"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
...****************...
Arsen dengan cekatan mengeluarkan perlengkapan dari dalam tasnya, membuatkan susu formula untuk Nathan. Tangannya bergerak lincah, menuang bubuk susu ke dalam botol, menambahkan air hangat, lalu mengocoknya pelan.
Tapi detik berikutnya, dia mendadak berhenti. Matanya tertuju pada sekotak ayam goreng di meja.
“Kau makan itu?” tanyanya dengan nada sedikit menghakimi.
Aku melirik ayam goreng yang tinggal beberapa potong di piring, lalu menatap Arsen dengan santai.
“Iya. Memang kenapa?” tanyaku cuek.
Arsen menghela napas, ekspresinya kayak baru lihat bencana besar.
“Gimana kalau itu berpengaruh ke anakku?” balasnya serius.
Aku langsung mendengus malas.
“Anakmu nggak minum asiku, inget? Dan aku juga nggak punya ASI. Jangan konyol,” ujarku sambil nyomot sepotong ayam lagi.
Arsen sempat buka mulut kayak mau protes, tapi terus diem. Mungkin baru sadar kalau omongannya nggak masuk akal. Aku mendecak pelan sebelum balik fokus ke Nathan yang masih nyaman di gendonganku.
“Jadi, berhenti bertingkah seolah aku ini ibu menyusui,” tambahkan sambil menghela napas.
Arsen mendengus kecil sebelum akhirnya buka suara lagi. “Aku juga nggak berselera dengan milikmu,” cetusnya santai.
Aku langsung mengangkat bahu.
“Baguslah kalau gitu. Jadi aku nggak perlu takut bakal digerayangi duda-duda,” balasku enteng.
Arsen menatapku tajam, tapi aku pura-pura nggak lihat. Aku malah makin fokus ke Nathan yang udah tenang di pelukanku, menikmati susunya lewat dot dengan nyaman.
Setelah beberapa detik, Arsen akhirnya alihin pandangannya juga, matanya melunak pas lihat anaknya.
Aku menghela napas, mulai ngerapihin baju tidurku biar semuanya kembali tertutup dengan benar. Sial. Aku nggak pernah nyangka hidupku yang tadinya normal bisa berubah secepat ini.
...****************...
Hening.
Aku baru sadar kalau suasana udah lumayan lama sepi. Waktu aku melirik ke arah sofa, Arsen udah tertidur dengan posisi duduk. Kepalanya sedikit tertunduk, napasnya teratur, ekspresinya keliatan capek banget.
Aku menunduk, melihat Nathan yang masih ada di gendonganku. Susunya udah habis, matanya mulai tertutup perlahan.
Aku menghela napas. "Kasihan..." gumamku pelan.
Dengan hati-hati, aku bangkit dan berjalan ke kamar pribadiku, membawa Nathan bersamaku. Aku meletakkannya di sampingku di tempat tidur, memastikan dia benar-benar nyaman sebelum akhirnya menarik selimut untuk menutupi tubuh mungilnya.
Aku menatapnya sebentar, lalu mengelus kepala kecilnya dengan lembut.
"Anak sekecil ini udah ditinggal ibunya..." bisikku lirih. "Sama kayak aku."
Aku mengepalkan tangan, menepis rasa nyeri yang tiba-tiba menyelip di dadaku.
Saat aku berbalik, pandanganku kembali ke arah sofa di ruang tamu. Arsen masih tertidur di sana, sendirian. Tapi... ya sudahlah. Dia yang datang ke sini malam-malam, bukan aku yang nyuruh.
Lagipula, aku juga butuh tidur.
Aku membaringkan diri di samping Nathan, menarik napas panjang, lalu berbisik pelan, "Tidur sana, Pak Duda."
Setelah itu, aku memejamkan mata.
...****************...
"Tidurlah sayang, tidurlah... papa di sini menemanimu..."
Suara berat itu samar-samar masuk ke telingaku. Aku masih setengah sadar, mata masih terasa berat, tapi suara itu bikin aku nyaman. Hangat.
Tapi… bentar.
Sejak kapan ada suara laki-laki di dalam kamarku?!
Aku buru-buru membuka mata, dan—
"Hah?!"
Refleks, aku tersentak dan bergerak terlalu cepat, bikin kasurku sedikit bergetar.
