Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian
..."Darah itu bukan cairan, tapi bukti perjuangan. Entah dari menahan rasa sakit dari diri sendiri, ataupun tersakiti"...
...•...
...•...
"Apa lo lihat-lihat? Ngefans sama gua?" tanya Garrel.
"Dih! Lo punya cewek, ya?" tanya Arzan.
"Hem...."
Naufal langsung mendekatkan dirinya, sementara Sean hanya diam mendengarkan bagaimana kelanjutan kalimat Garrel.
"Siapa, Rel? Lo kok nggak ngasih tahu kita dulu? Lo udah nggak sayang ya sama kita? Kayaknya lo terlalu nyaman sama cewek lo sampai-sampai lupain kita. Lo udah nggak ja-"
"Udah!" Garrel memotong pertanyaan-pertanyaan Naufal yang membuatnya pusing.
"Jadi? Siapa cewek lo? Jawab!" Naufal mulai menaikkan nada bicaranya karena kesal dengan temannya yang tidak langsung menjawabnya.
"Alsava." Bukan Garrel yang menjawab, tapi sepupunya, Sean.
"Cewek yang biasanya sama lo itu, kan? Yang sekelas sama lo?" Garrel menganggukkan kepalanya, mengiyakan pertanyaan Arzan.
"Satu kelas ternyata," kata Naufal.
"Emang kenapa?" balas Garrel.
"Gua kira di kota."
"Betewe, kenapa lo sering pulang larut malam? Jalan sama Sava?" tanya Sean.
"Iya."
"Yaelah, ketika udah jalan sama pacarnya, dunia serasa milik berdua sampai kagak ingat waktu," timpal Arzan, yang memang ada benarnya.
"Kenapa larut banget? Jangan-jangan....." Sean menggantung kalimatnya.
"Dia mau ngelanjutin pendidikannya di luar negeri sama abangnya."
Sontak teman-temannya menertawakannya. Jawaban Garrel benar-benar di luar pemikiran mereka. Bahkan tidak dapat dipungkiri, wajah Garrel tampak sedih saat mengucapkannya.
"LDR-an?" tanya Arzan.
"Bukan."
"Terus? Putus?"
"Iya."
Sontak teman-temannya terdiam. Mereka kira akan LDR-an dengan kisah mengenaskan di balik layar secara virtual, ternyata tidak. Justru kedua pihak tersebut memutuskan hubungannya.
"Kapan dia ikut Abang?" tanya Naufal.
"Abis ini."
"Masih ada waktu beberapa bulan juga, ngapain putus?"
"Gua nggak mau terlalu deket sama dia, dan susah buat ngelupainnya."
"Yang sabar, ya?" Naufal mengelus punggung Garrel. Sementara Garrel hanya menghela napasnya.
"Udah! Ayo masuk," ajak Sean.
"Masuk? Bell aja belum bunyi," balas Arzan.
"Kan lagi ujian, lo nggak belajar dulu? Abis ini juga bell."
Naufal melirik jam tangannya dan menarik tasnya yang bersandar pada pohon. "Gua ngikut Sean, mau belajar dulu."
"Kita ikutan jugalah. Ayo, Rel! Jangan jadi sadboy kaya Sean," ajak Arzan, tapi mengundang emosi Sean.
"Maksud lo apa bawa-bawa nama gua?"
"Cuman bawa aja, nggak gua lempar," balas Arzan.
Sean melirik Arzan sinis dan melenggang pergi tanpa menunggu temannya terlebih dahulu untuk bersama.
Sejak tadi pagi, mereka berempat hanya bersantai di bawah pohon yang biasanya Sean tempati untuk beristirahat. Tidak ada hal yang menarik, hanya saja tentang Garrel dan Sava yang ternyata jadian, tapi terputus karena tidak ingin saling memikirkan satu sama lain dari jarak yang sangat jauh.
Memang benar, akhir-akhir ini Garrel pulang larut malam. Karena itu bukan ia gunakan untuk berjalan dengan Sava, melainkan merenung di gazebo pantai dengan menikmati indahnya lautan saat malam. Itu yang sebenarnya.
...••••...
"Kakak nggak perlu bawa apa-apa, semuanya udah aku siapin di sini. Cukup kak Aza yang mau jadi keluarga aku aja udah cukup," kata Kezia, yang sedang melakukan panggilan suara dengan Aza.
Terdengar jelas kalau Aza sedang menghela napasnya. Jujur saja, ia merasa tidak enak jika tidak melakukan hal apa-apa untuk Kezia ataupun untuk Nenek dan Kakek Kezia yang akan menyambutnya nanti.
"Tap-"
"Udah, deh. Semua udah siap buat menyambut kak Aza, yang penting aku nggak kesepian lagi."
"Iya, deh. Kamu ujiannya gimana? Lancar? Pasti lancar."
