Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 > Saat Nyawa Menjadi Taruhan
Suara tembakan itu menggema seperti petir yang membelah langit malam. Serene menjerit, refleks memeluk perutnya, sementara tubuh Raiden langsung menegang. Ia memutar badan dalam satu gerakan cepat, menempatkan dirinya sepenuhnya di depan Serene. Cahaya darurat merah membuat wajahnya tampak tegas—dan berbahaya.
“Jangan bergerak,” perintah Raiden rendah namun tegas.
Serene gemetar. “Raiden… kau berdarah.” Ia bisa melihatnya jelas sekarang. Noda merah mengalir dari bahu Raiden, merembes ke jas hitam yang kini basah dan berat. Bau logam darah bercampur dengan aroma mesiu memenuhi ruangan.
“Aku baik-baik saja,” jawab Raiden cepat, meski napasnya terdengar berat. “Fokus padaku.”
Di luar ruangan, suara langkah kaki berpacu. Teriakan singkat terdengar, lalu senyap kembali. Jantung Serene berdegup tak karuan, setiap detiknya terasa seperti satu jam. “Apa yang terjadi?” bisik Serene, suaranya hampir hilang.
“Penarikan paksa,” jawab Raiden. “Dan ini bukan rencana mereka.”
Serene menatapnya bingung. “Maksudmu?”
Raiden tidak sempat menjawab. Sebuah ledakan kecil terdengar dari lorong, diikuti lampu yang kembali menyala sebagian. Bayangan orang-orang bersenjata bergerak cepat, disusul suara tembakan balasan. Raiden menarik tangan Serene. “Ikut aku. Sekarang.”
Mereka berlari keluar ruangan. Lorong yang tadi terasa steril kini berubah menjadi medan perang. Dinding berlubang peluru. Kaca pecah. Alarm meraung-raung tanpa henti.
Serene hampir tersandung, namun Raiden menahannya dengan satu tangan, tetap melindungi tubuhnya dengan bahu dan punggungnya sendiri. “Ke kiri!” teriak seseorang dari kejauhan.
Raiden mengenali suara itu. “Arlo!”
Seorang pria bertubuh tinggi muncul dari balik sudut, memegang senjata dengan ekspresi fokus. “Jalur belakang bersih sementara! Tapi mereka bergerak cepat.”
“Bawa kendaraan lebih dekat,” perintah Raiden. “Serene harus keluar sekarang.”
Serene menggenggam tangan Raiden erat. “Aku tidak akan meninggalkanmu.”
Raiden menoleh, tatapannya dalam. “Kau harus.”
“Tidak,” Serene menggeleng keras. “Aku tidak akan lari sementara kau-”
Tembakan kembali menggema. Peluru menghantam dinding tepat di samping kepala Serene. Raiden mengumpat dan menariknya ke balik pilar beton. “Serene,” katanya dengan suara rendah namun penuh tekanan, “anak-anak kita membutuhkanmu hidup. Dengarkan aku sekali ini.”
Air mata Serene mengalir. “Dan aku membutuhkanmu hidup.”
Raiden terdiam sejenak. Untuk sepersekian detik, dunia di sekitar mereka seolah berhenti. Tatapan mereka bertemu. Penuh ketakutan, cinta yang belum sempat diakui, dan janji yang belum diucapkan.
“Aku akan menyusul,” ujar Raiden akhirnya. “Aku bersumpah.”
Serene mengangguk pelan, meski hatinya berteriak menolak. “Jangan berani mengingkari.”
Raiden menyentuh keningnya sekilas. “Pergi.”
Arlo meraih lengan Serene. “Nona, ikut saya!”
Serene menoleh satu kali lagi, melihat Raiden melangkah kembali ke arah suara tembakan. Bahunya berdarah, wajahnya keras seperti baja. Itu adalah pemandangan terakhir sebelum pintu besi ditutup paksa di antara mereka. Setelah itu, ia tak dapat lagi melihat Raiden.
