NovelToon NovelToon
Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Pacarku Ternyata Simpanan Pamanku

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Terlarang / Keluarga / Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rindu Firdaus

Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.

Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.

Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Pertama yang Menggetarkan

Hujan turun perlahan di luar jendela, menciptakan irama lembut yang menghantam kaca kamar hotel tempat Arga duduk sendirian. Setelah malam panas bersama Kalista beberapa hari lalu, pikirannya tak pernah tenang. Tubuhnya masih mengingat tiap lekuk kulit Kalista, tiap gerakan, tiap desahan. Tapi yang lebih menyesakkan, hatinya mulai menaruh rasa yang lebih dari sekadar hasrat.

Ponselnya kembali berbunyi.

Kalista: “Aku di apartemenku malam ini. Datanglah. Kali ini… aku ingin lebih dari sekadar pelarian.”

Arga membaca pesan itu berulang kali. Ada sesuatu dalam nada tulisannya... lembut, mengundang, dan nyaris... putus asa. Ia tak menunda. Malam itu, ia melajukan mobilnya menembus hujan menuju apartemen Kalista.

Kalista membuka pintu dengan senyum tipis. Ia hanya mengenakan kimono satin yang nyaris transparan, menampilkan bayangan tubuhnya dengan begitu menggoda. Rambutnya digerai, sedikit basah oleh udara lembap, dan aroma tubuhnya langsung memenuhi hidung Arga. Aroma manis yang kini telah terekam di memorinya.

Tanpa banyak kata, Kalista menggandeng tangannya masuk. Cahaya ruangan temaram, musik lembut mengalun, dan lilin-lilin kecil menyala di beberapa sudut. Semua terasa berbeda malam ini, lebih intim, lebih... dalam.

"Aku tidak ingin kita seperti kemarin-kemarin, Arga," ucap Kalista pelan sambil menatapnya. "Bukan hanya nafsu. Aku ingin... merasa dicintai malam ini."

Arga mendekat, menangkup wajah Kalista dengan kedua tangannya. “Aku mencintaimu,” bisiknya. “Sejak lama, mungkin sejak pertama kali kita bertemu. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya.”

Mata Kalista berkaca. Ia tak menjawab dengan kata, hanya menarik wajah Arga ke arahnya dan mencium bibirnya dengan penuh kelembutan. Kali ini, tak ada desakan, tak ada buru-buru. Ciuman itu dalam, pelan, dan emosional. Seolah mereka sedang menulis kisah cinta mereka dari awal.

Mereka berjalan perlahan ke arah ranjang, dan di sanalah malam yang sesungguhnya dimulai.

Kalista berbaring di atas seprai putih, tubuhnya hanya tertutup sebagian oleh kimono yang kini setengah terbuka. Arga menatapnya sejenak, mengukir setiap lekuk tubuh perempuan itu dalam ingatannya. Ia mencium pundaknya, lalu turun ke leher, menciptakan jalur basah penuh sensasi. Kalista mendesah pelan, menggigit bibirnya menahan gejolak yang mulai naik.

Tangan Arga menelusuri tubuh Kalista dengan sabar, membelai setiap inci kulitnya dengan kelembutan yang membuatnya menggeliat. Ia tidak terburu-buru. Malam ini bukan tentang pelampiasan. Malam ini tentang penyatuan. Tentang dua hati yang saling mencari tempat pulang, meski dalam kebohongan yang rumit.

Saat pakaian terakhir jatuh dari tubuh mereka, tak ada lagi yang membatasi. Mereka menyatu dengan perlahan, gerakan mereka seirama seperti hujan di luar sana. Arga menatap wajah Kalista dalam setiap gerakan, mencium dahinya, pipinya, lalu bibirnya berkali-kali. Kalista memeluknya erat, seolah tak ingin dunia lain ikut campur dalam malam milik mereka berdua.

Desahan Kalista mengisi udara, bergema pelan bersama irama tubuh mereka. Tak ada yang lebih menggetarkan bagi Arga selain melihat Kalista menyerahkan dirinya sepenuhnya, bukan hanya tubuh, tapi juga hati dan jiwanya.

