“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Aditya membuka pintu rumah perlahan. Ia baru pulang lebih awal karena jadwal penerbangannya dipercepat.
Aroma khas ayam bakar yang biasa menyambutnya… tidak ada.
Ia melangkah ke dalam, menemukan Risa tertidur di meja kerja, dengan layar laptop masih menyala.
Ia mendekat, lalu melihat notifikasi pemesanan ayam bakar yang belum direspons. Perlahan ia membangunkannya.
“Ris…”
Risa mengerjap, menatap Aditya dengan mata lelah.
“Kamu nggak masak ayam bakar hari ini?” tanya Aditya.
“Nggak… aku juga batal kerja sama dengan rumah sakit,” jawab Risa lirih.
Aditya mengernyit. “Kenapa dibatalin?”
“Karena Mas Adit bilang ‘terserah kamu, Ris.’” Risa menirukan pesannya dengan nada datar, seolah mengulang luka yang baru saja sembuh.
Aditya memutar mata. “Maksud aku, ya kamu boleh ambil kesempatan itu, Ris. Kenapa semua wanita selalu bacanya pakai nada?”
Risa menatapnya lama. “Karena kata-kata tanpa nada itu tajam, Mas. Dan aku terlalu sering harus menebak maknanya sendirian.”
Aditya tak langsung membalas. Ia hanya menatap Risa… dan entah mengapa, hatinya terasa bergetar.
Mungkin, baru kali ini ia menyadari bahwa ketidakpeduliannya perlahan membentuk dinding di antara mereka.
Aditya menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang Risa.
“Kalau kamu masih mau, kamu boleh kerja sama dengan rumah sakit itu, Ris.”
Risa menoleh cepat, matanya membulat tak percaya.
“Serius, Mas?”
Aditya mengangguk. “Iya. Aku pikir kamu butuh ruang untuk berkembang… dan kamu hebat dalam hal itu. Ayam bakar mu, semangatmu, semuanya.”
Risa nyaris tak bisa berkata-kata. Ini adalah kali pertama Aditya benar-benar memberi dukungan tanpa ragu, tanpa nada datar, tanpa setengah hati.
“Terima kasih, Mas…” ucap Risa pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
Aditya tersenyum tipis. “Dan kalau kamu butuh bantuan untuk persiapan, bilang aja. Aku bisa bantu sebelum terbang lagi.”
Pagi itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Risa merasa ada secercah harapan.
Mungkin hubungan ini belum sepenuhnya hangat, tapi setidaknya… sudah mulai mencair.
Begitu masuk ke kamar, Risa langsung meraih ponselnya dan menghubungi kembali pihak rumah sakit.
Suaranya penuh antusias, berbeda jauh dari nada ragu sebelumnya.
“Halo, saya Risa. Tentang tawaran kerja sama kemarin… saya bersedia.”
Di seberang sana terdengar nada senang. Risa diberi jadwal untuk pertemuan persiapan esok sore.
Siang harinya Aditya yang sudah berganti pakaian kasual, mengambil kunci mobil dan menghampiri Risa yang sedang membuat daftar belanja.
“Ayo, kita belanja. Biar besok kamu tinggal fokus presentasi.”
Risa menoleh, ragu. “Mas Adit yakin mau ikut?”
“Kalau aku nggak yakin, aku nggak akan ngomong dari tadi.”
Di dalam mobil, meski masih belum banyak obrolan hangat, suasananya tak lagi setegang dulu.
Mereka pergi ke swalayan, memilih bahan masakan dan perlengkapan kedai kecil.
Beberapa kali tangan mereka bersentuhan saat mengambil barang yang sama dan tak lagi langsung menjauh.
Aditya bahkan sempat tertawa kecil melihat Risa sibuk menghitung harga sambil mencatat di ponselnya.
Siang itu bukan hanya tentang belanja. Tapi tentang dua hati yang mulai belajar untuk saling mengisi… perlahan, tapi nyata.
Keranjang belanja mereka sudah setengah penuh ketika Aditya mulai menunjukkan tanda-tanda bingung.
