Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Menantu Terbaik
“Putriku sangat cantik, Tuan. Dia berpendidikan tinggi dan bisa diandalkan,” ujar Barbara lagi.
Walaupun merasa terganggu, Hardin tetap menanggapi wanita paruh baya, yang masih memiliki tubuh kencang bagai gadis perawan itu. “Aku tidak sedang membuka lowongan pekerjaan, Nyonya.”
“Ayolah, Tuan. Caitlin baru dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia kembali dari Manchester dengan membawa rasa kecewa. Aku sudah tidak dapat menghasilkan uang sedangkan hidup harus terus berjalan,” tutur Barbara, berharap Hardin simpati atas kisah sedihnya tentang sang putri.
“Manchester adalah kota besar, Nyonya. Taraf hidup di sana tidak semahal London. Kenapa putrimu memilih pulang kemari dan bukan mencari pekerjaan baru?” Hardin menoleh, menatap heran kepada Barbara.
“Putriku sangat putus asa karena kehilangan pekerjaan impiannya. Dia membutuhkan dukungan dariku Itulah kenapa memutuskan pulang kemari.”
“Sejujurnya, aku sedang membutuhkan orang untuk membantu membereskan puing-puing bekas perumahan, sebelum pembangunan dimulai.”
“Oh, astaga. Putriku seorang sekretaris yang sangat cerdas,” tolak Barbara segera.
Hardin menggumam pelan. “Baiklah. Akan kupikirkan terlebih dulu,” ucapnya penuh wibawa. “Sekarang, bisakah tinggalkan kami berdua, Nyonya? Aku harus membahas sesuatu yang penting dengan Nyonya Emilia Patricia Olsen.”
Mendengar pengusiran halus dari Hardin, membuat Barbara terlihat kecewa. Namun, dia tidak berani membantah. Sebelum pergi, wanita berambut pirang itu berpesan sesuatu kepada Hardin. “Aku berani bersumpah atas nama Tuhan. Caitlin bisa diandalkan dengan baik untuk membantumu mengurus bisnis, Tuan.”
“Terima kasih, Nyonya. Aku akan mempertimbangkannya,” pungkas Hardin, seraya mengarahkan tangan sebagai isyarat, agar Barbara segera meninggalkannya dengan Emilia.
Mau tak mau, Barbara akhirnya pergi dari sana dengan diikuti tatapan sinis Emilia.
“Apakah wanita itu bermasalah?” tanya Hardin, yang bisa menangkap jelas sorot tak suka dari tatapan Emilia terhadap Barbara.
“Wanita itu sangat menyebalkan. Sebaiknya, kau berhati-hati, Tuan,” jawab Emilia apa adanya. “Maaf. Aku tidak bermaksud menjelek-jelekkan siapa pun. Aku juga tidak memiliki masalah pribadi dengannya. Akan tetapi ….” Emilia mengalihkan perhatian kepada Hardin. “Kau pasti bisa menilainya sendiri.”
Hardin tersenyum kalem. “Terima kasih. Akan kujadikan pertimbangan.”
“Ah, tidak. Aku tidak ingin kau terpengaruh dengan ucapanku tadi. Jangan terlalu dihiraukan.”
“Aku juga memiliki penilaian pribadi terhadap orang-orang yang pernah bertemu dan berbicara secara langsung seperti ini, Nyonya. Jadi, jangan khawatir. Aku bukan tipikal orang yang memakan mentah-mentah setiap laporan.”
“Itu bagus. Mencerminkan seorang pemimpin yang bijaksana.”
“Begitukah?” Hardin menatap penuh arti.
Namun, Emilia segera memalingkan wajah, tak ingin beradu pandang dengan pria di hadapannya.
Seulas senyuman terlukis di bibir Hardin, saat memandang paras cantik Emilia. Ibunda Blossom tersebut berpenampilan sederhana, dengan midi dress floral lengan tiga per empat. Rambutnya terurai sebatas punggung, berhiaskan scarf yang menutupi bagian atas kepala. Tak ada riasan atau perhiasan mahal yang dipakainya. Semua terlihat begitu alami.
“Millie!”
Suara Meredith membuat Hardin langsung tersadar. Dia segera mengalihkan perhatian kepada wanita paruh baya, yang berdiri di ambang pintu. “Apakah itu ibu mertuamu?” tanyanya.
“Ya,” jawab Emilia, disertai anggukan pelan.
“Aku ingin menemuinya.”
“Untuk apa?”
“Untuk bicara langsung dengannya.”