Malam itu berlangsung lama. Mereka tidak berhenti hanya satu kali. Setiap kali mereka saling merengkuh, rasanya seperti ulang tahun perasaan yang terus mekar. Kalista menangis di pelukan Arga, dan Arga hanya bisa memeluknya lebih erat, memberikan kehangatan dalam keheningan.

Dan ketika mereka akhirnya terlelap, tubuh saling melilit di bawah selimut yang sama, Arga tahu ini bukan hanya malam pertama mereka secara fisik. Ini malam pertama dari cinta yang tak akan pernah bisa dia banggakan di depan siapa pun.

Namun di dalam sunyi, ia merasa benar.

Pagi menjelang dengan sinar matahari yang mengintip malu-malu dari sela tirai jendela apartemen Kalista. Arga terbangun lebih dulu, tubuh Kalista masih memeluk lengannya, napasnya teratur, wajahnya damai dalam tidur. Ia menatap gadis itu lama, terlalu lama, seperti mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi semalam bukan mimpi.

Perlahan ia menyentuh pipi Kalista, menyapukan ibu jarinya di sana. Kalista membuka matanya perlahan, tersenyum dengan lembut.

“Pagi,” ucapnya pelan.

“Pagi,” jawab Arga sambil mengecup keningnya. “Kamu tidur nyenyak?”

Kalista mengangguk. “Nyaman... karena kamu ada di sini.”

Mereka terdiam dalam keheningan yang nyaman. Namun seiring detik berdetak, kenyataan mulai menyusup kembali ke dalam pikiran Arga. Hubungan ini, selembut dan seindah apa pun, tetap saja salah. Ia tahu cepat atau lambat dunia luar akan menghancurkan momen ini.

Kalista seperti bisa membaca pikirannya. “Kamu menyesal?”

Arga menoleh, menatap matanya dalam-dalam. “Tidak. Tapi aku takut...”

“Takut pamanku tahu?”

Arga mengangguk.

Kalista menunduk, menarik selimut menutupi tubuhnya. “Arman tidak pernah mencintaiku. Dia hanya menganggapku sebagai mainan mahal yang bisa dibeli. Tapi kamu beda, Arga... Kamu membuatku merasa hidup.”

Arga mendekat dan memeluknya dari belakang. “Aku ingin kamu bahagia, Kal. Tapi aku juga tidak bisa membohongi siapa aku... dan siapa dia dalam hidupku.”

Kalista memejamkan mata. “Kalau memang harus berakhir, biarlah berakhir dengan malam yang indah seperti semalam. Tapi kalau kamu ingin melawan dunia untukku... Aku akan berdiri di sisimu.”

Kata-katanya menghujam seperti panah ke dada Arga. Haruskah ia benar-benar menantang pamannya? Haruskah ia mempertaruhkan nama keluarga demi seorang perempuan yang ia cintai dalam diam?

Hari berlalu cepat. Arga harus kembali ke rumahnya, sementara Kalista tinggal di apartemen. Namun pikirannya terus mengembara ke pelukan Kalista, ke bisikan lembutnya, ke tatapan matanya yang memohon. Ia tak bisa fokus bekerja, bahkan menatap wajah pamannya sendiri kini terasa menyesakkan.

Pamannya, Arman, sosok karismatik berumur 45 tahun yang masih gagah, tak pernah curiga sedikit pun. Arga dan Arman memang dekat sejak kecil. Arman tidak punya anak, dan menganggap Arga seperti darah daging sendiri. Justru karena itulah Arga merasa bersalah.

Pada suatu malam, Arga menghadiri jamuan makan keluarga di rumah Arman. Kalista ada di sana. Duduk di sisi Arman, tampak anggun dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Namun yang membuat Arga tercekat adalah pandangan Kalista padanya penuh gejolak yang ditutupi senyum palsu.

Arman menyadari itu. “Kamu suka Kalista, Ga?”

