Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 34
Halaman 34
Jarak yang Membelah
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Bandara dipenuhi hiruk-pikuk orang dengan koper, tangisan perpisahan, dan suara pengumuman yang silih berganti. Nayla berdiri di samping Arka, mencoba tersenyum meski hatinya terasa seperti diremas.
“Jaga diri baik-baik di sana, ya,” ucap Nayla sambil menggenggam tangan Arka.
Arka menatapnya dalam. “Aku janji, Nay. Aku akan telepon kamu setiap hari. Aku nggak mau ada jarak di hati kita, meski raga kita terpisah.”
Mereka berpelukan erat. Saat Arka akhirnya melangkah masuk ke ruang keberangkatan, Nayla merasa separuh dari dirinya ikut pergi. Hujan yang turun di luar bandara menambah sendu suasana.
Hari-hari pertama berjalan baik. Arka benar-benar menepati janjinya: setiap malam, ia menelepon Nayla, menceritakan pekerjaannya, bercanda, bahkan menemani Nayla membaca doa sebelum tidur. Nayla merasa lega, meski rindu tetap menggerogoti.
Namun, seiring waktu, kesibukan mulai menggerogoti janji itu. Suatu malam, Nayla menunggu telepon yang tak kunjung datang. Ia duduk di beranda sanggar, menatap hujan yang turun rintik-rintik. Pukul sepuluh malam, ponselnya baru berdering.
“Nay, maaf banget… aku ketiduran. Hari ini rapatnya panjang banget. Aku capek banget.”
Nayla mencoba tersenyum, meski hatinya kecewa. “Nggak apa-apa, Ka. Aku ngerti.”
Tapi setelah panggilan itu berakhir, ia menangis. Ia takut—takut pola lama kembali terulang.
Minggu-minggu berikutnya, kesibukan Arka semakin parah. Ia sering telat menelepon, kadang hanya mengirim pesan singkat. Nayla berusaha mengerti, tapi rasa sepi semakin besar.
Pada saat yang sama, Nayla sibuk menyiapkan pameran di Jakarta. Anak-anak bersemangat, dan ia sendiri merasa bangga. Namun, di balik semua itu, ada lubang kosong dalam dirinya yang tak bisa diisi siapa pun selain Arka.
Suatu malam, setelah latihan, Nayla duduk sendiri di studio. Hujan deras mengguyur kaca jendela. Ia membuka pesan terakhir dari Arka: “Sorry Nay, lagi lembur. Besok aku kabarin.”
Ia menutup mata, membiarkan air mata bercampur dengan suara hujan. Kenapa rasanya seperti aku kembali sendirian?
Kesalahpahaman pertama muncul saat Nayla melihat sebuah foto di media sosial: Arka bersama rekan kerjanya, seorang perempuan, sedang makan malam setelah rapat. Foto itu terlihat biasa, tapi komentar orang-orang membuatnya terasa berbeda: “Couple goals banget!”
Hati Nayla mencelos. Ia tahu Arka punya banyak kolega perempuan, tapi melihat foto itu membuatnya merasa tak berarti. Malam itu, saat Arka menelepon, ia tak bisa menahan diri.
“Ka, kenapa kamu nggak cerita soal makan malam itu?”
Arka terdiam. “Makan malam apa?”
“Yang sama tim kamu! Ada fotonya di Instagram. Semua orang komentar seolah-olah kalian pasangan!”
Arka menghela napas. “Nay, itu cuma makan malam kerja. Aku nggak cerita karena menurutku nggak penting. Kenapa kamu harus mikir aneh-aneh?”
Suara Nayla bergetar. “Aku nggak mikir aneh-aneh, Ka. Aku cuma… aku cuma takut kehilangan kamu lagi.”
Arka terdiam lama, lalu berkata lirih, “Nay, kamu harus percaya sama aku. Kalau kita mulai curiga satu sama lain, hubungan ini nggak akan bertahan.”
Beberapa hari setelah pertengkaran itu, komunikasi mereka semakin renggang. Arka masih berusaha menghubungi, tapi sering singkat dan terburu-buru. Nayla, di sisi lain, makin sibuk dengan pameran.
Saat pameran akhirnya berlangsung di Jakarta, anak-anak tampil memukau. Nayla seharusnya merasa bahagia, tapi di tengah keramaian itu ia merasa kosong. Ia menatap layar ponselnya, berharap ada pesan dari Arka. Tapi yang ada hanya notifikasi pekerjaan.
Seorang kolega seni menepuk bahunya. “Kamu hebat, Nay. Anak-anakmu luar biasa.”
Nayla tersenyum tipis. “Terima kasih.” Tapi hatinya berbisik: Aku berharap Arka ada di sini, melihat semua ini.
Beberapa minggu kemudian, Arka akhirnya mendapat kesempatan pulang sebentar. Nayla menunggu di bandara dengan hati berdebar. Saat mereka bertemu, Nayla berlari memeluknya. Tapi ada sesuatu yang berbeda: pelukan itu tak lagi seerat dulu. Ada jarak yang tak kasat mata.
Di perjalanan pulang, mereka mencoba mengobrol. Tapi percakapan terasa kaku. Nayla ingin bercerita tentang pameran, tapi Arka terlihat lelah. Arka ingin bicara tentang pekerjaannya, tapi Nayla merasa tak nyambung.
Akhirnya, Nayla bertanya dengan suara pelan, “Ka, kamu bahagia nggak sama kita sekarang?”
Pertanyaan itu membuat Arka menoleh. Matanya penuh keraguan. “Aku… aku capek, Nay. Aku sayang sama kamu, tapi aku nggak tahu apakah kita bisa terus begini.”
Hati Nayla hancur. Hujan turun deras di luar mobil, seolah ikut menangisi percakapan itu.
Malam itu, Nayla menulis di buku hariannya:
“Jarak bukan hanya soal kilometer. Jarak juga bisa tumbuh di hati, saat kita tak lagi saling mengerti. Aku takut, sangat takut. Apakah cinta di bawah hujan ini akan berakhir di tengah badai?”