Sisie, Kamu Hanya Bisa Jadi Milikku!

Meskipun Cassie mengatakan dirinya baik-baik saja dan ingin beristirahat di rumah, Felix tetap bersikeras membawanya ke rumah sakit.

Walau hanya demam biasa, dia tidak bisa menganggap remeh masalah kesehatan istrinya.

Dan sekarang, Felix tengah menggenggam tangan Cassie yang terlelap dengan damai seolah-olah alam mimpi lebih membuatnya merasakan kenyamanan daripada dunia nyata.

Tiba-tiba, handphone di atas nakas bergetar sehingga memecah keheningan di ruangan dan mengganggu ketenangan Felix.

Terlebih, ketika melihat nama 'Tuan Lee' yang tertera di layar ponselnya.

Itu adalah nama samaran yang dia buat untuk Aleena, demi tidak menimbulkan kecurigaan bagi Cassie.

Dengan hati bergetar menahan gugup, Felix melirik ke arah Cassie.

Felix menjadi lebih tenang saat melihat istrinya masih memejamkan mata dengan nafas yang tampak beraturan, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan terjaga.

Karena itu, Felix pun beranjak pergi meninggalkan ruang perawatan Cassie hanya untuk menjawab telepon dari 'Tuan Lee' yang berkali-kali masuk ke ponselnya.

Felix tidak tahu saja, sebenarnya Cassie sudah bangun sejak dering pertama pada handphonenya. Dia sengaja berpura-pura tidur dan baru membuka matanya ketika sang suami telah keluar sambil menutup pintu ruangan dengan gerakan paling halus.

"Aku peringatkan, jangan main-main!!"

Dari dalam ruangan, Cassie bisa mendengar Felix memperingati orang di seberang dengan suara pelan yang berbalut ketegasan.

Perlahan, Cassie bangun dan duduk di atas ranjangnya dengan tenang sambil terus mendengarkan Felix yang memasang ekspresi serius memberikan peringatan.

"Sisie adalah garis batasku. Jika kamu berani mendatanginya, kupastikan kamu akan kehilangan segalanya!"

Cassie yakin, orang yang sedang berbincang dengan Felix pastilah Aleena.

Hanya saja, dia tidak menduga Felix tega mengancam sang selingkuhan.

Dia pikir, hanya ada kasih-sayang yang mendalam di antara mereka.

Cassie memang tidak tahu pasti apa yang Aleena katakan, atau pun inginkan dari Felix. Tapi jika tidak salah menebak, wanita itu pasti tengah mengancam Felix.

Saat tengah merenung, handphone Cassie mengeluarkan suara yang menandakan adanya pesan masuk.

[Cassie, jangan berpikir kamu bisa menahan Felix di sisimu dengan berpura-pura sakit. Aku katakan padamu, dia tidak lagi mencintaimu!]

Cassie membaca pesan Aleena dengan sikap tak acuh dan mendengus sinis. "Aku bukan kau yang bisa menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian pria."

"Kau sangat ketakutan, ya?" Cassie jelas bisa merasakan kecemasan Aleena hanya karena karena Felix menemaninya hampir seharian penuh.

Padahal, itu juga bukan keinginannya.

[Kamu telah mendominasinya selama bertahun-tahun, sudah waktunya kamu melepaskan statusmu sebagai Nyonya Murphy. Aku katakan padamu, dia hanya mencintaiku sekarang!]

Hanya dalam hitungan detik, Aleena mengirimkan pesan lagi dan Cassie mencebik sinis saat membacanya.

Jika Felix benar-benar mencintainya, kenapa Aleena harus cemas?

Cassie bisa memahami apa yang Aleena rasakan, itu adalah perasaan seorang wanita yang khawatir diselingkuhi dan ditinggalkan juga.

Jika Aleena punya keyakinan atas cinta Felix, seharusnya dia cukup duduk dengan tenang dan menunggu pria itu menceraikan Cassie, lalu menikahinya.

Namun, Aleena jelas tahu di dalam hatinya bahwa Felix tidak akan pernah menceraikan Cassie demi menikahi dirinya.

Hubungan yang terjalin di antara mereka hanya bisa disembunyikan karena Felix tidak akan pernah memberikannya status!

Hanya saja, Aleena menolak gagasan itu dan berkeyakinan bahwa dirinya bisa menggantikan posisi Cassie di hati Felix.

[Dia punya energi yang tak ada habisnya untukku]

Hati Cassie memang mendidih membaca pesan terakhir Aleena, tetapi dia tidak terpancing untuk membalas atau bahkan mengamuk.

