Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pertama Kelabu
Hana melangkah perlahan keluar dari kamar mandi, rambutnya yang masih setengah basah tergerai rapi, dan baju pemberian Ratna membalut tubuhnya dengan pas, anggun, lembut, dan sederhana, tapi mampu memancarkan kecantikan dan keanggunan alaminya. Wajahnya bersih tanpa riasan, tapi justru itulah yang membuat kecantikannya begitu tulus dan menenangkan. Langkah kakinya menuju balkon terasa ringan, meski di dadanya masih ada sesuatu yang mengganjal.
Di balkon kamar, Pradipta berdiri bersandar pada pagar, menatap langit malam yang mulai gelap sempurna. Angin membawa aroma hujan yang masih tertahan di awan. Saat mendengar langkah lembut di belakangnya, ia menoleh.
Mata mereka bertemu. Ada jeda sejenak. Waktu seperti melambat. Saling memberikan senyum hangat penuh cinta.
Hana berdiri di sampingnya, lalu bersuara lirih, “Kalau tadi siang Kak Pradipta tidak datang tepat waktu. Dari malam ini dan seterusnya aku akan hidup di neraka yang Burhan ciptakan.”
Pradipta menatap istrinya penuh perasaan. Senyumnya mengembang pelan, tapi ada keseriusan yang tergurat di matanya. “Bukan hanya untukmu. Jika aku terlambat sedikit saja tadi. Selama sisa hidupku mungkin aku akan hidup dalam penyesalan karena seseorang yang kucintai tak bisa kumiliki.”
Hana terpaku mendengar perkataan Pradipta. Sesuatu yang mengganjal di hatinya terasa semakin besar.
Keheningan kembali menyelimuti mereka sejenak. Hanya ada desir angin malam dan suara dedaunan yang lembut seakan ikut memahami gelisah yang terpendam di dada Hana.
Hana menarik napas dalam-dalam. Ini waktunya. Ia tak ingin membiarkan pernikahan ini dibangun di atas pondasi yang rapuh. Jika mereka benar-benar ingin membangun masa depan, maka semuanya harus dimulai dari kejujuran dan kebenaran.
“Aku akan jujur pada Kak Pradipta malam ini, aku akan mengatakan semuanya agar Kak Pradipta tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucap Hana, suaranya pelan tapi mantap.
Pradipta menoleh, alisnya sedikit mengernyit. Ia tak bersuara, hanya menunggu.
Hana menatap jauh ke arah langit yang kini mulai dipenuhi bintang, lalu mulai bercerita. Tentang Rendy. Tentang kesepakatan mereka. Tentang betapa semuanya hanya permainan dan bagian dari misi balas dendam.
“Aku dan Rendy, kami lalu bekerja sama. Rendy mendekati Malika atas rencanaku. Begitu juga aku mendekatimu.”
“Burhan menjodohkanku dengan Rendy agar masa depanku hancur, aku ingin membuat rencananya berbalik pada putrinya sendiri. Aku yang menyusun rencana Rendy pura-pura kaya agar Malika terpikat lalu meninggalkanmu.”
“Aku juga berusaha menarik simpatimu, membuatmu merasa iba atas perlakuan mereka padaku. Kak Pradipta akhirnya juga terperdaya dan masuk perangkapku dan ingin menikahiku”
Pradipta diam. Matanya tak lepas dari wajah Hana, tapi rahangnya mengeras. Ia tidak menyangka.
“Awalnya, aku hanya ingin menikah dengan Kak Pradipta karena aku tahu itu akan menghancurkan hati Malika dan keluarganya,” lanjut Hana, nadanya penuh penyesalan. “Aku tahu itu jahat. Tapi saat itu aku dibutakan oleh luka dan kemarahan. Aku hanya ingin mereka tahu rasanya kehilangan. Rasanya di rebut. Rasanya dihancurkan.”
Pradipta menghela napas pelan. Lama. Tapi tetap tak bersuara.
Hana menunduk. “Aku minta maaf. Aku mengakui jika aku telah sangat salah memanfaatkanmu untuk masuk dalam rencana balas dendamku.”
Ada keheningan panjang. Pradipta lalu melirik Hana dengan wajahnya yang tenang, tapi jelas terguncang, dan tak bisa ia sembunyikan.
“Jadi. Aku cuma bagian dari rencana balas dendammu?” katanya akhirnya, datar.
Hana menatapnya penuh penyesalan. “Iya. awalnya.”
“Sekarang?”
“Sekarang kamu adalah satu-satunya alasan aku ingin segera menyelesaikan ini lalu hidup dengan tenang.”
“Menyelesaikan? Masih adakah yang belum selesai?”
“Banyak.”
“Apa itu berarti kamu akan kembali ke rumah itu lagi?” Pradipta bertanya dengan sungguh-sungguh.
Hana langsung mengangguk mantap. “Iya.”
Pradipta bergeming. Menunduk dalam.
“Aku kecewa. Aku pikir perasaanmu tulus. Setulus perasaanku padamu.” Pradipta melirik Hana disampingnya. Matanya sayu seolah hilang harapan.
Hana mengangguk pelan. “Maaf,” jawabnya pelan.
“Karena itu aku mengatakannya sekarang, sebelum semuanya terlalu dalam.”
“Sudah dalam Hana. Sudah dalam. Cintaku padamu sudah dalam dan dengan mudahnya kamu mengatakan sebelum dalam?” Pradipta sedikit emosi. “Kita bahkan sudah menikah. Apa lagi yang lebih dalam selain pernikahan?”
Hana menunduk merasa bersalah.
