Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Tak Pernah Lupa
Bayu menatap langit dari balkon kamarnya. Malam terasa sunyi, bahkan lebih sunyi dari biasanya. Padahal London tak pernah benar-benar diam. Tapi di dalam dadanya, kekosongan itu menggelegar seperti pekikan tanpa suara.
Angin malam berembus pelan, menyapu rambutnya yang mulai diselingi uban. Ia memejamkan mata, lalu membukanya perlahan—seolah ingin mengusir wajah itu.
Wajah Laras.
Atau sekarang… Ayla.
Nama itu berubah. Hidupnya berubah. Tapi tidak bagi Bayu.
“Dua puluh tahun lebih, Laras…” desisnya dalam hati, “…dan aku masih begini. Masih tak bisa melepaskanmu.”
Tangannya menggenggam pagar balkon. Kuat. Sampai buku-bukunya memutih. Seolah menggenggam masa lalu yang tak pernah bisa benar-benar ia genggam.
Ia ingat malam itu. Ingat segalanya. Dan itu… masalahnya.
Ia masih bisa membaui aroma rambut Laras. Masih bisa merasakan kulit lembut yang menempel di dadanya. Masih bisa mendengar napasnya yang naik turun… dan suara lembutnya yang menyebut namanya dalam bisikan lirih yang tak akan pernah bisa ia hapus.
“Bayu…”
Suaranya masih sama.
Penuh cinta. Penuh luka.
Bayu memejamkan mata. Ia menunduk, menghela napas panjang, dan tanpa sadar berkata pelan, “Aku menodaimu, Laras...”
Nada suaranya nyaris pecah.
“Aku... merenggut sesuatu yang selama ini kau jaga. Bahkan kau menjaganya dari suamimu dulu.”
Ia mencengkeram pagar lebih erat.
“Aku bangga. Bangga karena akulah yang mendapatkannya. Mahkotamu. Tapi pada saat yang sama... aku benci diriku sendiri. Karena malam itu seharusnya bukan terjadi seperti itu. Bukan di tengah badai luka. Bukan saat kamu masih ragu… saat kamu masih menyimpan trauma.”
Bayu menunduk. Ingatan tentang tubuh Laras yang bergetar dalam pelukannya, tentang bagaimana ia menatapnya dengan mata yang berkaca—bukan karena penyesalan, tapi ketakutan—membuatnya nyaris muntah karena rasa bersalah.
Tapi lalu Laras memeluknya lebih erat malam itu.
Dan semua kekacauan perasaan itu berubah jadi satu: cinta.
“Kenapa kau masih bisa membuatku gila seperti ini... setelah dua dekade lebih?” gumamnya, sumbang.
Ia menyapu wajahnya kasar, matanya memerah.
“Ellen di rumah. Perusahaan di pundakku. Dunia menganggapku pria sukses. Tapi… aku kosong. Karena satu-satunya yang membuatku merasa hidup... telah kutinggalkan.”
Ia mendongak menatap langit, seolah mencari wajah Laras di antara bintang.
“Kau masih ada di setiap hela napasku, Laras. Bahkan ketika aku mencoba bernapas tanpa menyebut namamu—aku gagal. Aku selalu gagal.”
Sunyi.
Hanya detak jam dari dalam kamar yang terdengar.
Bayu kembali masuk, tapi tidak menuju tempat tidur. Ia membuka lemari bawah, mengambil kotak kecil. Dibukanya dengan hati-hati.
Foto Laras
Ingatan Bayu kembali ke masa lalu...
Kafe Tepi Kota, Dua Puluh Dua Tahun Lalu
Kopi mengepul di atas meja bundar kayu yang sudah mulai usang. Aroma cokelat dan vanila menguar dari potongan kue tart stroberi yang baru saja disajikan. Di sudut kafe yang remang dan hangat, tawa Laras pecah lembut—tulus, tanpa beban.
Ia mengenakan gaun sederhana warna krem pucat, rambut panjangnya diikat asal-asalan, dan tanpa riasan apa pun. Tapi bagi Bayu, tak ada yang lebih indah dari wajah itu.
Wajah yang ia kagumi sejak pertama kali melihatnya di antara para pengunjung kafe.
“Buka mulutmu...”
Suara Laras jenaka, jemarinya memegang garpu kecil berisi potongan kue tart.
Bayu mendekat malas-malasan, pura-pura enggan. “Disuapi? Aku bukan anak kecil.”
“Tapi kamu manis kayak anak kecil,” goda Laras sambil tertawa.
Bayu mengalah. Ia membuka mulut, dan kue itu masuk dengan pas, bersamaan dengan tawa mereka yang beradu.
Dan sebelum sempat menelan, Bayu mengambil sedikit krim dari ujung kuenya dan—tap!
Ia mencolekkannya ke hidung Laras.
Laras terkesiap. “Bayu!”
Ia menatapnya tak percaya, lalu ikut tertawa geli saat menyadari ujung hidungnya sekarang putih, tertempel krim kue tart.
Bayu langsung mengangkat ponsel dan mengambil gambar.
“Klik.”
Satu jepretan yang menangkap tawa Laras yang paling jujur, paling polos.
Hidung putihnya, matanya yang menyipit, pipinya yang memerah—semua begitu hidup.
Bayu menghela napas panjang yang terasa berat. Ia kembali menatap foto Laras.
"Saat itu, dunia terasa begitu sederhana, Ras
Tak ada nama besar. Tak ada warisan. Tak ada dendam keluarga atau perjodohan.
Hanya kita berdua.
Dan kau... adalah segalanya."
Bayu menatap foto itu lama.
Lalu ia menciuminya—sejenak—dan meletakkannya kembali.