Harus tetap tenang untuk menang!

Pada saat ini, Felix sudah selesai berbicara dengan Aleena dan Cassie juga sudah tidak lagi memperhatikan layar ponselnya.

Ketika kembali ke ruangan, Felix agak terkejut melihat Cassie sudah bangun. Dalam sekejap, perasaan khawatir mulai menyelimuti hatinya.

Dia takut Cassie mendengar perbincangannya dengan Aleena.

Cassie segera menyembunyikan ponselnya saat Felix mendekat, dia juga memasang senyum manis yang tidak terdeteksi adanya kepalsuan.

"Sisie, kamu sudah bangun?" Ekspresi khawatir di wajah Felix tidak dibuat-buat, juga tidak bisa disembunyikan.

"Ada apa denganmu?"

Mendengar pertanyaan Cassie, Felix agak tenang karena berpikir sang istri tidak mendengar apa pun yang dia bicarakan melalui sambungan seluler.

"Hanya urusan perusahaan. Apa gunanya mereka bekerja jika tidak bisa mengurus masalah kecil ini?" Felix tampak kesal seolah-olah memang para karyawannya yang telah membangkitkan emosinya.

"Jangan marah," kata Cassie menghibur sambil menepuk pelan punggung tangan Felix yang masih menggenggam ponsel.

Pada saat bersamaan, ponsel yang ada di genggaman Felix kembali berdering.

Felix dan Cassie sama-sama memandangi benda pipih itu dengan perasaan yang berbeda. Felix takut, sementara Cassie hanya tersenyum saat sang suami melepaskan genggamannya demi menatap handphonenya.

"Aku akan mengurus urusan perusahaan dulu."

Cassie mengangguk dan masih mempertahankan senyum manisnya, sementara Felix sudah berlalu pergi.

Detik berikutnya, handphone Cassie kembali kedatangan pesan dari Aleena.

[Pintu.]

Cassie turun dari ranjang hanya untuk menuju ke pintu yang terdapat kaca kecil, lalu mulai mengintip sesuai keinginan Aleena.

Saat ini, Felix tengah menyambut kedatangan Aleena yang mengenakan coat coklat dipadukan dengan celana hitam dan dilengkapi pula kaca mata serta masker hitam.

Wanita itu berjalan dengan cara mengendap-endap, lalu segera melemparkan tubuhnya ke arah Felix.

"Kenapa kamu datang?" Felix melepaskan dekapan Aleena dan bertanya dengan nada tak senang.

"Felix." Aleena ingin memeluk Felix lagi, tetapi pria itu menahannya.

"Felix, aku tahu ... aku salah." Aleena masih berusaha ingin memeluk Felix, tetapi pria itu malah melayangkan tatapan tajam ke arahnya.

Aleena membuka kaca mata dan masker, memperlihatkan wajahnya yang telah berurai airmata. "Aku benar-benar tahu aku salah."

Melihat itu, Felix pun luluh dan memegang wajah Aleena sambil menghapus air matanya.

"Sudah, sudah ... jangan menangis." Felix membujuk Aleena dengan penuh kasih, bahkan meninggalkan kecupan lembut nan mesra di dahi wanita itu.

Detik selanjutnya, Cassie meremas gagang pintu saat menyaksikan suaminya memeluk Aleena. Dia berusaha mengendalikan emosinya agar tidak meledak-ledak, bahkan mencoba menekan keinginannya untuk menghajar sepasang kekasih haram itu.

Tanpa sepengetahuan Felix, Aleena diam-diam melirik Cassie dengan memamerkan senyum kemenangan sambil berpose dua jari.

"Menjijikkan!" dengus Cassie, sebelum akhirnya kembali ke ranjang pasien.

Dia mengambil kertas dan pulpen yang ada di atas nakas, lalu mulai mengayunkan jemarinya dengan lihai.

Saat Cassie tengah fokus melukis, Aleena kembali mengirimkan pesan untuknya.

[Aku akan membawa suamimu pergi.]

Cassie mengabaikan pesan itu, lalu memberikan sedikit lipstik sebagai sentuhan terakhir pada lukisannya.

Kemudian, Cassie pun berganti pakaian dan pergi dari rumah sakit dengan meninggalkan selembar lukisan yang merupakan potret Felix dan Aleena tengah berpelukan. Warna merah di bibir sang wanita tampak kontras, tetapi memberikan kesan nyata.

Di bagian bawah nama pena dan tanda tangan dirinya, Cassie menambahkan sebuah kalimat.

Felix, aku tidak menginginkanmu lagi!