Tanpa menunggu persetujuan Emilia, Hardin menerobos masuk ke halaman. “Selamat siang, Nyonya Olsen,” sapa sang pemilik Rogers Farm tersebut, seraya berjalan menghampiri Meredith. “Maaf, aku langsung masuk ke halaman rumahmu.” Hardin tersenyum cukup ramah.
“Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa kubantu?”
“Hardin Rogers. Anda pasti sudah tahu siapa aku,” ucap Hardin sopan. Dia tahu bagaimana caranya berhadapan dengan seorang wanita.
“Oh, Tuan Rogers.” Meredith terdiam sejenak, sambil menatap lekat pria tampan di hadapannya.
Selama Hardin berada di desa itu untuk menggantikan mendiang sang kakek dalam mengelola peternakan, belum sekalipun Meredith melihat langsung pria yang menjadi perbincangan warga, terutama para wanita.
Banyak berita yang Meredith dengar dari para tetangga dekat. Satu hal yang selalu dibicarakan orang-orang adalah tentang ketampanan serta kegagahan seorang Hardin Rogers.
“Silakan masuk, Tuan. Tidak sopan rasanya berbicara di depan pintu seperti ini,” ucap Meredith, seraya mengarahkan tangan ke dalam rumah.
“Terima kasih, Nyonya.” Hardin mengangguk sopan, lalu menoleh kepada Emilia yang terpaku dengan tatapan keheranan.
Tanpa banyak bicara, Hardin melangkah masuk mengikuti Meredith, yang berjalan lebih dulu ke dalam rumah. Setibanya di ruang tamu, Hardin langsung mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, dengan sebagian besar furniture yang terbuat dari kayu.
Ya. Di ruangan itu tidak terlihat ada barang mewah dan modern. Suasana klasik terasa begitu kental. Namun, itu semua menghadirkan rasa hangat dan nyaman, dibandingkan dengan rumah dan apartemen mewah milik Hardin yang berada di London.
“Silakan duduk, Tuan,” ucap Meredith, seraya mengarahkan tangan ke kursi kayu berlapis busa, dengan sarung motif bunga.
“Terima kasih, Nyonya,” balas Hardin, kemudian duduk.
“Akan kubuatkan minuman,” ucap Emilia, langsung menuju dapur dengan diiringi tatapan Hardin.
“Ehem.” Meredith berdehem pelan. Membuat Hardin segera mengalihkan perhatian kepadanya.
“Emilia lebih dari sekadar menantu bagiku. Di sudah seperti anak kandung. Putri yang tidak pernah kumiliki,” ucap Meredith.
“Apa yang terjadi kepada putra Anda, Nyonya?”
“Grayson?” Meredith tersenyum samar. “Usianya menginjak 31 tahun pada bulan Januari lalu.”
“Maksudku, kenapa menantumu menjadi janda?”
“Janda? Siapa yang mengatakan berita bohong itu kepada Anda? Emilia dan Grayson masih terikat dalam pernikahan yang sah. Dia belum menjadi janda, Tuan. Omong kosong macam apa itu?”
“Kalau begitu, di mana putra Anda sekarang? Aku ingin bicara dengannya.”
Meredith terdiam beberapa saat, dengan tatapan aneh. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Hardin.
Sesaat kemudian, Emilia datang membawa dua gelas minuman, lengkap dengan kudapan dalam piring. Meskipun tidak ikut duduk di ruang tamu untuk menyimak, tetapi dia mendengar kalimat terakhir yang Hardin ucapkan. Akan tetapi, wanita cantik bermata hijau zamrud itu tidak mengatakan apa-apa.
“Aku akan menjemput Blossom di rumah Allyson,” pamitnya kepada Meredith, sebelum mengalihkan perhatian kepada Hardin. “Bicaralah secara baik-baik, Tuan Rogers. Jangan membuat masalah dengan ibu mertuaku. Jika tidak, aku akan menuntut Anda tanpa memedulikan status sosialmu.”
“Jangan khawatir, Nyonya. Aku tahu bagaimana cara bersikap. Terlebih, di hadapan seorang ibu.” Hardin mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Meredith, lalu tersenyum kalem.
Bagi sebagian orang, senyuman Hardin pasti terlihat sangat menawan dan mematikan. Namun, tidak bagi Emilia. Dia justru menangkap ada sesuatu yang aneh. Apakah mungkin jika Hardin tengah merencanakan sesuatu untuk membujuk dan meyakinkan Meredith?
Sayang sekali, Emilia harus menjemput Blossom. Mau tak mau, dia berpamitan dari sana. Namun, setelah berada di luar, Emilia segera menempelkan telinga di daun pintu.
Aku mikirnya jauh ya
upss..kok cacingan sih..