Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Kedung Wulan
Naryo menggeleng, wajahnya pucat. "Belum, Tuan. Bahkan dengan bayaran tiga kali lipat, tidak ada yang berani."
Martin mendengkus kesal. "Siapkan kuda. Dan bawakan peralatan untuk membersihkan semak."
"Tuan hendak ke sana lagi? Hari sudah siang, panas sekali."
"Justru itu yang kubutuhkan. Terang dan panas."
Tak lama, Martin sudah menunggangi kudanya, menuju jalan tanah selatan yang diapit kebun tebu.
Peluh segera membanjiri tubuhnya, kemejanya melekat pada kulit yang mulai memerah terbakar matahari. Ia tak peduli. Obsesinya pada Kedung Wulan mengalahkan segala ketidaknyamanan fisik.
Ketika sampai di ujung jalan yang bisa dilalui kuda, ia turun dan menambatkan kudanya. Dari sini, ia harus berjalan kaki.
Dengan parang di tangan, Martin mulai meneruskan pekerjaan yang ia mulai minggu lalu—membabat semak-semak tinggi yang menutupi jalan menuju sendang.
Duri-duri tajam menggores lengannya, meninggalkan bekas kemerahan pada kulit putihnya. Martin terus membabat, melampiaskan frustrasinya.
Keringat bercucuran. Rambut cokelatnya yang bergelombang terasa lepek.
"Inilah akar permasalahannya," gerutunya sambil menendang dahan patah yang telah mengering. "Tempat terkutuk ini. Orangtua yang selalu bungkam. Mimpi-mimpi yang tak pernah berhenti."
Semenjak kecil, Martin sering bermimpi tentang sendang gelap dan sosok-sosok bertempurung yang berenang di dalamnya serta mimpi-mimpi buruk lain yang melelahkan.
Ia selalu terbangun dengan napas tersengal, tubuh basah oleh keringat dingin. Mimpi yang sama, berulang-ulang, hingga ia merasa gila.
Saat bertanya pada orangtuanya, mereka selalu mengalihkan pembicaraan. Hanya cerita standar bahwa Johanna, kakak perempuannya, meninggal karena tenggelam di sendang itu. Tidak ada penjelasan mengapa ia bisa ada di sana sendirian.
Setelah berjalan cukup jauh, Martin akhirnya menemukan sisa-sisa pagar bata yang dulu mengelilingi area sendang.
Struktur itu kini nyaris tak terlihat, tertutup tanaman rambat dan semak belukar. Ia terus membabat, hingga akhirnya berhasil menembus ke dalam area yang dikelilingi pagar.
Suhu mendadak turun begitu ia memasuki area sendang. Meski di luar matahari begitu terik, di sini terasa dingin seperti ruang bawah tanah. Keringatnya yang tadinya hangat kini terasa mendingin, membuat bulu kuduknya meremang.
Sendang Kedung Wulan terbentang di hadapannya—kolam air alami yang dikelilingi batu-batu alam berlumut. Permukaannya begitu tenang, memantulkan bayangan pepohonan tinggi di sekitarnya.
Air sendang jernih sekali, hingga ia bisa melihat dasarnya yang berbatu, meski kedalaman air tampak signifikan.
Bau khas tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi inderanya, bercampur aroma aneh yang tak bisa ia identifikasi—manis dan pahit sekaligus, seperti bunga yang tidak ia kenal.
Suara hutan—serangga, burung, dan angin yang menggesek daun—terdengar jauh lebih lemah di sini, seolah area ini terisolasi dari dunia luar.
Martin mengeluarkan gulungan kertas dari tas—salinan denah kuno area Kedung Wulan yang dibuat ayahnya puluhan tahun lalu.
Membandingkannya dengan kondisi sekarang, ia menyadari sebagian besar struktur asli terkubur di bawah dedaunan kering yang telah menjadi humus.
"Seharusnya ada tangga batu di sisi sana," gumamnya, menunjuk ke arah timur sendang. "Dan altar kecil di bagian barat."
Ia berkeliling tepian sendang, mengamati dengan cermat setiap detail. Menurut catatan ayahnya, sendang ini terhubung dengan sistem air bawah tanah, sehingga airnya tidak pernah kering bahkan di musim kemarau terpanjang.
Martin heran, bagaimana orang-orang bisa begitu takut pada tempat secantik ini?
Kedung Wulan, jika dibersihkan dan dirawat, tak ubahnya taman air alami yang asri. Tentu, karena kematian Johanna, tapi ketakutan penduduk lokal terlalu mendalam untuk hanya disebabkan oleh satu kejadian, pasti ada hal-hal lain, pikir Martin.
Ketika hendak mendekati tepian untuk mengambil sampel air, Martin merasakan getaran aneh dari tanah yang ia pijak. Seperti denyutan halus berirama, hampir tak terasa jika ia tidak sedang berdiri diam.
