Dikhianati oleh suami dan adiknya sendiri, Putri Wei Lian menyaksikan keluarganya dihukum mati demi ambisi kekuasaan. Di saat nyawanya direnggut, ia berdoa pada langit—dan mukjizat terjadi. Ia terbangun sebulan sebelum perjodohan maut itu terjadi. Dengan tekad membara, Wei Lian berjuang membatalkan takdir lamanya dan menghancurkan mereka yang menghancurkannya. Tanpa ia tahu, seorang pria misterius yang menyamar sebagai rakyat biasa tengah mengawasinya—seorang kaisar yang hanya menginginkan satu hati. Saat dendam dan cinta bersilangan, akankah takdir berubah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Langit Luoyang diliputi awan kelabu. Seolah langit tahu: darah akan tumpah di tanah ini.
Di markas utama pertahanan kota, Wei Lian memimpin pertemuan strategi bersama Mo Yichen, Yan’er, dan beberapa jenderal dari Hanbei serta Luoyang yang kini bersatu.
Namun di saat yang sama… di balik tembok luar kota bagian timur, langkah kaki licin berjalan melewati lorong rahasia yang dulu dibangun saat pembangunan istana pertama.
Wei Ruo.
Wajahnya tertutup cadar hitam, hanya matanya yang terlihat—dan di balik mata itu, tak ada sesal. Hanya dendam. Dendam yang telah menyaru menjadi obsesi.
Ia membawa kotak kecil dari kayu cendana. Di dalamnya, racun kuno dari Selatan, yang katanya bisa menghancurkan organ dalam hanya dalam waktu satu jam tanpa meninggalkan bekas luka.
“Jika aku tak bisa naik ke singgasana…” bisiknya lirih, “…maka aku akan memastikan dia jatuh ke dalam neraka duluan.”
—
Di halaman belakang markas pertahanan, saat Wei Lian tengah memeriksa pasukan, suara langkah cepat mendekat. Zhao Jin datang dengan napas berat.
“Lian, kau harus tahu ini sekarang…”
Ia menyerahkan selembar kain tua, surat dalam sandi kuno. Mata Wei Lian menyipit tajam saat membaca isinya.
> “Pelacur iblis itu belum mati. Wei Ruo menyusup lewat lorong rahasia barat. Ia membawa racun. Targetnya: kau.”
Wei Lian mengepal tangannya.
“Aku yang akan mencarinya sendiri.”
—
Senja mulai turun, di lorong bawah tanah yang terlupakan
Langkah kaki Wei Lian menggema dalam lorong batu. Ia berjalan sendiri, pedang pendek terikat di pinggang. Tak ada pengawal. Tak ada pelita. Hanya keyakinan dan nyala dendam yang ia sembunyikan sejak kehidupan yang lalu.
Di tikungan ketiga, ia berhenti.
Wei Ruo berdiri di sana.
Wajahnya setengah tersorot cahaya remang dari lubang udara. Tangannya menggenggam kotak kayu racun, mulutnya melengkung menyeringai.
“Kukira kau sudah terlalu sibuk bermain permaisuri,” ejek Wei Ruo.
Wei Lian menatapnya tanpa ekspresi. “Dan kukira kau sudah kehabisan dosa, tapi rupanya masih sempat menyiapkan satu lagi.”
Wei Ruo mencibir. “Kau selalu sok benar. Tapi jangan lupakan, Jie-jie… aku lebih pintar. Aku yang tahu bagaimana menjilat kekuasaan, aku yang tahu cara mengeliminasi siapa pun yang menghalangiku.”
Ia melangkah pelan, membuka tutup kotak.
“Dengan setetes ini saja… kau akan mati tanpa suara. Seperti Ibu.”
Wei Lian membeku.
“Maksudmu…”
Wei Ruo tersenyum lebar.
“Ibu tak mati karena sakit. Aku menaruh racun di supnya, sehari setelah dia memukulku karena menuduhmu difitnah.”
Suara Wei Lian nyaris tak keluar. Tapi tangannya langsung menyentuh gagang pedang.
“Aku... tak akan biarkan kau menyentuh satu nyawa pun lagi. Dan asal kau tau ibu masih hidup sampai saat ini bersama ayah”
"Apa.... Tidak mungkin, kau bohong... Ibu sudah mati" teriak Wei Ruo
"Jangan panggil ibuku ibu, kau tidak pantas menjadi anaknya , anak mana yang dengan tega membunuh ibu dan ayahnya sendiri hanya demi kekuasaan yang memang bukan miliknya. Kau tidak tau malu" jawab Wei Lian dingin
"Sekarang tidak lagi... Aku akan menjaga mereka dari iblis sepertimu" ujar Wei Lian tajam
Wei Ruo tertawa meremehkan. “Oh? Kau pikir bisa men—”
Ciiing!
Satu kilatan perak mengiris udara.
Wei Lian bergerak cepat. Pedangnya menghantam racun dari tangan Wei Ruo hingga botol kecil itu terlempar dan pecah di dinding. Bau menyengat langsung menyebar.
Wei Ruo mundur selangkah. Tapi Wei Lian tak memberi kesempatan.
Dengan teknik yang ia pelajari dalam dua kehidupan, dia menyerang. Tak gegabah. Tapi penuh keyakinan.
Wei Ruo menangkis seadanya, mencabut belati dari ikat pinggangnya, namun lengan kirinya tergores pedang.
Darah mengucur.
“Aku... tak bisa kalah di sini…!” Wei Ruo berteriak dan maju menyerang, namun langkahnya terbaca. Wei Lian menangkis, berputar, dan—
Tusukannya tepat menghantam dada kiri Wei Ruo.
Wei Ruo terhenti. Matanya melebar, menatap sang kakak dengan getir dan keterkejutan.
“Kenapa… selalu… kau yang menang…?” marah Ruo
Wei Lian menarik napas panjang.
“Karena aku tidak pernah menjadikan keluarga sebagai batu pijakan. Tapi kau... membunuh segalanya.” jawab Wei Lian dingin lalu menusuk jantung Wei Ruo
Wei Ruo jatuh berlutut, lalu rebah dalam diam. Nafas terakhirnya keluar sebagai bisikan yang bahkan tak sempat didengar siapa pun.
Wei Lian berdiri lama di situ, memandang tubuh adik yang dulunya pernah ia lindungi dengan sepenuh hati. Tapi kebenaran di kehidupan lalu dan kini telah menghapus seluruh sisa kasih sayang itu.
"Semoga di kehidupan selanjutnya kita bisa menjadi adik dan kakak yang saling melindungi dan menyayangi" ujar Wei Lian dengan kesedihan yang ia tahan.
Tidak lama orang orang Wei Lian datang dan menguburkan Wei Ruo dengan layak
—
Beberapa jam kemudian, di halaman utama markas
Mo Yichen menghampiri Wei Lian yang kembali tanpa luka tapi juga tanpa bicara.
“Sudah selesai?” tanyanya pelan.
Wei Lian menatap langit yang kini bersih dari awan. “Ya. Salah satu bayangan kelam dari masa lalu... akhirnya padam.”
Mo Yichen menggenggam tangannya.
“Lalu sekarang?” tanya Mo Yichen
Wei Lian menatapnya. Matanya tenang, suaranya datar.
“Sekarang kita hadapi yang lebih besar. Karena bayangan berikutnya... datang membawa ribuan pedang.”
—
Dan di luar gerbang Luoyang, pasukan Ren Yao mulai membentuk barisan.
Lentera perang dinyalakan.
Dan dari kejauhan, suara genderang perang terdengar... menggetarkan tanah dan langit.
Pertempuran besar akan dimulai.
Semua pasukan sudah bersiap menghadapi segala kemungkin yang akan terjadi dari musuh mereka.
Tapi Wei Lian dan Mo Yichen sudah memiliki cara agar tidak terjadi pertumpahan darah dari pihaknya
Bersambung