NovelToon NovelToon
Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Slice of Life
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kara_Sorin

Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15_Hari Tanpa Rencana

Pagi itu, langit mendung menggantung di atas kota. Angin bertiup lembut, membawa aroma kopi dari dapur apartemen yang mulai ramai oleh suara denting alat masak. Namira, yang biasanya bersiap terburu-buru ke kantor, pagi ini hanya duduk di meja makan dengan piyama satin dan rambut digerai seadanya.

“Jadi, kantor kamu benar-benar libur hari ini?” tanya Sean sambil menuangkan teh ke cangkir.

Tak lagi membiarkan Namira meminum kopi, takut sakit maagnya kambuh.

Namira mengangguk.

“Sistem servernya rusak. Katanya kena serangan virus. Semua file dibekukan. Bahkan para direksi diminta tidak masuk.”

Sean mengangkat alis.

“Langka sekali dunia bisnis memberi waktu istirahat, ya.”

Namira tersenyum kecil.

“Mungkin ini semacam... keberuntungan mendadak.”

Sean duduk di seberangnya, menyeruput teh pelan.

“Kalau begitu, hari ini kamu mau melakukan apa, Nam-Nam?”

Namira mendecak.

“Kamu masih saja pakai nama itu.”

“Tentu. Aku suka,” jawab Sean santai.

Namira berpikir sejenak, lalu menatapnya.

“Bagaimana kalau... kita nonton film? Sejak kamu tinggal di sini, kita belum pernah nonton bareng.”

Sean berpura-pura terkejut.

“Kamu mengajak aku nonton? Ini hari bersejarah.”

“Jangan berlebihan.”

Sean bangkit dari kursi.

“Baiklah. Pilih filmnya. Aku akan buat popcorn.”

Film pertama yang mereka tonton adalah film drama Jepang yang penuh kontemplasi dan visual yang sunyi. Mereka duduk di sofa panjang, masing-masing dengan selimut tipis. Jarak di antara mereka masih ada, tapi tidak lagi canggung.

“Menurutmu kenapa karakter utamanya tidak pernah tersenyum meski akhirnya sukses?” tanya Namira setelah film berakhir.

Sean mengangkat bahu.

“Mungkin karena ia tidak merasa dimengerti. Bahkan saat dia berhasil, kosong itu masih ada.”

Namira menatap layar yang sudah gelap.

“Seperti... dia menyelesaikan tujuan, tapi kehilangan makna.”

Sean mengangguk.

“Kadang kita lupa bahwa tujuan tanpa makna itu seperti perjalanan tanpa arah.”

Namira berpikir.

“Itu terjadi pada banyak orang. Pada Papa... dan juga padaku.”

Sean menoleh.

“Kamu menyadarinya sekarang?”

Namira mengangguk.

“Dulu aku pikir hidup hanya tentang naik ke puncak. Tapi makin tinggi, udara justru makin dingin.”

Sean tersenyum tipis.

“Tapi kamu masih punya pilihan untuk turun sejenak, kan?”

Mata mereka bertemu. Percakapan ini jauh lebih dalam dari sekadar ulasan film.

Setelah makan siang yang mereka masak bersama, mie goreng telur dan ayam panggang oven. Sean duduk di meja kerja kecil di sudut ruang tamu. Sinar matahari sore menembus kaca, memantul di permukaan meja.

Namira baru keluar dari dapur saat melihat sesuatu yang membuatnya berhenti melangkah.

Di atas meja, terbentang kertas gambar ukuran A3. Pensil, penggaris, dan spidol halus tersusun rapi. Sean sedang menggambar dengan fokus luar biasa. Lengkungan jari-jarinya, mata yang mengikuti garis, dan gerakan tangannya begitu halus dan presisi.

Namira mendekat pelan.

“Sean... kamu sedang menggambar apa?”

Sean menoleh sebentar.

“Sketsa bangunan. Hanya iseng. Aku suka melakukannya kalau sedang tenang.”

Namira menatapnya. Gambar itu bukan sembarangan. Sketsanya detil, proporsional, dan penuh perhitungan teknis. Seperti milik seorang arsitek profesional.

“Kamu belajar arsitektur?”

Sean terdiam sejenak.

Lalu hanya menjawab, “Aku suka menggambar.”

“Tapi ini bukan sekadar suka. Kamu jelas punya kemampuan,” desak Namira, penasaran.

Sean mengangkat bahu.

“Ada hal-hal yang lebih baik disimpan sendiri.”

Namira mengernyit, merasa sedikit ditolak. Tapi ia menahan diri.

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal ini?” tanyanya lagi.

Sean menutup bukunya pelan, “karena tidak semua hal perlu diketahui orang lain, Nam-Nam. Aku lebih nyaman begini.”

Namira ingin bertanya lebih banyak. Tapi sorot mata Sean cukup jelas: Jangan masuk ke ranah ini.

“Baik,” jawab Namira akhirnya.

“Kalau kamu butuh tempat untuk menggambar, aku bisa beli meja kerja yang lebih besar.”

Sean tersenyum lembut.

“Terima kasih. Tapi saat ini, meja kecil ini sudah cukup.”

Sore mulai berubah jingga. Mereka duduk di balkon dengan dua cangkir cokelat hangat di tangan. Pemandangan kota di bawah sana terlihat seperti potongan mozaik, padat, berkilau, tapi jauh dari damai.

“Kamu tahu, aku belum pernah menghabiskan waktu seperti ini sebelumnya,” kata Namira pelan.

“Seperti apa?”