Arga tersedak air putihnya. “Maksud Om?”

“Dia cantik, ya? Laki-laki mana pun pasti tergoda. Tapi ingat, dia milik Om sekarang. Sudah Om rawat dan jaga baik-baik.”

Arga mengangguk kaku. Kata-kata itu seperti tamparan keras. Kalista hanya menunduk. Malam itu berubah menjadi neraka sunyi. Tak ada senyum yang tulus, hanya sandiwara demi sandiwara.

Beberapa hari kemudian, Arga kembali menemui Kalista. Mereka bertemu diam-diam di apartemen, namun suasananya kini berbeda. Tak ada gairah, hanya diam dan ketegangan yang menyesakkan.

“Kita sudah terlalu jauh,” kata Arga. “Tapi aku tak bisa mundur.”

Kalista menatapnya, matanya memerah. “Aku juga. Tapi kalau kita terus seperti ini, akan ada yang terluka.”

“Lalu kita harus bagaimana?”

Kalista menatap jendela, hujan kembali turun seperti malam mereka pertama kali bersama. “Kita jalani saja. Selama kita bisa menyembunyikannya, kita hidup. Kalau waktunya terbongkar, kita hadapi bersama.”

Arga menggenggam tangannya. “Aku akan berjuang untuk kamu, Kal. Aku akan mencari cara... asal kamu mau tetap bersamaku.”

Kalista tersenyum dengan air mata menetes. “Aku milikmu malam ini... dan malam-malam berikutnya, sampai dunia memisahkan kita.”

Mereka kembali bersatu malam itu. Kali ini dengan emosi yang jauh lebih dalam. Bukan hanya nafsu, tapi perjuangan. Pelukan mereka lebih erat, ciuman mereka lebih getir, dan ketika mereka menyatu, rasanya seperti melawan seluruh dunia.

Mereka tahu malam itu mungkin bukan yang terakhir, tapi bisa saja menjadi awal dari akhir yang menyakitkan.

Pagi ketiga sejak malam mereka bersama tiba, namun suasana hati Arga dan Kalista tak lagi sama. Ada bayangan ancaman yang terus menggantung di langit-langit kamar Kalista. Arga duduk di tepi ranjang, memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan dari Arman pamannya ingin bertemu malam ini di rumah, membicarakan hal penting. Rasanya seperti firasat buruk mengetuk dadanya.

Kalista muncul dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk, rambutnya masih basah. Tatapan mereka bertemu, dan Arga segera memalingkan muka.

“Om Arman hubungi kamu?” tanya Kalista pelan.

Arga mengangguk. “Malam ini. Katanya penting.”

Kalista duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Kalau dia tahu, kamu yakin bisa menghadapinya?”

“Aku nggak tahu... Tapi aku harus siap.”

Kalista menghela napas panjang. “Kamu bisa pura-pura, seperti aku selama ini.”

Arga menoleh. “Kamu nggak pernah bahagia, ya?”

Kalista tersenyum tipis. “Bahagia itu kamu. Tapi aku hidup dalam aturan, Arga. Aku harus terlihat sempurna di depan Arman. Aku harus tunduk. Aku harus menjaga rahasia, bahkan tentang diriku sendiri.”

Kalista berdiri dan membuka lemari. Ia mengenakan kemeja putih milik Arga dan berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi Arga tetap di tempat, pikirannya kacau. Hatinya terbelah antara kesetiaan pada pamannya yang membesarkannya, dan cinta yang mulai menjalar terlalu dalam untuk dihentikan.

Malam itu, Arga tiba di rumah pamannya. Rumah besar dua lantai bergaya kolonial itu tampak tenang dari luar, tapi jantung Arga berdegup tak beraturan. Arman menyambutnya dengan hangat seperti biasa, menyodorkan sebotol wine merah dan dua gelas.

“Duduk, Ga. Om cuma mau ngobrol.”

Mereka duduk di ruang tamu. Tak lama, Arman mulai bicara.

“Ada yang mau Om bicarakan soal Kalista.”

Arga menegang. “Kalista?”

“Iya. Om lihat kamu sering ketemu dia akhir-akhir ini. Kamu tahu siapa dia buat Om, kan?”

Arga mencoba tetap tenang. “Tahu, Om. Tapi kenapa Om bahas ini?”

Arman menyesap wine-nya, lalu menatap Arga serius. “Kalista itu bukan cuma simpanan. Dia... Om pertimbangkan buat jadi istri nanti. Karena Om nggak punya pewaris, dan dia cocok buat dampingi Om.”

Arga nyaris tak bisa bernapas. “Istri?”

“Iya. Tapi akhir-akhir ini dia berubah. Dingin. Seperti menjauh. Kamu tahu kenapa?”

Arga menelan ludah. “Mungkin... dia butuh waktu.”

Arman memicingkan mata. “Kamu nggak ada hubungan sama dia, kan?”

Arga mencoba menyembunyikan getar suaranya. “Nggak, Om.”

Arman menghela napas panjang, kemudian berdiri. “Om harap kamu jujur, Ga. Karena kalau sampai ada yang main belakang, Om bisa sangat marah.”

Arga hanya bisa mengangguk pelan. Dalam dadanya, gemuruh rasa bersalah dan ketakutan bergemuruh lebih hebat dari badai.

Setelah pertemuan itu, Arga tak langsung kembali ke apartemen Kalista. Ia butuh waktu sendiri. Ia berjalan menyusuri taman kota, menatap bintang di atas langit Jakarta yang mulai tenggelam dalam kabut polusi dan cahaya lampu kota.

Kalista menghubunginya berkali-kali, tapi tak ia jawab.

Di saat itulah Arga menyadari ia sedang berdiri di persimpangan paling besar dalam hidupnya. Menyerah pada tekanan, atau melawan demi cinta yang terlarang.

Beberapa hari berlalu, dan Arga akhirnya kembali ke apartemen Kalista. Gadis itu menyambutnya dengan pelukan yang lama dan erat.

“Kamu kenapa nggak hubungi aku?” tanya Kalista, suaranya sedikit bergetar.

Arga menatap matanya, lalu mencium keningnya. “Aku bingung... Tapi sekarang aku yakin. Aku mau kamu. Aku nggak peduli siapa Arman. Aku rela jadi pengkhianat kalau itu artinya aku bisa bahagiain kamu.”

Air mata Kalista mengalir. Ia memeluk Arga erat.

“Aku cinta kamu, Arga. Sejak pertama kali kita bertemu.”

Mereka kembali menyatu malam itu. Bukan karena nafsu, tapi karena keputusan. Karena mereka tahu, malam itu adalah awal dari perjuangan panjang yang tak lagi bisa ditarik mundur.

Ketika fajar menyingsing, Kalista membisikkan satu kalimat di telinga Arga.

“Kita sudah memulai ini, Ga. Sekarang kita harus siap menerima akibatnya.”

Dan Arga menjawab dengan satu kecupan lembut di bibirnya. “Aku siap. Untuk kamu, Kal... aku akan melawan dunia.”

1
Usmi Usmi
pusing baca nya SDH kabur tapi kumpul lg
Rindu Firdaus: Halo kak, makasih ya udah mampir dan baca karyaku /Smile/ oh iya kk nya pusing ya? sama kak aku juga pusing kenapa ya bisa kumpul lagi, biar ga pusing... yuk baca sampai habis /Chuckle/
total 1 replies
Usmi Usmi
seharusnya td Arga jujur aja
Usmi Usmi
kayak nya cinta jajaran genjang ya Thor 😂
Rindu Firdaus
Buat yang suka drama panas dan cinta terlarang, ini wajib dibaca. Ceritanya greget dari awal sampai akhir!
iza
Sudah nunggu dari kemarin-kemarin, ayo dong thor.
Kiritsugu Emiya
Habis baca cerita ini, aku merasa jadi karakter di dalamnya. Luar biasa, thor!
Dadi Bismarck
Jangan nggak baca, sayang banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!