NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kami kembali

..."Lama tidak menampakkan diri, bukan berarti berhenti untuk tidak saling mengenali"...

...•...

...•...

"Ini misi pertama kita setelah lama hiatus." Zevan menunjuk sebuah wilayah pedesaan di sebuah peta yang ia tempel di papan besar di markas Caspe.

"Ngapain kita?" Tanya Linda.

"Seperti biasa. Nanti kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok untuk menyusuri sudut-sudut desa untuk membagikan barang-barang yang udah gua siapin di tiga mobil pick up. Ingat! Sebelum matahari tenggelam, kita sudah harus berkumpul di penginapan."

"Tunggu-tunggu! Lo beli barang-barang itu dari kas mingguan anak Caspe tahun lalu?" Tanya Glen.

"Iya, tapi gua tambahin lagi karena daerah yang kita tuju itu luas," jawab Zevan.

"Kita ke sana pakai apa?"

"Mobil masing-masing. Jangan ada yang bawa motor! Karena itu bakal ganggu para warga di sana karena kebisingannya."

Setelah dipikir-pikir lagi, para anggota Caspe menyetujui Zevan dan akan melanjutkan diskusi mereka hingga malam hari. Mereka sangat senang dengan CSSP. Terlebih lagi, ini bukan geng motor biasa yang kebanyakan masyarakat kenal dengan notabene nakal.

Berdiskusi mengenai pos-pos yang mereka bagi, pembagian kelompok, serta barang-barang yang akan mereka bawa. Walaupun sedikit kewalahan, tapi Zevan tidak akan pesimis untuk menghidupkan kembali Cassiopeia dari teman kecilnya.

Dengan senyum yang seolah-seolah tidak ada lunturnya, ia menatap papan diskusi Caspe yang penuh dengan corat-coret spidol. Itu bukan hanya sebuah coretan biasa, tapi harapan untuk membantu orang-orang yang luar biasa di sana.

...••••...

"Gua pulang dulu. Laporannya gua aja yang buat, dan presentasinya biar gua yang pikirin abis gitu gua kirim ke kalian biar langsung lancar waktu jelasinnya," kata Zea dengan dengan mengotak-atik ponselnya.

Jujur saja, Arlan merasa lega dengan keberadaan Zea yang sangat amat membantu. Walaupun ia bisa presentasi sendiri, tapi Zea justru lebih memilih untuk menyiapkannya secara matang-matang daripada berbicara langsung tanpa berpikir mengenai eksperimen yang mereka buat. Merangkai kata-kata itu perlu, maka dari itu harus disiapkan terlebih dahulu.

"Makasih, Ze," kata Wawan.

Zea hanya mengacungkan jempolnya dan meraih tasnya. Saat berjalan ke arah gerbang depan rumah Arlan. Tangannya ditarik oleh sang tuan rumah yang menghentikan langkahnya, Wawan yang tidak mengetahui hal tersebut justru akan melanjutkan langkahnya hingga keluar dari pekarangan rumah Arlan.

"Kenapa?" Tanya Zea, seraya menepiskan tangan laki-laki itu.

"Variel mau ngomong sama lo." Arlan menunjuk adiknya yang tengah berdiri di ambang pintu rumah dengan menatap Zea.

Langkah kaki Variel sangat cepat menghampiri Zea. Saat sampai, ia meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya. "Mau jadi temen aku nggak, Kak?"

Ya! Zea kaget mendengarnya, jika dilihat dari sudut pandang sikap Arlan dan Variel, memanglah sangat-sangat berbeda. Tapi Zea belum mengetahui hal tersebut.

"Boleh." Variel langsung mengembangkan senyumannya dengan Arlan yang juga ingin tersenyum melihatnya, tapi ia tahan karena masih ada Zea.

"Tapi kak Zea nggak bisa sering-sering ke sini, Riel. Dia itu sibuk," kata Arlan.

"Kalau itu tergantung," balas Zea melirik Arlan. "Tapi sekarang kakak pulang dulu, ya? Udah malam soalnya."

Variel menganggukkan kepalanya dan melepaskan genggaman tangannya. Zea mengelus rambut Variel sejenak dan melangkah menuju gerbang depan yang sudah dengan dengan melambaikan tangannya.

"Kenapa mau temenan sama cewek? Tumben banget, biasanya kamu sering menghindar kalau ada cewek yang deketin."

"Tapi ini berbeda. Abang nggak tau, sihh."

"Emang kenapa?"

"Kak Zea itu berbeda, auranya lebih positif daripada cewek-cewek yang lainnya."

...••••...