“Jika aku harus menjalani hidup ini dalam penyesalan… maka biarlah kau jadi satu-satunya hal yang tak pernah kusesali.”
Layar ponsel bergetar di atas meja marmer, menari-nari memecah keheningan malam.
Bayu memejamkan mata sejenak, enggan terganggu, namun nama di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Rendra.
Orang kepercayaannya selama bertahun-tahun. Rendra tidak pernah menelepon malam-malam kecuali sesuatu yang sangat penting.
Bayu menjawab tanpa basa-basi.
“Halo.”
“Ada yang harus Tuan dengar,” suara Rendra terdengar tegas, sedikit berbisik. “Saya sudah cek informasi yang Anda minta minggu lalu… soal Laras.”
Bayu tegak di dudukannya.
“Cepat katakan.”
Rendra menarik napas. “Dia ada di Swiss. Bekerja di LPA, Lembaga Perlindungan Anak dan Perempuan. Tapi dia pakai nama lain. Ayla.”
Bayu membeku. Waktu terasa berhenti.
Ayla.
Nama itu terasa asing sekaligus familiar. Sebuah puzzle yang tiba-tiba jatuh ke tempatnya. Laras. Masih hidup. Dan dia begitu dekat.
“Lokasinya?” tanya Bayu, nyaris tanpa suara.
“LPA cabang Lausanne, gedung sosial pemerintah di pusat kota. Besok kita…”
Namun Bayu tak menunggu Rendra menyelesaikan kalimat. Panggilan diputus, mantel disambar, kunci mobil diraih.
Ia bahkan lupa ia masih mengenakan kaus rumah dan sandal rumahan. Napasnya cepat, matanya menatap lurus seperti serigala yang mencium jejak mangsanya.
"Laras. Dua puluh tahun. Kau menghilang seperti kabut. Kupikir aku bisa melupakanmu, tapi ternyata tidak. Dan kini, setelah malam itu, bagaimana pun caranya aku harus bertemu denganmu."
Bayu melangkah tergesa. Malam sudah larut, tapi pikirannya justru semakin panas. Detik setelah Rendra menelepon dan menyebut nama “Ayla”—nama samaran Laras yang ternyata bekerja di LPA Swiss—ia tahu malam ini ia tak akan bisa tidur.
Bayu nyaris membuka pintu ruang tengah ketika suara berat, tenang tapi menyimpan tekanan, terdengar dari arah tangga.
“Bayu,”
Bayu berhenti. Napasnya masih berat. Ia menoleh.
Shailendra berdiri di sana, tubuhnya yang dulu gagah kini mulai termakan usia, tapi sorot matanya tetap tajam seperti dulu—tajam dan penuh kendali.
“Mau ke mana malam-malam begini?” tanya sang ayah, langkahnya perlahan menuruni anak tangga.
Bayu menghela napas. “Ada urusan di luar.”
“Urusan apa?” Shailendra menatap lurus. “Urusan dengan LPA di Swiss?” tanyanya, namun tatapan tiba-tiba tertuju pada penampilan Bayu. Kaus rumahan yang ditutup mantel dengan celana panjang dan sandal rumahan. Terasa... aneh.
Bayu membeku sejenak. Pandangan mereka saling terkunci.
"Kalau Papa udah tahu, buat apa nanya,” gumamnya, pelan tapi tegas.
Shailendra sedikit terkejut mendengar jawaban Bayu setelah mengamati pakaian putranya itu, namun ia mendekat.
“Bayu, kita bekerja sama dengan keluarga Ellen. Setelah apa yang dilakukan Ellen untuk kita, kenapa kau masih berkeras mengejar masa lalu?”
Bayu menahan tawa. Sinis. “Kemarin sudah kukatakan, Pa. Aku tidak peduli dengan harta.”
“Tapi Ellen yang menyelamatkan hidupku!” suara Shailendra meninggi.
Bayu menoleh cepat. Tatapannya dingin. “Kalau begitu, nikahi saja Ellen. Aku akan menceraikannya agar Papa bisa membalas budi dengan cara yang lebih pantas.”
Rahang Shailendra mengeras, tatapannya seperti bara yang menyala, giginya gemeretak. Tanpa sadar ia mengangkat tangannya.
Sebuah tamparan hampir melayang.
Namun sebelum tangan Shailendra menyentuh pipinya, Bayu menangkap pergelangan tangan itu. Ia menatap lurus ke mata ayahnya.
“Cukup. Dua puluh tahun lebih aku diam, jadi boneka yang kalian atur sesuka hati. Kukorbankan hidupku demi menjaga citra, nama baik, keluarga. Tapi kali ini… tidak lagi.”
“Bayu—”
“Aku lelah, Pa,” katanya, suara mulai bergetar. “Lelah pura-pura bahagia. Lelah berpura-pura tidak peduli saat seluruh ingatan dan hatiku masih berpusat padanya.”
Ia melepaskan tangan ayahnya, perlahan. Ada getir di mata Shailendra, tapi juga kesadaran bahwa putranya tidak sedang bermain-main.
Bayu membenarkan kerah mantelnya.
“Jika Papa masih ingin menjaga perjanjian bisnis, silakan. Tapi aku akan tetap pergi. Dan Papa, mulai sekarang… jangan paksa aku memilih antara keluarga dan satu-satunya perempuan yang bisa membuatku hidup.”
Tanpa menunggu jawaban, Bayu berjalan keluar. Pintu utama tertutup pelan tapi tegas.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Shailendra benar-benar tak tahu harus berkata apa.
Shailendra menatap tangannya yang barusan ditahan anaknya… lalu sadar bahwa putranya sudah jadi pria dewasa yang tak bisa dikendalikan seperti dulu.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu