Jiang Hao adalah pendekar jenius yang memiliki tangan kanan beracun yang bisa menghancurkan lawan hanya dengan satu sentuhan. Setelah dihianati oleh sektenya sendiri, ia kehilangan segalanya dan dianggap sebagai iblis oleh dunia persilatan. Dalam kejatuhannya, ia bertemu seorang gadis buta yang melihat kebaikan dalam dirinya dan mengajarkan arti belas kasih. Namun, musuh-musuh lamanya tidak akan membiarkannya hidup damai. Jiang Hao pun harus memilih: apakah ia akan menjadi iblis yang menghancurkan dunia persilatan atau pahlawan yang menyelamatkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhamar Sewu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Kebenaran yang Membusuk
Salah satu dari mereka menebas ke arah kakinya, mencoba menjatuhkannya. Jiang Hao melompat ke udara, berputar, lalu menendang kepala lawan dengan keras!
Brakk!
Orang itu terpental ke belakang, menghantam dinding.
Dua lawan tersisa.
Pendekar bertopeng yang pertama menyerang dengan tusukan cepat. Jiang Hao menggerakkan tubuhnya ke samping, membiarkan pedang itu melewati tubuhnya hanya beberapa inci.
Saat itulah tangannya yang beracun menyentuh lengan lawan yang sudah di atas angin.
Wuussh!
Lengan pendekar itu langsung membiru dan membusuk dalam hitungan detik. Ia berteriak kesakitan sebelum jatuh tak bernyawa ke lantai.
Satu orang tersisa.
Jiang Hao menatapnya dengan dingin. “Masih ingin bertarung?”
Pendekar itu menggertakkan giginya, lalu melesat maju!
Jiang Hao hanya butuh satu gerakan.
Tangannya menyentuh dada lawan. Racun langsung menyebar.
Dalam hitungan detik, tubuh pendekar itu menggigil, napasnya melemah, dan ia jatuh ke lantai tanpa suara.
Jiang Hao menoleh ke arah Pendeta Senja. “Sudah cukup?”
Pendeta Senja tersenyum tipis. “Sangat mengesankan. Kau benar-benar iblis.”
Ia bangkit perlahan. “Baiklah. Aku akan memberimu jawaban yang kau cari.”
Jiang Hao menatapnya tajam. “Li Feng. Dia masih hidup, bukan?”
Pendeta Senja mengangguk. “Ya. Tapi kau mungkin tak akan suka dengan apa yang kutahu.”
Jiang Hao mengepalkan tangannya. Ia siap untuk kebenaran.
Pendeta Senja berjalan perlahan menuju rak kayu tua di sudut ruangan. Tangannya gemetar saat menarik satu gulungan naskah yang dililit benang merah. Ia menyerahkannya kepada Jiang Hao.
“Ini catatan lama tentang pembentukan Sekte Langit Senja. Di sini nama Li Feng tertulis dengan tinta darah.”
Jiang Hao membuka gulungan itu. Di antara huruf-huruf kuno dan simbol kultivasi, ia menemukan nama-nama yang familiar. Tapi satu nama membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Li Feng – Pendiri Bayangan Ketiga, Penanggung Jawab Perburuan Jiang Hao.
Matanya menyipit. “Dia... bukan hanya sekutu. Dia adalah dalang.”
Pendeta Senja mengangguk. “Dialah yang memberikan racun itu ke dalam tangan kananmu. Tanpa sepengetahuanmu.”
Jiang Hao membeku. Ia teringat malam saat tubuhnya berubah. Saat racun itu meresap ke tulangnya. Li Feng ada di sana, menenangkan, pura-pura peduli.
“Dia ingin menjadikanmu senjata. Bukan saudara.”
Tangannya yang beracun mengepal, memancarkan hawa hitam yang menyesakkan ruangan.
Namun, suara lembut dalam benaknya—suara gadis buta itu, Mei Lin, menahan amarahnya. “Bahkan iblis pun berhak memilih.”
Jiang Hao menarik napas panjang. “Di mana dia sekarang?”
“Dia telah kembali ke Puncak Darah. Sekte Langit Senja mempersiapkan upacara besar. Mereka akan memilih penerus tertinggi.”
“Dan dia calon utamanya?”
“Bukan. Dia sudah menjadi pemimpin dalam bayang-bayang. Kau akan berhadapan bukan hanya dengannya, tapi juga seluruh sekte yang dulu memanggilmu saudara.”
Jiang Hao berdiri. “Bagus. Sudah waktunya iblis kembali ke rumah.”
Pendeta Senja tersenyum samar. “Dan apa yang akan kau lakukan jika bertemu dia?”
Tatapan Jiang Hao dingin.
“Aku akan mencabut jantungnya dengan tangan ini, lalu bertanya padanya apakah rasanya seperti pengkhianatan yang kuterima.”
Sebelum ia pergi, Pendeta Senja memberinya seikat kantong kecil. “Gunakan ini untuk mengendalikan racunmu. Kau akan membutuhkannya saat melawan mereka yang menganggapmu telah mati.”
