yang sama.
Aku tak akan membawamu lari dari masa lalu. Aku akan berdiri di sisimu untuk menatap masa depan.
Kamu tak perlu menjawab. Aku hanya ingin kamu tahu jika cintaku tak lahir karena kesempatan, tapi karena kekaguman yang tumbuh perlahan—dan tetap sabar.
Selamat malam, Alya. Tetap kuat.
Alya menutup laptop. Menatap ke jendela yang memantulkan bayangan dirinya.
“Aku bukan madu lagi. Aku bukan istri dari siapa pun saat ini. Tapi aku adalah Alya—dan itu cukup.”
Sementara itu.
Dimas duduk di sebuah masjid kecil, menyendiri. Ia mulai rutin datang setiap malam Jumat, bukan hanya untuk berdoa, tapi untuk meminta ampunan atas sikap diamnya selama ini. Ia mendengar kisah-kisah istri kedua, janda-janda muda yang tak pernah ia pahami sebelumnya.
Dan suatu hari, saat seorang perempuan muda bercerita bahwa suaminya menikah lagi tanpa bicara, dan meninggalkannya dalam status yang tak pasti—Dimas meneteskan air mata. Ia melihat bayangan Alya dalam perempuan itu.
Di matanya, kini hanya ada satu wajah:
Alya—yang pernah ia miliki, namun tak pernah benar-benar ia jaga.
Beberapa minggu kemudian.
Alya membuka kelas luring pertamanya di sebuah rumah baca kecil. Ia mengundang Rey secara pribadi. Tapi ketika hari itu datang, Dimas juga muncul—tanpa undangan. Ia hanya duduk di belakang, mendengarkan tanpa menyela.
Usai kelas, Dimas menghampiri.
“Terima kasih, Alya,” ucapnya. “Aku ke sini bukan untuk memintamu kembali. Aku ke sini sebagai murid.”
Alya mengangguk pelan. Tak ada kemarahan. Tak ada cinta yang mendesak untuk kembali.
Di sisi lain, Rey datang membawa setangkai mawar biru—tanda harapan yang tak pernah pudar.
“Sudah selesai?” tanya Rey.
Alya menatap dua lelaki itu. Dulu, salah satunya adalah takdir. Yang lain adalah kemungkinan. Tapi sekarang, keduanya hanya masa lalu dan masa depan. Dan dirinya adalah sekarang.
Malam itu, di jurnalnya, Alya menulis,
“Aku bukan lagi perempuan yang memohon agar dipilih. Aku adalah perempuan yang memilih.
Dan kali ini, aku memilih untuk mencintai diriku terlebih dahulu.
Jika ada cinta yang menyusul, maka ia harus berjalan di sampingku—bukan menarikku ke belakang.”