Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.
Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Memulai Pekerjaan
Saat memasuki kamar barunya, Herald mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kamar ini sederhana—tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Hanya ada satu kasur yang tampak cukup nyaman, dua lemari, satu meja dengan sebuah cermin di atasnya, serta sebuah jendela yang tertutup tirai tipis.
"Kurasa aku akan cepat terbiasa," gumamnya.
Dia mengangkat kopernya dan mulai membongkar barang-barangnya satu per satu. Pakaian, beberapa buku, dan beberapa barang pribadi lainnya dia tata dengan rapi. Saat membuka salah satu lemari, dia menemukan pakaian putih yang tergantung rapi di dalamnya, dengan tumpukan celana panjang hitam di sampingnya.
[Hm, di sini ada banyak baju.]
Merasa penasaran, Herald membuka lemari lainnya. Kali ini, dia menemukan deretan rompi kulit berwarna gelap yang tergantung rapi di dalamnya. Di bagian bawah, masih ada cukup ruang untuk menyimpan pakaian pribadinya, jadi dia meletakkan sisa bajunya di sana, sementara beberapa barang kecil lainnya dia susun di dalam laci.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya dia selesai membereskan barang-barangnya. Dengan tubuh yang sedikit lelah, Herald membaringkan dirinya di atas kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam di atas permukaan yang empuk. Namun, sebelum sempat menutup mata, dia tiba-tiba teringat sesuatu.
[Kertas dari Hermas...]
Dengan cepat, dia bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil kertas itu dari saku celananya. Saat membukanya, dia melihat daftar panjang berisi jadwal rutinitas yang harus dia lakukan mulai besok. Matanya bergerak mengikuti setiap baris tulisan, sampai akhirnya dia menemukan sebuah kalimat yang membuatnya berhenti membaca sejenak.
"Selama bertugas, tolong kenakan pakaian yang sudah disediakan di dalam lemari. Itu adalah pakaian standar bagi seorang pengawal pribadi. Jangan lupa untuk membawa pedang Anda. Anda dapat menyesuaikan ukurannya sesuai dengan tubuh Anda. Pedangnya ada di dekat meja."
"Pantas saja ada begitu banyak pakaian," gumam Herald.
Dia menoleh ke meja, mencari pedang yang dimaksud. Tidak butuh waktu lama sebelum dia menemukannya—sepasang Longsword yang tergantung di sisi meja, lengkap dengan ikat pinggang kulit yang sudah dipersiapkan.
"Oh, jadi ini pedangnya. Cukup panjang juga," ucapnya sambil mengangkat salah satu pedang dan mengamati detailnya.
Dengan hati-hati, dia mengenakan ikat pinggang tersebut dan menyesuaikan ukurannya agar pas di pinggangnya. Setelahnya, dia berdiri di depan cermin dan mulai bergaya dengan pose-pose aneh, seolah sedang menjadi seorang pendekar terkenal.
"Hehehe, sekarang aku terlihat semakin keren," ujarnya sambil tersenyum lebar.
Tak puas hanya mencoba perlengkapannya, Herald memutuskan untuk mengenakan seragamnya sekalian. Setelah memastikan semuanya terpasang dengan benar, dia kembali mengambil kertas jadwalnya dan membacanya lebih lanjut.
Setelah merasa cukup memahami tugasnya, Herald keluar dari kamar dan mencari Charlie. Dengan izin dari Hermas, mereka berdua mulai berjalan-jalan mengelilingi mansion untuk mengenal tempat itu lebih jauh.
***
Di sisi lain mansion, terdapat sebuah kamar yang jauh lebih suram. Semua jendela tertutup oleh tirai tebal, membuat cahaya matahari tidak bisa masuk. Ruangan itu gelap, sepi, dan dingin—seakan mencerminkan perasaan pemiliknya.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah ranjang besar berbentuk kubah. Di atasnya, seorang gadis berambut perak terbaring dalam keheningan.
Clara membuka matanya perlahan, menatap langit-langit dengan kosong.
[Kenapa Ayah masih bersikeras membawakan orang untukku...]
Dia menghela napas, tangannya mengepal di atas selimut.
[Padahal aku sudah mengatakan kalau aku tidak menginginkannya.]