Jiang Hao menerimanya. Ia melangkah keluar dari rumah tua itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama—langit malam terasa lebih dingin dari biasanya.
Tapi dia tidak peduli.
Karena dia bukan lagi pendekar muda yang mencari kebenaran.
Dia adalah iblis yang membawa keadilan dengan racun di tangannya—dan luka di hatinya.
____
Hujan tipis menyelimuti lembah Jiuhua, membasahi setiap langkah Jiang Hao yang mendaki jalan berbatu menuju Puncak Darah — markas tertinggi Sekte Langit Senja.
Langkah-langkahnya tak tergesa, tapi pasti. Jubah hitamnya berkibar diterpa angin pegunungan. Di dadanya, kemarahan menggelegak, ditahan oleh kendali dingin yang nyaris tak manusiawi.
Di kejauhan, tampak sinar merah dari lentera-lentera besar yang menghiasi gerbang utama. Beberapa murid berjaga di sana, tak mengenali siluet yang kini mendekat dari kabut.
Salah satu dari mereka melangkah maju, berseru:
“Siapa kau? Ini wilayah terlarang. Kembali sebelum ....”
Namun, sebelum kalimat itu usai, Jiang Hao mengangkat tangan kanannya. Udara mendesis. Tanah di bawah penjaga itu retak, dan suara jeritan mengiringi tubuh yang membusuk dalam sekejap.
Penjaga lainnya mundur, wajah mereka pucat pasi.
“I-iblis ... Iblis itu kembali!”
Dalam sekejap, gong darurat berbunyi dari menara pengawas. Dentingannya menggema ke seluruh puncak.
“Jiang Hao hidup!”
“Dia datang!”
Namun Jiang Hao tidak mempercepat langkahnya. Ia terus berjalan, satu demi satu menara diterangi cahaya obor, satu demi satu wajah panik muncul dari balik jendela kuil.
“Keluarlah, Li Feng.” Suaranya dalam, menghentak udara seperti petir tanpa kilat.
“Aku tak datang untuk sembunyi-sembunyi. Aku datang untuk menagih apa yang kau hutang.”
--
Di aula utama, Li Feng berdiri tenang. Usianya tak banyak berubah sejak terakhir kali mereka bertemu. Matanya yang tajam masih menyimpan kecerdikan, namun ada sedikit kegelisahan saat mendengar laporan murid-muridnya.
“Jadi, dia benar-benar kembali ....”
Di belakangnya, duduk tiga Tetua Agung sekte. Salah satunya, Tetua Yu, bersuara geram:
“Dia datang untuk menuntut darah. Kita harus mengerahkan semua penjaga!”
Namun Li Feng mengangkat tangan.
“Tidak. Aku yang akan menyambutnya.”
“Sendiri?” tanya Tetua lain.
Li Feng tersenyum dingin.
“Aku menciptakan iblis itu. Sekarang saatnya melihat... apakah ciptaanku mampu membunuh penciptanya.”
---
Sementara itu, Jiang Hao telah menembus barisan luar tanpa banyak perlawanan. Mayat-mayat tergeletak membusuk dalam posisi mengenaskan, membuat tanah menjadi rawa beracun.
Namun, di persimpangan menuju aula utama, langkahnya terhenti.
Seseorang berdiri menghadangnya.
Seorang wanita.
Jubahnya biru tua. Rambutnya panjang, diikat kain merah. Tatapannya kosong, namun damai. Ia berdiri dengan tongkat kayu di tangan.
Mei Lin.
“Jiang Hao ... cukup.” Suaranya lembut, seperti rintik hujan.
“Kau belum terlambat untuk memilih jalan yang lain.”
Jiang Hao menatapnya, untuk sesaat racun di tangannya mereda.
“Mei Lin. Aku menghargai kehadiranmu di hidupku. Tapi mereka sudah menentukan jalan ini untukku. Aku tak memburumu. Aku memburu mereka yang menusuk dari belakang.”
Mei Lin melangkah maju, hingga berdiri tepat di hadapannya.
“Kalau begitu ... biarkan aku berjalan bersamamu. Bukan untuk membunuh. Tapi agar kau tak sepenuhnya hilang dalam amarah.”
Jiang Hao memandangnya lama, lalu mengangguk perlahan.
“Kalau aku berubah menjadi iblis sepenuhnya, tolong ... bunuh aku.”
Mei Lin tersenyum getir.
“Aku akan mengingatkanmu siapa dirimu, bahkan jika dunia lupa.”
Mereka melangkah bersama menuju aula utama. Dan di atas sana, Li Feng telah bersiap, pedang panjang di tangannya, dan senyum pengkhianatannya yang dulu — kini menyambut kembalinya iblis.
---
to be continued ✍️
nyala lampu sedikit mmenerangi di dalam gua gunung berkabut.novel apa puisi.hhhhh