---
Di sisi lain gedung, Raiden bergerak cepat bersama timnya. Setiap langkahnya disertai rasa nyeri yang menjalar dari bahu, namun ia mengabaikannya. “Lokasi target?” tanyanya singkat.
“Ruang kontrol lantai tiga,” jawab salah satu anggota tim. “Mereka mencoba menghapus jejak.”
“Mereka tidak akan sempat,” gumam Raiden.
Mereka menaiki tangga darurat. Suara tembakan semakin jarang. Tanda pihak lawan mulai mundur atau menyusun ulang strategi. Sedangkan Raiden tahu satu hal pasti: ini bukan sekadar penculikan yang gagal melainkan ini adalah pesan dan pengirimnya ingin dia membacanya dengan jelas.
Saat mereka mencapai lantai tiga, pintu ruang kontrol terbuka setengah. Cahaya monitor menerangi ruangan yang berantakan. Beberapa orang tergeletak tak bergerak... entah pingsan, entah lebih buruk. Di tengah ruangan, seorang pria berdiri membelakangi mereka.
“Jangan bergerak,” perintah Raiden, senjatanya terangkat.
Pria itu tertawa pelan, lalu berbalik. Bukan Aurelia.
Raiden menyipitkan mata. “Kau?”
Pria itu tersenyum tipis. “Sudah lama, Varendra.”
“Jax Adrian,” gumam Raiden dingin. “Sepupu Aurelia.”
Jax mengangkat kedua tangannya perlahan. “Santai. Aku hanya utusan.”
“Utusan yang hampir membunuh wanita hamil,” suara Raiden bergetar marah.
“Ah,” Jax menghela napas seolah menyesal. “Itu tidak ada dalam rencana. Tapi permainan selalu punya risiko, bukan?”
Raiden melangkah maju. “Di mana Aurelia?”
Jax menatapnya tajam. “Kau benar-benar jatuh cinta padanya.”
“Jawab.”
Jax tersenyum samar. “Aurelia tidak suka berada di tempat yang bisa disentuh.”
Raiden menahan amarahnya. “Apa tujuanmu?”
“Kesepakatan,” jawab Jax ringan. “Kau menikah. Gadis itu pergi. Semua berhenti.”
Raiden tertawa singkat, tanpa humor. “Kau datang terlambat.”
“Oh?” Jax mengangkat alis.
Raiden mendekat, tatapannya mematikan. “Perang sudah dimulai.”
Sebelum Jax sempat bereaksi, Raiden memberi isyarat. Dua anggota tim langsung bergerak, melumpuhkan Jax dalam hitungan detik. “Amankan dia,” perintah Raiden. “Aku ingin semua informasi.”
Raiden berbalik, menghela napas berat. Namun sebelum ia melangkah pergi, layar monitor utama menyala sendiri. Wajah Aurelia muncul di layar. Melihat itu, Raiden berhenti.
“Sayang sekali,” suara Aurelia terdengar tenang, nyaris lembut. “Aku berharap kita bisa bicara dengan cara yang lebih… beradab.”
“Apa yang kau lakukan, Aurelia?” tanya Raiden dingin.
“Aku memberimu pilihan,” jawabnya. “Dan kau menjawab dengan kekerasan.”
“Kau menculik Serene.”
“Aku mengundangnya,” Aurelia tersenyum tipis. “Perbedaan sudut pandang.”
Raiden mengepalkan tangan. “Permainanmu berakhir malam ini.”
Aurelia menggeleng pelan. “Tidak, Raiden. Ini baru dimulai.”
Layar mati mendadak. Raiden menatap layar kosong itu lama, lalu berbalik tajam. “Cari semua koneksi Adrian. Bekukan aset mereka. Tekan dari semua sisi.”
“Dan Serene?” tanya Arlo melalui alat komunikasi.
Raiden menarik napas dalam. “Pastikan dia aman. Aku akan menyusul.”