Dia sudah berkali-kali menyampaikan keberatannya kepada sang ayah. Sudah berulang kali dia menolak pengawal pribadi yang disediakan untuknya. Namun, seperti biasa, pendapatnya tidak pernah didengar.
Saat pengawal pertama datang, dia mencoba menolaknya. Saat pengawal kedua datang, dia kembali protes. Namun, ayahnya tidak pernah mundur dari keputusannya. Dan sekarang, seorang pengawal baru telah datang lagi.
[Ayah tidak pernah mengerti...]
Clara menggigit bibirnya, menahan emosi yang berkecamuk di dalam hatinya.
Dia tidak butuh pengawal. Tidak butuh orang yang selalu berada di dekatnya. Dia hanya ingin dibiarkan sendiri.
Namun, pada akhirnya, semua yang dia rasakan hanya bisa dipendam dalam hati. Tidak ada yang mau menerima pendapatnya. Tidak ada yang benar-benar mengerti dirinya.
[Aku ini... bukan apa-apa.]
Dengan perasaan yang semakin suram, Clara menutup matanya kembali.
Malam itu terasa panjang—baik bagi Herald, yang akan memulai kehidupan barunya, maupun bagi Clara, yang merasa semakin terjebak dalam dunianya sendiri.
***
Fajar mulai menyingsing, dan langit yang gelap kini berubah menjadi terang. Hari baru telah dimulai.
Di dalam kamarnya, Herald sudah bersiap-siap. Dia mengenakan seragam pengawal yang telah disediakan, memasang rompi kulitnya, lalu mengikatkan sarung pedang di pinggangnya. Sebelum keluar, dia berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya.
"Tampaknya semuanya sudah siap," gumamnya.
Dengan penuh percaya diri, Herald melangkah keluar untuk menjalankan tugas pertamanya sebagai pengawal pribadi Clara.
***
Setelah beberapa menit berjalan melalui lorong-lorong Mansion, menaiki anak tangga satu per satu, Herald akhirnya tiba di lantai tiga, tepat di depan kamar Clara.
Dari kunjungan mereka kemarin, sekarang Herald sudah tahu jika inilah tempat di mana Clara menghabiskan sebagian besar waktunya. Kini, tugas Herald adalah menjaga pintu kamarnya, memastikan keamanannya, dan mengantarnya ke mana pun dia ingin pergi.
Dia berdiri tegap di samping pintu, layaknya seorang prajurit yang disiplin.
[Heh, kurasa ini akan mudah.]
Namun, seiring waktu berlalu, keyakinan itu mulai pudar.
Pagi berubah menjadi siang, dan selama enam jam terakhir, Herald hanya berdiri di sana, menatap lorong yang sunyi. Tidak ada yang datang, tidak ada suara langkah kaki. Rasanya seperti sedang menjaga sebuah pintu yang mengarah ke kehampaan.
[Memang ini mudah, tapi... ini juga membosankan.]
Dia menghela napas panjang, merasa lelah bukan karena fisiknya, melainkan karena kebosanannya. Berdiri diam selama berjam-jam tanpa melakukan apa pun ternyata lebih melelahkan daripada bertarung di medan perang.
[Hm... aku butuh hiburan.]
Herald mulai berpikir. Apa yang bisa dia lakukan untuk mengusir rasa bosan ini? Dia tidak bisa meninggalkan posnya, tidak bisa berbicara dengan siapa pun. Satu-satunya teman yang dia miliki saat ini hanyalah pedang yang tergantung di pinggangnya.
Saat melihat pedangnya, sebuah ide muncul di benaknya.
***
"Hyat!"
"Slash!"
"Shing!!"
Herald mulai mengayunkan pedangnya, melatih teknik-tekniknya. Dengan langkah ringan, dia bergerak maju dan mundur, mengayunkan bilah pedangnya dengan lincah. Setiap tebasan terasa anggun, seolah dia sedang berlatih di tanah kelahirannya.
Bagi Herald, ini bukan sekadar hiburan. Ini juga kesempatan untuk menyempurnakan teknik-tekniknya.
Namun, keseriusannya dalam latihan membuatnya tidak sadar bahwa seseorang sedang memperhatikannya.
Seorang pelayan datang membawa nampan berisi makanan, melangkah dengan hati-hati di sepanjang koridor. Namun, begitu dia melihat Herald yang sedang mengayunkan pedangnya dengan semangat, dia langsung terkejut.