Ia berlutut, meletakkan telapak tangannya di atas tanah lembap. Getaran itu terasa lebih jelas—seperti detak jantung yang sangat pelan, berasal dari kedalaman tanah.
Martin terkesiap, menarik tangannya. Matanya menatap permukaan air yang kini mulai beriak, meski tak ada angin. Riak-riak kecil, saling tumpang tindih, seperti ada sesuatu yang bergerak di bawahnya.
Tiba-tiba ia teringat undangan penting malam ini. Buru-buru pemuda itu merogoh saku, mengeluarkan jam sakunya.
"Sial, sudah jam tiga!"
Sumi baru saja berganti pakaian setelah perjalanannya pagi itu ketika abdi dalem tergopoh-gopoh menghampirinya di kamar.
"Ndoro Ayu, Raden Mas datang dengan Kanjeng Ibu dari Kadipaten," bisik Mbok Sinem, wajahnya terlihat cemas. "Mereka sudah di pendopo depan."
Jantung Sumi berdetak lebih cepat. Kunjungan mendadak dari ibu mertua bukanlah pertanda baik.
Kanjeng Raden Ayu—begitu gelar ibu mertuanya—jarang sekali datang ke Dalem Prawirataman kecuali untuk urusan penting, atau lebih tepatnya, untuk mengingatkan Sumi akan kewajibannya yang belum terpenuhi.
"Siapkan jamuan terbaik," perintah Sumi, sambil merapikan sanggulnya dan memastikan kebaya barunya tidak kusut. "Dan pastikan Pariyem dan Lastri tidak menampakkan diri kecuali dipanggil."
Dengan langkah yang diatur seanggun mungkin, Sumi berjalan sambil berjongkok di pendopo utama.
Di sana, Raden Mas Soedarsono sudah duduk di kursi utama bersama ibunya—perempuan sepuh berusia enam puluh tahunan dengan sanggul tinggi dan kebaya beludru hitam yang dihiasi peniti permata. Meski sudah berumur, kecantikan masa mudanya masih tersisa di wajahnya yang angkuh.
"Sugeng rawuh, Ibu," sapa Sumi dengan hormat, membungkuk sembari dua tangan membentuk sembah sebelum duduk bersimpuh di lantai pendopo.
Posisi duduknya—bersimpuh di lantai, bukan di kursi—adalah bentuk penghormatan dalam adat Jawa.
Seorang menantu, meski berkedudukan sebagai Raden Ayu, tetap harus menunjukkan hormat pada mertuanya yang bergelar Kanjeng Raden Ayu.
"Hmm," hanya itu balasan dari ibu mertuanya, yang menatapnya dengan pandangan menilai. "Masih sama seperti dulu? Masih sama seperti lima belas tahun lalu saat aku menjemputmu jadi menantu."
Sumi menunduk, tak berani menatap langsung. "Inggih, Ibu."
"Bedanya, lima belas tahun lalu aku berharap kau akan segera memberi cucu. Sekarang ... aku bahkan ragu kau tahu cara membuatnya."
Raden Mas Soedarsono berdeham, merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan ibunya.
Beberapa abdi dalem datang membawa nampan berisi teh dan jajanan pasar. Mereka meletakkannya di meja dengan hati-hati, lalu mundur tanpa berani mengangkat wajah—menyadari suasana tegang di pendopo.
"Aku sudah memutuskan," lanjut Kanjeng ibu setelah para abdi pergi. "Kau harus menceraikan Sumi."
Kata-kata itu tidak terlalu mengejutkan karena sering dilontarkan. Sumi tetap menunduk, namun tangannya gemetar hingga ia harus menggenggamnya erat-erat di pangkuan.
"Ibu!" Soedarsono berkata dengan nada halus namun penuh penekanan. "Sumi adalah istri utama saya, garwo padmi yang sah! Jika Ibu meminta menceraikan Lastri, akan saya lakukan sekarang juga.”
"Dan apa gunanya garwo padmi yang tidak bisa memberimu keturunan?" balas ibunya tajam. "Lima belas tahun, Darsono! Lima belas tahun pernikahan tanpa hasil! Sementara Pariyem, gadis desa yang kau jadikan selir baru, sudah menunjukkan tanda-tanda kehamilan hanya dalam enam bulan!"
Soedarsono menggeleng. "Kita belum tahu pasti Pariyem hamil atau tidak. Itu baru dugaan—"
"Tapi setidaknya ada harapan!" potong ibunya. "Dengan Sumi? Apa yang kita dapat selama lima belas tahun?"
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
gapai kebahagiaanmu, jangan terus berkorban
dia kan istri ya pasti bgg lah mau gmg apa secara kan udh bersuami mana mgkin dia mau memanfaakan kmu itu oengaru dr sirep mbah dukun kali martin