“Seharian tanpa jadwal, tanpa rapat, tanpa pesan masuk dari tim marketing. Rasanya... aneh tapi menyenangkan.”

Sean mengangguk.

“Kamu butuh hari-hari seperti ini lebih sering.”

Namira memutar cangkirnya.

“Kamu tahu, aku dulu membayangkan pernikahan seperti kontrak merger. Ada syarat, ada keuntungan, dan ada jangka waktu.”

Sean tertawa pelan, “dan sekarang?”

“Sekarang aku merasa... pernikahan itu juga tentang duduk bareng, membicarakan film, membuat mie goreng, dan minum cokelat di balkon.”

Sean menatap langit. “Sederhana, ya?”

“Tapi justru yang sederhana itu yang paling sulit kudapatkan.”

Mereka terdiam. Angin berhembus lembut, menerbangkan helaian rambut Namira ke pipinya. Sean mengulurkan tangan, menyingkirkannya dengan gerakan halus.

Namira kaget, tapi tidak menolak.

“Kamu terbiasa menyimpan semuanya sendiri,” kata Sean, lirih.

“Karena aku diajarkan untuk tidak membebani orang lain.”

“Kamu bukan beban.”

Namira menatap Sean dalam-dalam. Suaranya menenangkan, tapi terasa kuat.

“Sean...” ucap Namira pelan.

“Hm?”

“Kalau kontrak ini selesai... kamu akan pergi dari hidupku, ya?”

Sean tidak langsung menjawab. Ia menatap kota yang mulai gelap, lampu-lampunya menyala satu per satu.

“Aku akan pergi... jika kamu ingin aku pergi.”

Namira tersenyum, tapi matanya sayu. “Jawaban aman.”

Sean menoleh, dan kali ini, suaranya lebih lembut dari biasanya.

“Kamu tidak butuh kepastian hari ini, Nam-Nam. Kamu hanya butuh seseorang yang tetap tinggal saat semuanya runtuh.”

Entah kenapa, kalimat itu membuat dada Namira hangat.

***

Malam itu, setelah Sean masuk kamar lebih dulu, Namira duduk di tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Ia menatap layar kosong, berpikir. Beberapa minggu lalu, ia ingin semua ini cepat berlalu. Ingin kembali ke hidupnya yang terencana dan rapi.

Tapi hari ini... hari yang tidak direncanakan... justru menjadi hari paling berkesan sejak bertahun-tahun. Ia membuka catatan digitalnya.

Mengetik pelan-pelan satu kalimat:

“Mungkin hidup bukan tentang mengontrol segalanya. Tapi tentang membiarkan diri merasakan, satu momen, satu hari, satu orang... yang hadir tanpa rencana.”

Namira menutup laptop. Kemudian, ia beranjak ke balkon lagi. Menatap bintang-bintang yang mulai muncul. Di dalam hatinya, sebuah ruang kecil mulai terbuka dan suara Sean masih terngiang.

“Kamu bukan beban.”

***

Di meja kerja kecil itu, buku sketsa Sean masih terbuka. Namira diam-diam berjalan mendekat, menatap halaman terakhir. Sebuah sketsa baru... Bangunan kecil di tengah taman, dengan jendela besar dan sudut baca. Di sudut bawah halaman tertulis kecil, nyaris tak terlihat:

"Untuk seseorang yang selalu terlihat kuat."

Namira menatap tulisan itu lama, sebelum perlahan-lahan menutup buku itu dan meletakkannya kembali seperti semula dan untuk pertama kalinya, ia tidak ingin hari esok datang terlalu cepat.

1
NurAzizah504
jgn takut melawan kebenaran /Good/
NurAzizah504
/Determined//Determined//Determined/
NurAzizah504
semoga kalian baik2 saja
Kara: aamiin 🤲🤣
total 1 replies
NurAzizah504
keliatan bgt sean benar2 yakin kali ini
Kara: harus yakin 😁
total 1 replies
NurAzizah504
eh eh eh
NurAzizah504
akhirnya /Sob/
NurAzizah504
bakalan menggemparkan bgt ini
NurAzizah504
mantap. kalo disebar, pasti bakalan cepat viral
Kara: memanfaatkan opini publik 😂 sebagai senjata
total 1 replies
NurAzizah504
awas kalo ninggalin nam nam lagi
NurAzizah504
syukurlah sean udh sadar /Sob/
NurAzizah504
meleleh aku, makkk
NurAzizah504
sen-sen mu itu lohhh
Author Sylvia
yang sabar ya sean, Namira itu banyak banget yang harus dipikirin.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.
Author Sylvia
capek banget jadi Namira, keluarganya nggak ada yang peduli sama beban yang ada di pundaknya.
Riddle Girl
ceritanya keren, dari pembawaan, dan alur, bikin pembaca ikut merasakan suasana dalam cerita.
Kara: waah terimakasih sudah mampir dan mendukung ☺
total 1 replies
Riddle Girl
aku kasih bintang 5 ya, Thor. semangat nulisnya/Smile//Heart/
Kara: siap 👌
total 1 replies
Riddle Girl
mawar mendarat, Thor. ceritanya bagus/Smile/
Kara: terimakasih sekali dukungannya❤
total 1 replies
Riddle Girl
waahhh Namira yang biasanya tidak peduli kok bisa penasaran?/Grin//Chuckle/
Riddle Girl
mulut Namira sarkas juga yaa/Sob//Facepalm/
Riddle Girl
bener banget, mah ini. sampai ada kata "Lo cantik, Lo aman.", waduhh kasian orang-orang burik macam saya/Facepalm/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!