"Tuan pengawal!!" teriaknya dengan panik.
Teriakan itu membuat Herald menghentikan latihannya. Dia menoleh ke arah pelayan itu, sedikit bingung dengan reaksinya.
"Ada apa? Kenapa kamu berteriak begitu?" tanyanya, sambil berjalan mendekat.
Namun, tanpa dia sadari, dia masih menggenggam pedangnya—dan dari sudut pandang pelayan, itu terlihat seperti ancaman.
Pelayan itu langsung mundur dengan tubuh gemetar.
"T-tuan... bisakah Anda menurunkan pedang itu? Pedang itu terlihat... sedikit mengancam."
Herald mengerjap. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari situasi ini. Begitu dia melihat ke arah pedang yang masih berada di tangannya, dia langsung tertawa kecil, lalu dengan cepat menyarungkannya kembali.
"Ah, maaf! Aku tidak bermaksud menakutimu."
Setelah menyarungkan pedangnya, Herald segera menjelaskan situasi kepada pelayan yang masih terlihat sedikit waspada.
"Jadi, begitulah. Aku hanya mencoba mengusir rasa bosan dengan latihan pedang," kata Herald sambil menggaruk kepalanya.
Pelayan itu menghela napas lega dan mengangguk. "Ah, saya mengerti sekarang. Tapi... tolong jangan lakukan itu lagi, Tuan Herald. Jika orang lain melihat, Anda bisa saja dilaporkan."
Herald tertawa kecil, meskipun dalam hati dia mengakui bahwa apa yang dikatakan pelayan itu masuk akal. Berlatih pedang di depan kamar seorang bangsawan memang bukan ide yang cerdas.
"Terima kasih atas nasihatnya. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya dengan sedikit menyesal.
Pelayan itu tersenyum tipis, lalu melirik meja makanan yang dia bawa. Herald pun ikut memperhatikannya.
"Eh... makanan itu untuk Tuan Putri?" tanyanya.
"Iya, benar."
Herald terdiam sejenak, merasa ada sesuatu yang janggal. "Dia tidak makan bersama keluarga lainnya?"
Pelayan itu menghela napas sebelum menjawab, "Tidak, Tuan Putri sangat jarang makan bersama keluarga. Sebagian besar waktunya dia habiskan di dalam kamar, termasuk saat makan. Dia lebih suka sendirian."
"Oh... begitu ya," gumam Herald pelan.
Sekarang, dia mendapatkan satu fakta lagi tentang Clara: ternyata dia adalah seseorang yang tertutup. Jika dia bahkan tidak makan bersama keluarganya, maka kemungkinan besar dia juga sulit untuk diajak berbicara.
"Kalau begitu, saya permisi dulu," kata pelayan itu, lalu masuk ke dalam kamar Clara dengan meja makanan di tangannya. Kini, Herald kembali sendirian di luar.
[Eh... tunggu sebentar.]
Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di benaknya.
[Kalau dia hampir tidak pernah keluar dari kamar, lalu... apa gunanya aku berdiri di sini?]
Dia menatap pintu kamar Clara dengan ekspresi kosong.
[Kalau dia terus bersembunyi di dalam sana, berarti tugasku benar-benar sia-sia!]
Rasa frustrasi mulai menyelimutinya. Jika Clara terus-menerus mengurung diri, maka pekerjaannya hanya akan menjadi sekadar berdiri tanpa melakukan apa pun. Tidak ada ancaman, tidak ada tugas untuk mengantarnya ke mana pun—hanya diam di satu tempat, menunggu tanpa tujuan.
"Argh!!" Herald mengacak-acak rambutnya dengan kesal.
[Apakah ini yang disebut pekerjaan sebagai pengawal pribadi? Berdiri di lorong sepi tanpa melakukan apa-apa?]
Namun, setelah beberapa saat, dia hanya bisa menghela napas panjang.
[Apa boleh buat...]
Akhirnya, dia kembali ke posisinya, berdiri tegap di samping pintu, menatap lorong yang sama sunyinya seperti sebelumnya. Dengan wajah pasrah, dia bersandar sedikit ke dinding dan membiarkan pikirannya mengembara dalam kehampaan.
Hari ini baru dimulai, tetapi bagi Herald, rasanya seperti sudah berlangsung selamanya.