"Pasti, dong. Kakak gimana?"
"Lancar kok."
"Lagi ngomong sama siapa?" tanya Adara, yang tiba-tiba ada di sebelah Kezia.
"Maaf, Kak. Aku tutup dulu, nanti lanjut lagi."
"Iya, baik-baik kamu di sana."
"Siap!"
Kezia langsung mematikan panggilannya dan menatap Adara. "Kenapa? Udah dimulai?"
"Belum, abis gini lagi."
"Ohh, ngagetin aja lo."
"Betewe, lo dicariin Leon tadi."
Sontak Kezia mengerutkan keningnya tidak paham. Tumben sekali Leon mencarinya. "Kenapa?"
Adara menggelengkan kepalanya. "Nggak tau, gua duluan, ya? Mau belajar dulu."
"Oh, oke." Kezia mengacungkan jempolnya ke arah Adara yang pergi memunggunginya.
...••••...
Setelah beberapa hari belajar dengan keras, Arlan kembali dengan sikapnya yang bisa dikatakan berlebihan. Laki-laki tidak lagi mendapatkan tekanan, namun dirinya yang menekan keinginannya untuk membahagiakan Gio dan menjadi salah satu siswa dengan lulusan terbaik di SMA Alatra dalam nilai tingginya.
Walaupun waktu pengerjaan sudah sangat mepet untuk selesai, Arlan masih belum mengerjakan 2 soal terakhir. Dahinya berkeringat, tangannya sedikit gemetaran dengan memegangi pulpennya.
Sementara itu, Zea sudah selesai. Ia menghela napas lega dengan menyandarkan punggungnya yang lelah karena duduk tegak. Manik matanya menangkap Arlan yang terlihat sangat-sangat serius, bahkan laki-laki itu tidak menggubris panggilan teman sebelahnya yang ingin meminjam penggaris.
"Lima menit lagi harus selesai, dan tidak ada tambahan waktu lagi," kata penjaga ujian tersebut.
Arlan menelan salivanya dengan kasar. Entah kenapa, tangannya seolah tidak dapat digerakkan dan diam di posisinya dengan menekan kertas lembar jawabannya.
"Lo ngapain sih!" lirih Arlan, yang kesal.
Pada akhirnya, lembaran kertas jawaban ujiannya berlubang. Hanya tertinggal setengah jawaban lagi ia tulis saja tidak bisa karena kegugupannya. Pikirannya tiba-tiba kosong, bukan hanya tangan kanannya saja yang bergetar kali ini, melainkan keduanya.
Zea mengerutkan keningnya bingung dan heran. Ia melirik jam tangannya dan sontak membulatkan matanya karena waktunya telah habis. Bahkan guru penjaga ujian tersebut mulai berdiri.
"Maaf, Pak. Saya boleh bertanya?" Tentu saja Zea langsung mendapatkan banyak sorot mata dari siswa-siswi di kelas ini.
"Iya, apa yang mau kamu tanyakan?" Guru penjaga itu berdiri dengan diam menatap Zea untuk menunggu pertanyaan siswi tersebut.
"Ehm... Bapak tadi sarapan apa?"
Arlan meremas tangannya dengan melirik Zea sekilas. Ia tersenyum saat manik matanya bertabrakan dengan manik mata Zea yang memberikan kode untuk segera mengerjakan soalnya.
"Saya tadi sarapan ayam goreng penyet sama sambal mata. Memangnya kenapa?"
"O-oh, enggak kok, Pak. Kok kelihatannya bapak seger banget hari ini." Jujur saja, Zea bingung harus berbicara apa. Tapi saat Arlan mengacungkan jempolnya, ia menjadi sedikit lega.
"Iya, dong. Itukan kesukaan saya, mana istri saya yang buat."
"Pasti enak banget ya, pak?"
"Iyalah. Eh! Ini waktunya mengumpulkan, selesai nggak selesai silahkan dikumpulkan. Tapi saya cek bagian biodata kalian dulu."
Setelah beberapa menit kemudian, seluruh siswa-siswi SMA Alatra berhamburan di koridor setelah ujian. Ujian yang sangat panas karena hari pertama diisi oleh matematika.
Arlan menunggu Zea di halte bus dengan memainkan ponselnya dan earphone yang menyumpal telinganya. Banyak siswa-siswi lainnya yang sudah sudah menaikkan bus, dan hanya dirinya yang tertinggal seorang diri di halte.
Saat melihat gadis yang menenteng buku dengan berjalan seolah-olah terburu-buru, itu membuat Arlan yakin jika gadis itu Zea dari kejauhan. Tapi memang benar jika itu Zea.
Zea langsung mendudukkan dirinya di bangku halte dengan bernafas lega karena hari ini sangat panas, dan ia ingin buru-buru pulang untuk mendinginkan tubuh dan pikirannya. Ia melirik seorang pemuda yang berdiri di depannya dengan menyandarkan punggungnya di tiang depan halte.
"Ngapain lo? Tatapan lo kayak mau palakin gua." Zea menatap Arlan dengan tatapan datarnya.
"Ngapain gua palakin elo? Gua mau berterimakasih karena lo udah ngulur waktu tadi. Dari mana lo tahu kalau gua belum ngerjain?"
"Dari gerak-gerik lo aja udah keliatan. Lo kena apa sih? Kok akhir-akhir ini aneh. Random banget kepribadian lo."
"Nggak ada apa-apa, cuman kebanyakan kepikiran. Sekarang aja kepala gua lagi pusing, apalagi cuaca panas yang bikin mood hancur."
"Bener sih. Cuaca panas bikin emosi ikut panas, alias sensitif. Tapi muka lo udah pucat kayak gitu kagak langsung pulang?"
Arlan menggeleng. "Gua mau ke perpustakaan kota dulu."
"Ohh... tapi kesehatan lo juga dijaga, gua duluan ya?" Zea kembali berdiri saat bus berikutnya sudah dekat dan membukakan pintu masuk.
Arlan hanya mengangguk, dan menatap kepergian Zea di dalam bus tersebut dari kaca jendelanya. Setelah bus itu menjauh, ia berjalan dari sisi jalan menuju tempat yang ia katakan tadinya.
Sore yang ramai, kendaraan umum serta mobil dan motor dari arah berlawanan sangatlah ramai. Arlan memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing dengan suara-suara klakson kendaraan serta keramaian di jalan yang tiba-tiba munculnya banyak pejalan kaki dari arah belakang.
Tidak ada rasa menyerah untuk ke perpustakaan, Arlan kembali melangkahkan kakinya walaupun dengan menahan sakit serta pusing yang amat sangat berat di kepalanya. Ia mencari botol minum airnya di tas dan meneguknya beberapa tegukan. Saat dirasa sudah mendingan, ia kembali bergegas ke perpustakaan dengan langkah cepat.
Setelah sampai di perpustakaan, bukannya langsung ke rak-rak buku, melainkan ke arah toilet perpustakaan yang sedang sepi. Arlan buru-buru menyalakan air dengan darah yang tiba-tiba menetes di wastafel. Bibirnya basah bukan karena air, tapi darah yang terus keluar dari hidungnya.
Arlan membersihkan darahnya dan mendongak agar darahnya tidak terus menetes dan keluar. Ia juga meraih tisu untuk menyumpal hidungnya sebentar. Menatap pantulan dirinya yang wajahnya tengah pucat, dan tangan yang merah karena terkena darah yang sangat banyak.
"Berjuang untuk hidup, atau menyenangkan orang lain?"
Alur yang mengenaskan, ia ingin membahagiakan Gio selaku orangtuanya dan menjadi contoh yang baik untuk Variel selaku adiknya. Tapi takdir perlahan menjauhkannya dari kata membahagiakan, menuju mengenaskan.
"Banyak yang harus di bahagiakan, tapi umur juga mengejar."
Arlan membersihkan tangannya serta wastafel yang kotor dengan bercak darah karenanya. Tidak lupa, ia juga membersihkan wajahnya. Tiba-tiba ponselnya berdering lama menandakan bahwa ada panggilan masuk.
"Kamu di mana? Kok belum pulang?" tanya Gio. Pria itu sedang khawatir dengan putra sulungnya yang biasanya pulang tepat waktu, tapi sekarang jarang Arlan lakukan.
"Aku lagi main sama temen, nanti jam tujuh aku pulang."
"Jam enam aja, ya? Jangan terlalu larut, kasihan Variel cariin kamu."
"Iya, deh."
"Hati-hati pulangnya."
"Siap!"
Arlan mematikan ponselnya dan memasukan kembali ke tasnya. Ia melirik pantulan dirinya di cermin sejenak, dan yakin pada dirinya bahwa ia bisa melakukan apa yang ingin dilakukan untuk membuat kejutan untuk Gio dan Variel saat hari kelulusan nanti.
Menatap rak-rak buku yang sangat tinggi, Arlan mencari buku yang akan ia pelajari. Beberapa buku memang sudah ada dalam pelukan tangannya, tapi ini masih kurang. Padahal buku-buku tersebut sangatlah tebal jika dilihat-lihat.
"Tumben lo ke sini? Lagi kesambet?" tanya Arlan, saat ia tahu seorang gadis berdiri di sebelahnya. Padahal gadis itu awalnya tidak tahu jika di sebelahnya juga ada Arlan.
"Menurut lo?" balas gadis tersebut. Ia menatap Arlan dengan tatapan tidak mengenakan.
...••••...
...TBC....