Ini kesalahannya, tidak belajar, tapi memahami materi, dan justru bermain dengan ponselnya tanpa mengenal waktu. Arlan meremas lembar hasil penilaian harian biologinya yang mendapatkan nilai setengah.

"Dapat berapa lo?" Tanya Zea dari belakang.

"Kepo."

Zea mendengus kesal dengan mengambil tasnya untuk memasukkan lembaran penilaian harian biologinya. Arlan yang mulai kepo juga dengan nilai Zea langsung membalikkan tubuhnya menatap gadis itu. "Elo?"

"Apa?" Bingung Zea.

"Elo dapat berapa?"

"Kepo."

"Heh! Lo pada ngapain? Buruan ke lab! Udah ditungguin Bu Killa di sana," suruh Titania di ambang pintu kelas memanggil Zea dan Arlan yang tengah bertatapan dengan sorot mata tidak mengenakan.

"Iya." Zea mengeluarkan buku-bukunya dan mengikuti teman-temannya yang sedang berjalan mengarah ke lab sekolah.

Tidak ada hujan, tidak ada panas, hanya ada mendung. Tiba-tiba rasa malas Arlan muncul saat ia mengikuti langkah teman-temannya menuju lab. Langkah kaki pelannya membuat ia tertinggal jauh dan berjalan di bagian paling belakang bersama Wawan yang tengah memakan roti dengan berjalan.

"Kalau makan itu sambil duduk," kata Arlan, dengan melirik Wawan di sebelahnya.

"Tumben perhatian."

"Hah? Gua? Perhatian ke lo? Mimpi!"

Arlan langsung melangkahkan kakinya cepat untuk menjauhi si WWN itu. Jujur saja yang ia katakan tadi itu memang benar dari lubuk hatinya. Ia sangat tidak menyukai seseorang yang makan dengan berdiri, berjalan, ataupun masih menegakkan badan. Setidaknya duduk terlebih dahulu, bukan? Toh, di koridor ada bangku yang disediakan, tapi kenapa tidak dipergunakan? Dasar!

"Selamat pagi menjelang siang, anak-anak," sapa Bu Killa meletakkan buku-bukunya di atas meja besar di depan lab yang bertepatan di depan papan putih itu.

"Siang, Bu..."

"Kalian sudah memikirkan bagaimana bentuk eksperimen sederhana yang akan kalian lakukan sekarang?"

Tidak ada yang menjawab, justru mereka ada yang sok sibuk melihat seisi lab yang membosankan, sibuk dengan pikirannya sendiri, sibuk berbicara dengan temannya, bahkan ada yang diam saja.

"Gimana? Sudah disiapkan?" Masih tidak ada yang menjawab. "Baik, saya panggil satu-persatu kelompok kalian dari lembaran anggota kelompok kelas kalian yang Titania berikan ke saya Minggu lalu."

Suara helaan nafas terdengar jelas di telinga Zea. Sedari tadi ia hanya diam dengan matanya yang menyapu seluruh ruangan yang baru untuknya. Luas, bersih, terdapat banyak lemari berjejeran di ujung ruangan dan juga sebuah anatomi tubuh manusia di samping papan.

"Jangan lupa! Setelah bereksperimen, kalian diberi waktu sepuluh menit untuk bersiap akan mempresentasikan mengenai eksperimen kalian dengan jelas, singkat, dan mudah dimengerti. Paham?"

"Paham, Bu..." Terdengar jelas kalau mereka semua menjawab dengan suara lesunya.

"Males gua," kata seorang perempuan di belakang Zea. Tentu saja itu teman sekelasnya, tapi ia tidak mengenalnya.

"Sama. Kabur, yuk? Ke kantin atau ke Rooftop gitu," balas temannya.

"Gass, lah. Pala gua rasanya mau meledak kalau lama-lama di sini."

Dan benar saja, Zea melirik kedua gadis yang sedang mengendap-endap keluar dari lab dengan menundukkan kelapa bersembunyi dari balik meja dan kursi di depannya. Zea tersenyum tipis seraya menggeser kotak pensil agar terjatuh dari meja.

"Maaf, Bu," kata Zea sembari mengambil kotak pensilnya.

Bu Killa hanya melirik Zea sesaat dan menganggukkan kepala. Namun, saat manik matanya melihat dua buah kepala menyembul di belakang sana. Wanita itu langsung menghampiri dengan raut wajah galaknya.

"Mau kemana kalian? Pasti kalian belum ada prepare sama sekali, ya, kan?" Tanya Bu Killa sembari menatap keempat bola mata yang sedang ketakutan mengalihkan pandangannya.

"Kembali ke tempat kalian! Jika ada yang mau keluar, keluar saja! Dan jangan pernah mengikuti jam pembelajaran saya. Saya ingat dengan wajah kalian semua."

