Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 - Hari Terakhir
Hari ini adalah hari terakhir Jenar berada di Pangandaran. Begitu juga dengan Gena. Secara kebetulan, mereka memang memiliki batas waktu hanya sampai hari ini saja berlibur di sini. Dan itu membuat perasaan Jenar tak tenang dari semalam.
Sejujurnya, sejak peristiwa berciuman kemarin malam, perasaan Jenar tidak tenang. Teringat kembali olehnya momen itu—
Jenar sontak memejamkan mata kala bibir lembab itu mendarat di bibirnya. Rasanya jantung Jenar terasa hendak copot dari sarangnya. Harusnya ia marah. Marah karena lelaki asing itu begitu berani menjamah benda kenyal miliknya. Namun, alih-alih marah, yang Jenar lakukan justru membalas ciuman itu.
Sebuah lumatan akhirnya terjadi saat Jenar memberi akses pada Gena. Mereka saling melumat dengan lembut, mencari-cari rasa penasaran yang semakin membuat mereka ingin memperdalam ciuman. Jenar cengkram baju Gena, dan Gena refleks melingkarkan tangan di pinggang ramping perempuan itu.
Nyaris satu menit kegiatan itu terjadi, sampai akhirnya pagutan itu terlepas saat mendengar suara pemilik penginapan yang terdengar nyaring mengusir anjing di teras. Detik itu juga bibir mereka terlepas.
Hawa panas menyelimuti dada keduanya, hingga sensasi tersebut naik merangkak ke pipi, menciptakan rona merah yang menjalar sampai telinga. Perut mereka serasa diterbangi ribuan kupu-kupu. Keduanya saling membuang muka untuk menutupi kecanggungan yang mendera mereka.
“Ma—maaf,” kata Gena mencicit. Suaranya amat pelan. Terdengar gelisah campur malu.
Rasanya akan sangat egois jika menyalahkan Gena seorang. Jenar juga membalas ciuman itu. Artinya, perbuatan itu mereka lakukan atas dasar suka sama suka. Tidak ada yang terpaksa dan dipaksa di sini.
Maka Jenar mengembuskan napas panjang. Ia menjawab, “gapapa. Anggap aja nggak terjadi apa-apa di antara kita. Jadi, bisa kita lupain momen ini?”
Untuk sesaat perkataan Jenar mampu membuat tubuh Gena membeku. Lelaki itu menatap Jenar dengan iris mengilat, dan sedetik kemudian kilatnya meredup. Tanpa Jenar sadari, lubuk hati Gena terluka. Tidak terima Jenar menyuruhnya melupakan momen itu begitu saja. Setidak penting itukah ia bagi Jenar? Kenyataannya, mereka memang baru kenal hitungan hari. Akan tetapi, dalam hitungan hari itu banyak kenangan yang telah mereka ciptakan bersama. Bohong kalau Gena tidak merasakan sakit saat Jenar menyuruhnya mengabaikan apa yang baru saja mereka lakukan.
“Iya. Aku bakal lupain kejadian ini,” jawab Gena pada akhirnya. Tak ingin memperlihatkan wajah tidak tenangnya.
Dan pada akhirnya, malam itu Gena kembali ke kamarnya. Hanya sebatas itu. Ciuman yang tidak berarti apa-apa...
Jenar menggeleng samar untuk mengusir ingatan itu. Jujur saja, semalam ia tidak tidur dengan nyenyak karena sibuk memikirkan Gena. Dan pagi ini ia bangun lebih cepat karena ingin sarapan di restoran hotel.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba, Jenar kembali dipertemukan dengan Gena yang ternyata sudah duluan berada di restoran itu. Mereka menoleh bersama di satu waktu. Keduanya tidak saling menyapa, hanya saling tatap satu sama lain dengan ekspresi canggung.
Sampai pada akhirnya Jenar menggerakkan kakinya untuk menghampiri cowok itu.
“Hai,” sapanya.
Gena berdeham, kembali menyeruput kopi hangatnya. “Hai juga.”
Jenar mencoba mencari topik pembicaraan agar tidak kelihatan nervous. “Semalam kamu nyenyak nggak tidurnya?”
Gena melirik sebentar, kemudian melahap pancake pesanannya. “Lumayan. Kamu gimana?”
“Sama. Aku juga nyenyak,” bohong Jenar.
Sungguh percakapan klise yang bertajuk sekedar basa-basi. Padahal, mereka harusnya membahas tentang ciuman semalam lebih dalam lagi.
“Hari ini hari terakhir aku di sini,” kata Jenar tiba-tiba.
Gena yang sudah tahu dari kemarin pun mengangguk. “Ya, aku tau.”
“Ah, nggak kerasa kita mesti pisah, ya? Padahal seru banget liburan aku karena ada kamu.”
Gena hanya merespon dengan senyuman. “Perasaan kamu udah baikan? Kamu udah berhasil move on-nya?”
Mendengar pertanyaan itu membuat Jenar terkekeh. “Lumayan. Aku menikmati waktu liburanku di sini dengan baik. Semua karena kamu juga.”
“Aku ikut senang dengarnya.”
Hening mengambil alih suasana. Gena baru sadar jika ia harus pergi surfing setelah ini. Oleh karena itu, Gena pun berdiri dari dudukannya saat kopi dan sarapannya sudah habis. Ia pamit, “Je, aku pamit duluan ya? Aku nggak bisa temenin kamu pagi ini karena mau surfing.”
“Ah, nggak apa-apa. Aku udah bisa sendiri, kok. Paling nanti aku juga mau cari oleh-oleh. Kamu hati-hati, ya, perginya.”
Gena tersenyum. Sempat-sempatnya ia usap kepala Jenar seraya berkata, “kamu juga. Kalau gitu aku pergi dulu. Dah!”
Dan setelah itu Gena pun pergi dari restoran itu. Jenar mengamati punggungnya yang mengecil ditelan jarak. Sesaat setelah lelaki itu keluar dari pintu restoran, perasaan Jenar mendadak terobrak-abrik. Hatinya merasakan sedih tanpa sebab ....
***
Berbeda dengan Gena yang sibuk surfing, Jenar memang berencana akan melihat-lihat souvenir hari ini. Hanya hari ini yang ia punya untuk membeli oleh-oleh. Karena besok pagi ia harus pulang ke rumahnya. Tadi, sehabis sarapan, ia sempat pulang ke kamarnya sebentar karena malas jalan terlalu pagi. Alhasil Jenar menghabiskan waktunya dengan memesan pelayanan spa.
Tiga jam kemudian, saat tubuhnya sudah merasa relaks, barulah Jenar berniat mencari souvenir. Baru saja membuka pintu penginapan, sosok Gena muncul saat lelaki itu baru saja ingin mengetuk pintu.
Sontak tubuh mereka berdua menegang karena kaget. Sampai akhirnya Jenar yang membuka suara duluan. “Eh, Gena? Udah selesai surfingnya?”
Suatu pertanyaan bodoh karena sebenarnya dengan kehadiran Gena di sini Jenar sudah tahu jawabannya.
“Udah. Barusan aku udah selesai. Aku ingat kamu mau cari souvenir hari ini.”
“O—oh,” angguk Jenar seraya melempar senyum kikuk. “Iya, ini mau pergi.”
“Kebetulan banget, ya? Andai aku telat semenit, bisa aja kita nggak ketemu,” sahut Gena.
Jenar hanya merespon dengan senyuman kikuk.
“Mau aku temani? Kebetulan aku juga mau cari souvenir.”
“Boleh,” angguk Jenar, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama.
***
Mereka akhirnya sampai di pusat souvenir, berlokasi tidak jauh dari pantai. Aneka toko berjejer memenuhi pandangan. Di antaranya ada yang menjual baju pantai, topi, mainan kunci, sampai kalung dan gelang pun tersedia di sana.
Jenar merasa tertarik melihat-lihat barang itu. Ia pun menarik tangan Gena supaya mempercepat langkahnya. Dan setibanya di salah satu kedai, Jenar langsung menyibak baju pantai untuk laki-laki dan perempuan. Ia berniat membelikan Leknor dan juga Hana, sahabatnya.
Gena yang melihat itu tentu bingung. Ia bertanya, “baju cowok itu buat siapa?”
“Buat kakakku,” jawab Jenar.
Gena tanpa sadar tersenyum lega. “Oh, kirain....”
Jenar tidak mendengar celetukan Gena. Ia sibuk memilih oleh-oleh yang akan diborongnya untuk dibawa pulang. Gena hanya mengamati Jenar. Sangat betah ia berlama-lama menatap gadis yang tengah pusing itu. Gena tertawa kecil. Tawa yang hanya didengar olehnya saja.
Dia sangat heboh dan ceria, batin Gena.
Jenar benar-benar tidak bisa diganggu. Gena yang bosan menunggu pun memutuskan untuk melihat-lihat ke kedai lain. Ia pamit pada Jenar, lantas berjalan ke kedai yang memuat aneka aksesoris.
Terdapat banyak gelang dan kalung cantik. Melihat kalung itu membuat Gena teringat pada Jenar. Terbesit keinginannya membelikan Jenar kalung. Ah, pasti cantik Jenar jika memakai kalung indah ini. Alhasil, Gena menghampiri sang pembeli dan menanyakan harga kalung itu.
“Kalau yang ini sembilan ratus lima puluh ribu, Mas. Mahal karena liontinnya yang berbentuk estetik. Rantainya juga nggak akan menghitam kalau dibawa mandi. Ini dijamin tahan. Cocok banget buat dikasih ke istrinya,” ujar perempuan penjual aksesoris itu.
Mendengar kata ‘istri’ membuat pipi Gena memerah. Mau menyanggah, bibirnya terlalu malas mengeluarkan suara. Lagi pula percuma ia jelaskan. Orang itu tidak mengenalnya, bukan?
“Kalau gitu saya ambil ini, ya,” putus Gena.
Si penjual kemudian mengemas kalung tersebut ke dalam kotak beludru. Gena tak henti tersenyum. Setidaknya, di hari terakhir pertemuan mereka, ia ingin memberikan Jenar sesuatu yang tidak akan dilupakan oleh gadis itu.
Sehabis membeli kalung, Gena juga pergi membeli beberapa souvenir untuk kakaknya. Setelah itu barulah ia kembali ke Jenar yang ternyata kelimpungan mencarinya.
“Maaf lama, ya. Aku juga cari beberapa souvenir untuk Kakakku tadi,” kata Gena.
Jenar mengangguk. Ia memperlihatkan beberapa paper bag kepada Gena. “Tada! Aku dapat banyak!” pamernya.
Gena melirik paper bagnya yang tidak kalah banyak dengan Jenar. Karena selain membelikan untuk kakak, ia juga membelikan karyawan di kedai kopinya.
“Aku juga dapat banyak,” kata Gena pantang kalah.
“Ah, oleh-oleh berupa makanan belum,” seru Jenar.
Maka gena pun menyerahkan tangannya untuk digandeng Jenar. Mereka pergi menuju kedai oleh-oleh makanan khas yang juga berada tak jauh dari sana.
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