***
Di dalam mobil lapis baja yang melaju kencang, Serene duduk terdiam. Arlo duduk di depannya, wajahnya serius. “Kita hampir sampai di lokasi aman,” kata Arlo.
Serene mengangguk, namun pikirannya jauh. Tangannya terus mengusap perutnya, mencoba menenangkan detak jantungnya sendiri. “Raiden akan baik-baik saja, bukan?” tanyanya lirih.
Arlo terdiam sejenak. “Tuan Raiden… pria yang sulit dibunuh.”
Serene tersenyum tipis. “Itu bukan jawaban.”
Arlo menatapnya lurus. “Dia akan mengejarmu sampai ujung dunia.”
Kalimat itu membuat dada Serene menghangat, sekaligus perih.
Mobil berhenti di sebuah kompleks tersembunyi di pinggir kota. Gerbang besi terbuka otomatis, memperlihatkan bangunan modern yang tampak seperti pusat medis. “Kenapa kita ke sini?” tanya Serene.
“Pemeriksaan,” jawab Arlo. “Setelah apa yang terjadi, kita harus memastikan kondisi Anda dan bayi-bayi.”
Serene menuruti. Di dalam, dokter dan perawat segera menyambutnya. Pemeriksaan dilakukan cepat namun teliti. “Kondisi janin stabil,” ujar dokter akhirnya. “Tapi tekanan emosional Anda sangat tinggi. Anda harus beristirahat.”
Serene mengangguk lemah. Saat ia berbaring di ranjang, pikirannya kembali pada Raiden yang bahunya berdarah, tatapannya penuh tekad. “Jangan berani mati,” batinnya. “Aku belum selesai denganmu.”
***
Sementara itu, di pusat kota, badai lain mulai terbentuk. Berita tentang penggerebekan dan baku tembak mulai menyebar tanpa nama, tanpa detail, namun cukup untuk membuat para pelaku pasar gelisah. Saham Adrian Group mulai berfluktuasi tajam. Aurelia duduk di ruang kerjanya, menatap layar-layar data dengan wajah dingin.
“Raiden menyerang balik lebih cepat dari perkiraan,” lapor seorang asistennya.
Aurelia tersenyum kecil. “Bagus. Aku tidak suka permainan yang lambat.”
“Bagaimana dengan gadis itu?” tanya asistennya lagi.
Aurelia menatap layar kosong sesaat. “Dia akan menjadi keputusan terakhir Raiden.”
***
Malam kembali tiba, ketika Raiden akhirnya sampai di lokasi aman.
Begitu pintu terbuka, matanya langsung mencari satu sosok... Serene. Sementara Serene, ia tengah berdiri di samping ranjang, wajahnya pucat namun matanya langsung berkaca saat melihat Raiden.
“Raiden!”
Raiden melangkah cepat, memeluknya erat meski tubuhnya masih terasa nyeri. “Aku di sini.”
Serene terisak. “Kau bodoh.”
Raiden terkekeh pelan. “Aku tahu.”
Mereka berpelukan lama, seolah dunia di luar tidak ada. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Arlo masuk dengan wajah tegang. “Tuan.”
Raiden menoleh. “Apa?”
“Kami menemukan sesuatu,” kata Arlo pelan. “Aurelia tidak hanya menekan dari luar.”
“Apa maksudmu?”
Arlo menelan ludah. “Ada kebocoran dari dalam. Seseorang di lingkaran terdekat Anda.”
Ruangan mendadak terasa dingin. “Siapa?” tanya Raiden rendah.
Arlo menggeleng. “Belum pasti. Tapi… semua mengarah ke satu nama.”
Raiden memejamkan mata sesaat, lalu membukanya dengan sorot tajam.
“Katakan.”
Arlo mengucapkannya perlahan. Nama itu membuat Serene membeku. Dan Raiden… terdiam. Karena jika dugaan itu benar, maka ancaman terbesar bukan datang dari luar... melainkan dari orang yang paling mereka percaya.
***
Siapakah dia?
Stay tune