Suasana mulai terselimuti sepi dengan mereka yang diam menatap bukunya masing-masing. Senyuman Zea pun terbit kala itu. Ia berhasil menggagalkan rencana kedua gadis yang mengendap-endap dari belakangnya tadi.

...••••...

"Jaket yang kita pesan kapan datangnya?" Tanya Glen menatap Zevan yang tengah bermain dengan ponselnya.

"Dua pekan lagi. Kenapa?"

"Gua nggak sabar mau pakai lagi.... Pasti cewek-cewek bakal liatin gua kalau gua pakai tuh jaket ada logonya," kata Glen dengan tersenyum membayangkan jika dirinya memakai jaket kulit yang mereka pesan kemarin.

"Khusus lo kagak ada logonya."

"Kok, gitu sih, Van? Gua nggak mau yang polos."

Zevan melirik Glen sesaat dengan menaikkan bahunya acuh. Ia kembali menatap layar ponselnya untuk melanjutkan permainannya. Di sisi lain, Retha sedang mengendap-endap memantau abangnya yang sedang santai-santainya di pojok kantin dengan Glen.

Gadis itu menatap Zevan kesal dengan meremas ujung almamater dan akan berjalan menghampiri kedua laki-laki tersebut. Saat tiba, Retha langsung menyambar es jeruk di depan abangnya, dan menatap laki-laki itu seolah-olah ingin membunuhnya.

"Kenapa nggak ke kelas? Bolos? Atau males?" Tanya Retha.

"Jawabannya ada di bagian terakhir," jawab Zevan.

Retha langsung menyahut ponsel abangnya dan melemparkannya sembarang. "Kalau satu kali lagi aku lihat Abang main hp dan nggak ikut pembelajaran... Bakal aku aduin ke Papa."

Bukannya marah karena melihat kondisi ponselnya yang terlempar dengan tragis, Zevan justru hanya menatap ponsel kesayangan dengan tatapan datar. Ia menatap adiknya santai dengan duduk menyilangkan kakinya. "Aduin aja, kita lihat siapa yang menang nanti."

"Taruhan?"

Zevan tersenyum tipis melihat reaksi Retha yang mudah ia permainan. Polos sekali jika diajak bermain dengan dirinya yang suka mempermainkan mood adiknya. "Of course. Tapi kalau kalah jangan masuk kamar Abang selama satu bulan."

"Nggak!"

Glen menompa dagunya dengan menyaksikan drama yang tertera di depan mata. Sangat HD bukan? Tentu saja.

"Mangkanya diem aja, jangan gangguin Abang. Lagian juga nggak ada ujian, Santai dulu aja nggak sih?" Zevan melirik Glen yang langsung mengacungkan jempolnya membela temannya.

"Tck!" Retha menghampiri ponsel abangnya yang tergeletak tragis dengan layar yang pecah tapi dalam keadaan menyala. Ia bersiap untuk menginjak benda pipih tersebut.

Sontak Zevan membulatkan matanya dan buru-buru menarik adiknya agar tidak menginjak benda kesayangannya. "JANGAN!"

Hampir saja terinjak. Mungkin jarak sepatu dengan bende pipih tersebut satu centimeter. Zevan menarik tubuh Retha perlahan dan mengambil benda tersebut dengan mengelus layarnya yang pecah.

"Gimana?"

Zevan tidak menjawab. Justru laki-laki itu sibuk mengelus benda pipih tersebut. Retha yang sudah kesal hingga terlewat batas pun langsung menarik kerah baju abangnya dan membisikkan sesuatu.

"Semua fasilitas yang Abang pakai bakal aku blokir dengan cara aduin ke Mama."

Laki-laki itu langsung memasukkan benda kesayangannya ke dalam saku celana dan merangkul bahu adiknya. "Jangan, dong... Kamu nggak kasihan sama Abang?"

"Enggak."

Glen lantas menutup mulutnya untuk menahan tawanya. Cukup menghibur juga drama ini. Ia beranjak dari duduknya dengan menyahut es teh di meja dan langsung meneguknya hingga habis.

"Gua duluan, ya? Gua nggak mau jadi korban pertengkaran kalian," kata Glen dengan melangkahkan kakinya keluar dari kantin.

Zevan tersenyum menatap manik mata Retha yang sedang menatapnya dengan tatapan menusuk. Ia langsung menghempaskan tangan adiknya yang masih meremas kerah bajunya dan lari terbirit-birit mengikuti langkah kaki Glen di luar kantin sana.

"Dasar! Pinter tapi sikapnya minus."

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!