“Karena sekarang tujuanmu telah tercapai. Kamu berhasil merebutku dari Malika. Bahkan kita sudah menikah? Apa kau puas?” Pradipta menatap Hana lekat. Sorot matanya penuh luka.
“Iya. Aku puas. Saat ini Malika pasti sedang meratapi nasibnya. Selain karena Rendy yang kabur setelah menghamilinya, ditambah lagi dengan fakta tentang pernikahan kita. Aku yakin dia sedang terpuruk dan menangis sejadi-jadinya.”
“Apa? Malika hamil?” Pradipta syok.
“Iya. Benar. Saat ini Malika sedang mengandung anaknya Rendy.”
“Kalian benar-benar keterlaluan.” Pradipta mundur tak percaya jika Hana tega membuat rencana sekeji itu.
“Tentang itu. Aku...” Hana akan menjelaskan.
“Aku tak percaya kamu bisa melakukan itu, Hana.” Pradipta melihat Hana dengan sangat kecewa.
Hana tertegun, menatap Pradipta yang melihatnya penuh cela. Suaminya itu bahkan tak mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu. Itu pasti. Apa yang sudah Hana lakukan padanya memang sebuah kesalahan yang besar. Kesalahan yang tak layak dimaafkan.
“Sekali lagi. Aku minta maaf. Aku tahu Kak Pradipta pasti sudah sangat kecewa. Aku mengerti dan aku tak layak dimaafkan.” Hana mundur.
“Aku menyerahkan keputusan pada Kak Pradipta. Kita bisa mengakhiri semuanya disini dan malam ini.”
“Apa maksudmu?” Pradipta kaget dengan kata-kata Hana.
“Mumpung pernikahan ini belum tercatat secara resmi. Kak Pradipta bisa menceraikanku sekarang juga.”
Pradipta menutup mata. Seakan kalimat itu menghujam dadanya.
“Hana. Cerai?” tanya Pradipta tak percaya.
Hana mengangguk berat. Matanya berkaca-kaca.
Pradipta kembali menatap Hana lekat-lekat, sorot matanya penuh kecewa dan napasnya memburu menahan amarah dan kekecewaan yang memuncak. Dia lantas pergi meninggalkan Hana dengan langkah tergesa.
***
Malam itu, angin berhembus pelan mengusir kehangatan yang semestinya menyelimuti dua insan yang baru saja disatukan dalam ikatan suci. Tapi rumah itu, rumah Pradipta, justru dibekap kesunyian dan dingin yang menyesakkan.
Dengan langkah pelan namun mantap, Hana berjalan ke luar rumah bersama Ningsih yang sesekali memandangi cucunya dengan penuh tanya yang tak sanggup diucapkan.
Ratna berdiri di ambang pintu, berusaha menahan air mata. “Hana.” suaranya nyaris berbisik.
Hana menoleh sejenak. Wajahnya sayu dan pilu. “Maafkan aku ibu,”
Ratna hanya bisa mengangguk, hatinya remuk. Ia ingin menghentikan Hana, tapi sorot mata menantunya itu begitu sangat yakin, begitu penuh tekad, membuatnya tahu bahwa ini bukan keputusan main-main.
Tanpa pamit lagi, Hana melangkah pergi ke dalam malam. Pradipta tak terlihat. Entah kemana ia pergi setelah pertengkaran tadi. Tapi satu hal pasti malam pertama pernikahan mereka, yang seharusnya menjadi malam penuh cinta, berubah menjadi malam penuh perpisahan dan luka yang menganga.
Dan dari balik jendela kamarnya, Ratna menatap punggung Hana yang menjauh bersama neneknya.
***
Pintu rumah Burhan terbuka dengan suara berderit pelan, mengantar keheningan yang menyelimuti malam itu. Hana melangkah masuk dengan mantap, menggenggam erat lengan sang nenek, Ningsih. Keheningan menyergap seisi rumah, semua yang berada di dalam menoleh, Burhan, Rosma, Malika, dan Sri.
Mereka semua berdiri di ruang tengah. Mata Burhan menatap tajam, tapi ada getar ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan. Rosma kaku, Malika tampak menegang di balik sofa, dan Sri hanya bisa menunduk. Wajahnya pucat, penuh rasa malu dan sesal yang tertahan.
Langkah Ningsih pelan tapi pasti menghampiri Sri, yang masih mematung di tempatnya. Suara Ningsih yang serak namun lembut pecah di ruangan itu, memotong sunyi seperti belati.
“Apa kabar Sri? Apa hidupmu bahagia Nak”
Sri menggigit bibirnya, kepalanya makin tertunduk. Tak ada jawaban.
“Apa semua ini sebanding dengan keputusanmu dulu meninggalkan anakmu? Menelantarkannya, demi hidup bersama dia.” lanjut Ningsih sambil menunjuk Burhan dengan suaranya yang nyaris bergetar karena emosi dan kesedihan yang telah lama ia pendam.
Air mata Sri mengalir tanpa suara, tapi ia tetap tak berani menatap ibunya.
Sementara itu, Hana berdiri tegak di samping Ningsih. Tatapannya mengarah ke seluruh ruangan, pada orang-orang yang telah menginjak harga dirinya, dan kini diam membeku dalam rasa bersalah dan ketakutan.
“Kenapa sepi sekali di sini?” ucapnya pelan, namun nadanya menggigit.
“Padahal tadi pagi rumah ini ramai sekali, kalian mengiringku ke mobil seperti pengantin raja, padahal jelas-jelas kalian sedang menjualku ke pria tua bangka.”
“Sekarang kalian diam, seperti penjahat yang tertangkap basah.”