“Ris, kamu yakin butuh lima jenis kecap sekaligus?” tanyanya sambil memandangi botol-botol kecap manis, asin, pedas, cair, dan kental.
Risa menahan tawa. “Iya, beda merek beda rasa. Pelanggan tuh bisa sensitif soal rasa, Mas.”
Aditya menggaruk kepala. “Aku pikir kecap ya kecap aja…”
Beberapa langkah kemudian, mereka sampai di bagian sayuran.
Risa dengan sigap memilih daun bawang, seledri, kol, dan beberapa ikat serai.
Aditya berdiri di belakang troli, matanya menatap daftar belanja seperti sedang membaca kode penerbangan yang hilang dari radar.
“Apa bedanya daun salam dan daun jeruk? Yang mana yang bikin ayam jadi enak?”
Risa tersenyum, menghampirinya sambil mengambil kedua daun tersebut.
“Ini buat aroma dasar, yang ini bikin rasanya lebih tajam. Tenang, nanti kamu hafal kok.”
Aditya mengangguk pelan, walau wajahnya tetap bingung. Tapi yang berbeda malam ini: ia mencoba.
Bahkan saat Risa minta tolong pilihkan cabai merah besar, Aditya benar-benar membandingkan satu per satu, membuat Risa geli sendiri.
“Mas Adit kayak bapak-bapak yang baru pertama kali belanja,” celetuk Risa.
“Yah, siapa tahu ini awal karier baru,” jawab Aditya sambil tersenyum tipis.
Dan senyuman itu meski singkat tapi cukup untuk membuat hati Risa menghangat.
Saat Risa masih memilih jenis tepung bumbu, tiba-tiba terdengar suara pelan namun jelas dari sampingnya:
"Krucukkk..."
Risa menoleh cepat ke arah Aditya yang berdiri sambil memegangi perutnya.
“Lapar ya, Mas?” tanya Risa sambil menahan senyum.
Aditya pura-pura cuek. “Enggak juga… cuma... ya krucuknya nggak bisa diajak kompromi.”
Risa tertawa kecil. “Kita mampir makan ya, sebelum pulang.”
Aditya mengangguk cepat, ekspresinya seperti anak kecil yang baru diizinkan jajan.
“Janji nggak lama ya. Aku bantu angkut barang abis itu.”
Setelah selesai belanja, mereka mampir ke kedai mie ayam langganan Risa yang sederhana tapi terkenal enak.
Di sana, Risa memesan mie ayam bakso, dan Aditya yang awalnya mau makan ringan akhirnya ikut memesan porsi jumbo karena “bau kaldunya menggoda banget.”
“Aku baru tahu lapar bareng kamu bisa seru juga,” ujar Aditya sambil menyeruput kuah.
Risa menatapnya sebentar, tersenyum. “Mungkin karena Mas baru mulai membuka hati... atau perut?”
Mereka tertawa bersama. Tidak lepas, tidak penuh kepura-puraan. Hanya... sederhana dan hangat.
Setelah elah menyantap mie ayam, Risa masih belum puas.
“Aku mau bungkus tahu campur sama es buah. Di sini enak banget, Mas.”
Aditya mengerutkan dahi. “Tahu campur dan es buah? Kamu suka?”
Risa mengangguk sambil tersenyum. “Iya, ini favorit aku… dan Kirana.”
Aditya terdiam sejenak. Matanya menatap gerobak tahu campur yang berasap di sudut jalan.
Kenangan tentang Kirana seketika muncul, senyumnya saat menyuapkan tahu campur, tawa ringannya saat menyuruh Aditya mencicipi kuah kental yang khas itu.
“Aku baru ingat… Kirana juga suka banget tahu campur dan es buah.”
Risa ikut diam. Tapi kemudian, dengan lembut ia berkata, “Mungkin itu sebabnya aku juga suka. Banyak hal yang kami lakukan bersama dulu, termasuk soal selera makan.”
Aditya menatap Risa dengan sorot yang berbeda kali ini.
Ada luka lama yang mengendap di balik senyum mereka berdua.
Tapi malam ini, tahu campur dan es buah menyatukan kenangan mereka, tanpa saling menyakiti.