Nathan yang tadinya tenang langsung ngejengat, lalu mulai merengek pelan.
"Aduh, aduh! Sorry, sorry! Aku nggak sengaja!" Aku buru-buru nepuk jidat sendiri.
Aku melirik Arsen yang lagi duduk di pinggir kasurku, masih dengan ekspresi datarnya. Tangan besarnya tetap menepuk punggung kecil Nathan dengan pelan, kayak nggak terganggu sama reaksiku barusan.
"Kau ngapain di sini?!" Aku berbisik tajam, setengah panik.
Arsen menoleh sekilas. "Aku bangun duluan, denger Nathan rewel, ya aku nenangin dia," ujarnya santai.
Aku mendengus, lalu melirik jam. "Ya Tuhan, masih pagi! Aku kira bakal bangun sendirian, malah ada kau di kamarku," gerutuku sambil merosot ke kasur.
Arsen mengangkat alis. "Kau bicara seolah aku masuk tanpa izin," balasnya tenang.
Aku mengacak rambutku sendiri, masih setengah sadar. "Ya tetap aja. Bangun-bangun lihat kau di sini itu… agak gimana gitu," omelku.
Nathan masih merengek kecil, mungkin gara-gara aku barusan. Aku langsung ngerasa bersalah.
Aku menghela napas panjang sebelum mengulurkan tangan. "Sini, kasih aku," kataku.
Arsen ngelihatin aku sebentar sebelum akhirnya nyerahin Nathan dengan hati-hati. Aku langsung mengelus punggung mungilnya pelan, menggoyang-goyangkan tubuhnya sedikit buat nenangin.
"Lihat, Nathan? Mama angkat ini ceroboh banget. Maafin ya, tadi kagetin," bisikku lembut.
Arsen terkekeh kecil. "Mama angkat?" tanyanya.
Aku melirik sekilas. "Ya iya lah. Aku kan bukan mamanya beneran," jawabku.
Dia cuma angkat bahu, nggak ada komentar lagi.
Nathan mulai tenang setelah beberapa menit, dan aku lega banget.
"Jadi," aku menoleh ke Arsen. "Kau tidur di mana tadi malam?" tanyaku.
Arsen nunjuk ke luar kamar pakai dagunya. "Sofa," jawabnya singkat.
Aku mengernyit. "Nyaman?"
"Nggak," sahutnya santai.
Aku nyengir tipis. "Ya salahmu sendiri. Aku nggak pernah nawarin tempat tidur kan?" balasku.
Dia nyengir balik, tapi entah kenapa senyumnya kayak punya arti lain. Aku malas mikirin, jadi aku cuekin aja.
Aku kembali fokus ke Nathan, ngegendongnya sambil sesekali nepuk punggungnya pelan. Aku udah mulai kebiasaan gini, ya? Kayak refleks aja.
Ya ampun. Aku beneran masuk ke dunia yang nggak pernah aku bayangin sebelumnya.
Aku bersandar di kepala ranjang, membiarkan Nathan tetap nempel di dadaku meski aku tahu dia nggak bakal dapat apa-apa. Bibir mungilnya masih aja menghisap pelan, kayak nyari kenyamanan.
Arsen tiba-tiba bangkit dari duduknya di tepi ranjang. "Aku buatkan susunya dulu," katanya sebelum keluar kamar.
Aku cuma mengangguk sambil tetap lihat Nathan. Anak sekecil ini udah harus ngalamin kehilangan sosok ibunya. Rasanya... kasihan aja.
Aku mengusap kepalanya pelan, jemariku main-main di rambut tipisnya. "Kamu kangen pelukan ibu, ya?" gumamku.
Nathan jelas nggak bisa jawab, tapi dia makin nempel ke badanku, seolah ngerti.
Aku nggak sadar kalau Arsen udah balik ke kamar. Baru ngeh pas ngerasa ada tatapan dari arah pintu.
Dia berdiri di sana, diem, botol susu masih kepegang di tangannya. Wajahnya susah ditebak, tapi sorot matanya kayak ada sesuatu.
Aku nggak tahu apa yang dia pikirin pas lihat aku gendong Nathan kayak gini. Tapi untuk pertama kalinya, tatapan dia ke aku… beda.
.
.
.
Next 👉🏻