Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Gemuruh di Dalam Badai
London masih bergelayut dengan awan kelabu. Hujan yang tak henti-hentinya sejak semalam seolah mencerminkan kegelisahan yang kini menetap di dada Aaron. Ia berdiri di dekat jendela kantornya, memandang lalu lintas kota yang padat di bawahnya, namun pikirannya melayang jauh. Pesan dari Susan, tentang Claire yang lesu dan menolak makan, terus berputar-putar di benaknya. Aaron mendengus, mencoba mengenyahkan kekhawatiran yang tak beralasan itu. Itu hanya Susan yang terlalu berlebihan. Claire bukan anak kecil yang harus terus-menerus dilaporkan.
Namun, kata-kata Walter Davies semalam terus terngiang. "Hormat... tanggung jawab... pengertian... kedamaian." Sebuah gambaran hubungan yang berbeda, jauh dari gairah yang seringkali berakhir kehancuran, jauh dari ikatan "cinta" yang ia tahu telah menghancurkan Benjamin. Jika pernikahan bisa sekadar didasari hormat, mengapa ia tidak bisa menerapkannya pada Claire? Mengapa ia harus bersikap kejam?
Aaron meraih ponselnya, mencari kontak Samuel. Ia tidak berniat menelepon Claire secara langsung—gengsinya terlalu tinggi untuk itu—tapi ia perlu memastikan. Kebetulan Samuel juga baru saja kembali ke Boston kemarin.
"Sam," suara Aaron terdengar datar, berusaha menyembunyikan nada khawatir yang samar. "Bagaimana kabar wanita itu? Susan melaporkan dia kurang nafsu makan."
Di ujung telepon, Samuel terdengar sedikit ragu. "Oh, itu... Nyonya memang agak murung, Tuan. Susan sudah mencoba membujuknya makan, tapi dia hanya... dia hanya menolak. Cukup mengkhawatirkan." Samuel berdeham. "Tapi... ada yang lain, Direktur. Tadi siang, Nyonya sempat..." Nadanya begitu ragu.
Aaron merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaan tak enak merayap. "Apa? Katakan dengan jelas, Sam! Jangan bertele-tele!" Nada suaranya kini lebih tajam, kehilangan ketenangan yang dibuat-buat.
"Tadi siang, saat saya baru saja tiba di penthouse untuk memastikan keadaan disana, Susan melaporkan bahwa Nyonya baru saja jatuh di dapur, Direktur." Samuel akhirnya berucap, suaranya sedikit gemetar.
Kata 'jatuh' menghantam Aaron seperti pukulan. Jatuh? Di dapur? Dengan kondisi hamil? Semua rasionalisasi Aaron tentang "Claire yang merepotkan" mendadak hancur berkeping-keping. Bayangan Claire tergeletak di lantai, sendirian, pucat... menggantikan citra air mata yang selama ini ia sangkal.
"Apa?!" Aaron hampir berteriak. Semua formalitas lenyap. "Pingsan? Bagaimana keadaannya sekarang? Sudah panggil David?" Suaranya nyaris bergetar, menunjukkan kepanikan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Ia bisa mendengar napas Samuel terkesiap di ujung telepon.
"Sudah, Direktur, sudah!" Samuel buru-buru menjawab, terkejut dengan reaksi atasannya. "Dokter David bilang tidak ada yang serius, hanya kelelahan dan mungkin sedikit dehidrasi. Tapi Nyonya masih sangat lemah dan... dia terus memanggil nama Anda."
Kata-kata terakhir Samuel menusuk Aaron. Memanggil namaku?
Sebuah dorongan aneh melingkupi dirinya, dorongan untuk segera pulang, memastikan wanita itu baik-baik saja. Perasaan hangat yang sempat ia rasakan malam itu kembali menjalar, lebih kuat, lebih nyata. Itu bukan ketakutan, bukan gelisah karena masalah bisnis, melainkan... kekhawatiran. Kekhawatiran murni yang selama ini ia sangkal.
"Batalkan semua jadwalku di sini, Sam! Sekarang juga! Batalkan rapat, batalkan kontrak, batalkan semuanya!" Aaron menggeram, suaranya dipenuhi amarah yang ia arahkan pada dirinya sendiri. "Pesan tiket pesawat tercepat ke Boston! First class, apa pun yang tersedia! Aku harus pulang! Sekarang juga!"
"Tapi, Direktur, rapat sore ini dengan Tuan Walter Davies dan investasi besar kita..." Samuel mencoba mengingatkan, masih terkejut dengan ledakan emosi Aaron.
"Tidak peduli! Aku tidak peduli dengan rapat sialan itu! Batalkan saja!" Aaron tidak memberi kesempatan Samuel untuk membantah lagi. "Aku akan menghubunginya sendiri. Urus tiketku. Telepon balik padaku dengan detail keberangkatan dalam lima menit." Ia mengakhiri panggilan dengan kasar, lalu bergegas meraih jasnya.
Napas Aaron memburu. Kota London yang kelabu di luar jendela kini terasa seperti sangkar yang menyesakkan. Rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Kelelahan? Kurang nutrisi? Ini semua salahku!
Ia telah mengusirnya, membentaknya, membuatnya merasa tidak diinginkan. Ia telah pergi dan meninggalkan Claire sendirian, dalam kondisi rentan. Rasa dingin yang selama ini melindunginya dari emosi kini terasa seperti pisau yang menusuk, mengoyak dinding pertahanannya.
Aaron meraih ponselnya lagi, mencari kontak Walter Davies. Ia harus menjelaskan pembatalan mendadak ini.
"Walter," kata Aaron, suaranya masih tegang. "Maaf aku harus membatalkan rapat mendadak. Ada keadaan darurat keluarga."
Di ujung telepon, Walter Davies terdengar pengertian. "Ah, Tuan Silvan. Aku mengerti. Tentu, keluarga lebih penting. Aku harap semuanya baik-baik saja."
"Terima kasih atas pengertianmu," ucap Aaron, sedikit lega dengan respons Walter. "Aku akan segera menghubungimu setelah semuanya terkendali."
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Aaron. Dan ingat perkataanku semalam. Terkadang, rasa hormat itu lebih kuat daripada yang lain." Walter menutup telepon.
Aaron terdiam. Kata-kata Walter bergema. Rasa hormat. Ya, tapi kini, ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar hormat. Ini bukan lagi tentang tanggung jawab pada bayinya, atau menjaga status. Ini tentang Claire. Wanita rapuh yang selalu menangis di dekatnya, yang mencoba meraihnya, yang memohon untuk ikut. Wanita yang ia dorong pergi, yang kini menderita karena sikapnya.
Aaron melangkah cepat keluar dari kantor, menyambar kunci mobil dari meja. Pikirannya kalut. Ia harus segera sampai di bandara. Ia harus memastikan Claire baik-baik saja.
Saat mobilnya melaju membelah jalanan London yang basah, Aaron melirik ke langit. Hujan masih turun, namun kali ini, ia tidak merasakan kemurungan. Sebaliknya, ada gemuruh di dalam dadanya—gemuruh kepanikan, penyesalan, dan sesuatu yang jauh lebih dalam, sesuatu yang baru dan menakutkan, yang perlahan mulai ia akui sebagai perasaan. Sebuah perasaan yang selama ini mati-matian ia tolak.
Kumohon… tunggu aku. Kata-kata itu berulang dalam benaknya, menjadi mantra yang mendorongnya melaju menembus hujan, menuju satu-satunya tempat yang kini terasa paling penting.