“Aku jadi pengin coba es buahnya. Boleh icip?” tanya Aditya.
Risa mengulurkan sendok dengan hati-hati. “Hati-hati, dingin. Tapi segar.”
Aditya mencicipinya, lalu mengangguk pelan. “Nggak heran Kirana suka. Kamu juga.”
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, mereka mengenang seseorang yang sama… dengan tenang
Setelah pulang dari pasar, Risa sedang menyiapkan bahan untuk keperluan kedainya, terdengar suara aneh dari kamar.
“Aduh… aduh…”
Risa segera menghampiri. Di sana, Aditya duduk di tepi ranjang, memegangi pipinya dengan ekspresi kesakitan.
“Mas kenapa?” tanya Risa panik.
“Gigi… gigiku, Ris. Sakit banget. Dari tadi ngilu banget tapi aku tahan... Sekarang makin parah.”
Risa menahan tawa meski khawatir. “Mas pilot tangguh bisa kalah sama gigi bolong?”
“Ini lebih menyiksa dari turbulensi,” keluh Aditya sambil meringis.
Tanpa banyak bicara, Risa segera mengambil minyak cengkeh, kapas, dan air hangat.
“Sini, aku bantu. Kita kompres dulu, nanti kalau nggak membaik, kita ke dokter gigi.”
Aditya menurut tanpa banyak protes. Saat Risa memegang pipinya dengan lembut, ia sempat berbisik pelan,
“Kamu kayak perawat ya…”
“Bukan, aku istri kamu. Walau cuma setengah hati, tetap ada kewajiban merawat.”
Aditya menatapnya, antara terharu dan malu.
“Makasih, Ris…”
Risa hanya tersenyum kecil. “Nggak usah lebay. Sakit gigi doang.”
Namun dalam hatinya, ada hangat yang diam-diam menyelinap.
Mungkin, sedikit demi sedikit… hatinya sedang menyembuhkan luka mereka berdua.
Aditya merintih kesakitan dan Risa langsung mengajak suaminya ke klinik.
Mereka duduk di ruang tunggu klinik dengan pipi sebelah kanan yang masih sedikit bengkak.
Risa duduk di sebelahnya, gelisah. Bukan karena suaminya, tapi karena... suara bor dari dalam ruangan praktek.
“Kamu yang sakit, kok aku yang deg-degan?” gumam Risa sambil memeluk tasnya.
Aditya melirik, senyum miring. “Kamu takut ya?”
“Sedikit… atau banyak,” jawab Risa jujur.
Tak lama, nama Aditya dipanggil. Ia berdiri dan menarik tangan Risa, “Temenin aku, ya.”
Saat perawatan berlangsung, Aditya sesekali meringis, tapi ia tetap tenang.
Justru Risa yang di kursi sebelah tampak lebih tegang. Tangannya bahkan mencengkeram ujung bajunya sendiri.
Setelah selesai menambal giginya, dokter tersenyum ke arah Risa.
“Ibu juga harus kontrol. Gigi geraham bagian kiri bawah tampak ada lubang kecil.”
Risa langsung panik, “Hah? Nggak, Dok… Nggak sekarang. Saya baik-baik saja.”
Tapi Aditya tidak membiarkan kesempatan itu lewat.
“Kontrol sekarang aja. Sekalian. Nanti sakit, nyesel lho,"
Risa mengerucutkan bibir, “Tapi aku takut suara bor…”
Aditya menatapnya penuh keyakinan, “Kalau kamu berani menikah, harusnya kamu berani nambal gigi.”
Akhirnya, setelah banyak bujukan, Risa duduk di kursi pasien. Tangannya mencengkeram tangan Aditya selama proses penambalan singkat.
Selesai, wajahnya masih tegang, tapi Aditya menggoda, “Kamu hebat. Tadi cuma hampir pingsan lima kali.”
Risa memukul pelan lengan Aditya. “Jahat.”
Aditya tertawa. “Nggak jahat. Cuma pengin kamu sehat terus.”
Dan untuk pertama kalinya, rasa sakit menjadi alasan untuk lebih dekat.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending