NovelToon NovelToon
Istri Yang Disia Siakan

Istri Yang Disia Siakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:17k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

apkah aku siap melepaskan nya

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari sepenuhnya terbit, Anita sudah bangun. Seperti biasa, ia melaksanakan salat subuh dengan khusyuk, meskipun hatinya masih dipenuhi kekecewaan dan kemarahan yang ia tekan dalam diam. Setelah berdoa panjang, ia menarik napas dan beranjak ke dapur.

Tangannya lincah membersihkan meja dapur, mengisi panci dengan air untuk memasak nasi, dan mulai mencuci piring kotor yang tertumpuk sejak semalam. Ia bahkan menyapu dan mengepel lantai sebelum melanjutkan dengan mencuci pakaian. Semua pekerjaan rumah ia lakukan tanpa suara, hanya dentingan peralatan dapur dan deru air yang mengisi kesunyian rumah itu.

Tak lama, suara pintu kamar terbuka. Laksmi keluar dengan wajah masam, mengibas-ngibaskan daster yang ia kenakan. Dengan langkah berat, ia menuju meja makan dan membuka tudung saji.

Matanya membelalak.

"Nasi saja?! Mana lauknya?!" suaranya melengking, langsung memenuhi seluruh rumah.

Anita, yang baru saja menjemur pakaian, masuk ke ruang makan dan melihat mertuanya berdiri dengan tangan di pinggang, menatap meja makan dengan penuh amarah.

"Iya, hanya nasi," jawab Anita datar sambil melipat tangannya.

Laksmi melotot. "Kamu ini gimana sih?! Masa nggak masak lauk?! Gaji suamimu ke mana?! Buat apa Arman capek-capek kerja kalau nggak bisa makan enak di rumah sendiri?!"

Anita menatap mertuanya tanpa ekspresi. "Bukankah gaji Mas Arman sekarang ada di tangan Ibu semua? Jadi, kalau Ibu mau lauk, silakan beli sendiri."

Wajah Laksmi seketika memerah. Ia tidak menyangka Anita akan membalas seperti itu. Biasanya, menantunya ini diam saja setiap kali dimarahi.

"Kurang ajar kamu, ya!" bentaknya.

Anita tetap tenang. "Saya hanya mengingatkan, Bu."

Dengan kesal, Laksmi merogoh kantong dasternya, mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu rupiah, lalu melemparkannya ke meja.

"Nih! Pergi beli lauk sekarang! Jangan belaga pintar!"

Anita mengambil uang itu tanpa berkata apa-apa, lalu keluar rumah dengan langkah ringan.

Dari kamar sebelah, Dewi baru saja bangun. Dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan, ia berjalan ke ruang makan sambil menguap lebar. Saat melihat meja makan, wajahnya langsung berubah kesal.

"Astaga! Kenapa cuma ada nasi?! Mana lauknya?!" serunya dengan nada tinggi.

Laksmi menghela napas panjang, masih kesal karena harus mengeluarkan uangnya sendiri. "Anita sudah pergi beli. Tadi aku kasih uang," jawabnya ketus.

Dewi mendengus. "Memang dasar nggak becus! Masak nggak ada lauk, rumah berasa panti asuhan aja!"

Tak lama, Anita kembali dengan membawa satu bungkus lauk. Ia meletakkan plastik berisi sepotong paha ayam di meja makan, lalu mengeluarkan struk belanjaan dari kantongnya dan menyerahkannya pada Laksmi.

"Harganya sembilan ribu, ini kembaliannya seribu," ucapnya datar, meletakkan uang kembalian di meja.

Laksmi menatap paha ayam di dalam plastik itu dengan wajah tidak percaya. "Cuma sepotong paha ayam?! Uang sepuluh ribu cuma dapat ini?!"

Anita tetap tenang. "Ibu bisa lihat sendiri di struknya, harga makanan sudah naik."

Dewi yang sejak tadi mengamati juga langsung kesal. "Hanya beli buat Ibu?! Kenapa aku nggak dibelikan sekalian?!"

Anita menoleh, matanya menatap Dewi dengan tajam. Pandangannya begitu menusuk hingga membuat Dewi terdiam seketika.

Tatapan itu...

Tatapan yang sama saat ia menghajar Arman habis-habisan kemarin.

Dewi menelan ludah. Ia ingin membentak balik, tapi lidahnya kelu. Rasa takut mulai menjalari tubuhnya.

Dengan enggan, ia merogoh sakunya sendiri, mengambil uang, lalu berkata dengan suara lebih pelan, "ya, Aku beli sendiri saja!"

Pagi itu, setelah menyelesaikan urusan di dapur, Anita segera beralih ke kamar. Tangannya bekerja dengan cekatan, menyiapkan pakaian kerja Arman. Kemeja putih yang sudah disetrika rapi, celana panjang hitam, kaus kaki, dasi, hingga jas kerja semuanya disusun dengan teratur di atas ranjang. Ia lalu mengambil sepatu kerja Arman yang telah ia bersihkan semalam dan meletakkannya di dekat pintu.

Tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Semua dilakukan dalam diam, seolah-olah ia hanya sebuah bayangan yang bergerak di dalam rumah ini.

Arman keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggangnya, melihat sekilas persiapan yang telah Anita lakukan untuknya. Dadanya bergemuruh dengan perasaan yang sulit ia artikan.

Selama enam belas tahun, Anita selalu memperlakukannya seperti seorang raja. Tidak pernah sekalipun ia harus repot menyiapkan keperluannya sendiri. Dari makanan, pakaian, sepatu, tas kerja, semuanya selalu tersedia tanpa perlu ia minta.

Dan sekarang, ia merasa sesak.

Ia mengenakan pakaian yang telah Anita siapkan, sementara istrinya itu dengan tenang berdiri di sudut ruangan, menunggunya tanpa sepatah kata pun. Setelah mengenakan kemeja, Arman duduk di tepi ranjang.

Anita berlutut di hadapannya.

Tanpa ekspresi, ia meraih kaki suaminya dan memakaikan kaus kaki dengan hati-hati. Lalu, dengan gerakan yang begitu akrab, ia mengambil sepatu dan menyelipkan kaki Arman ke dalamnya, mengencangkan tali sepatu dengan cekatan.

Seperti biasa.

Seperti yang telah ia lakukan selama enam belas tahun ini.

Begitu selesai, Anita bangkit, berdiri di hadapan suaminya yang masih duduk di tepi ranjang. Dengan tenang, ia meraih tangan Arman dan menciumnya dengan penuh hormat.

Tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

Tak ada senyuman, tak ada lirikan penuh harap seperti dulu.

Hanya keheningan yang menyelimuti mereka berdua.

Arman menatap perempuan di hadapannya, perempuan yang selama ini menjadikannya pusat hidupnya. Hatinya mendadak diliputi kegelisahan yang semakin menusuk.

Bisakah ia mendapatkan perempuan seperti ini lagi jika ia menceraikannya?

Pikiran itu menghantamnya dengan begitu keras.

Anita selama ini tidak pernah membantah, tidak pernah menolak untuk mengurusnya, bahkan di saat ia diperlakukan seperti pembantu oleh ibu dan adik iparnya. Ia selalu patuh, selalu menahan diri, selalu memastikan Arman mendapatkan kenyamanan.

Apakah aku siap melepasnya?

Arman mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya berputar tanpa henti.

Selama ini, ia menikmati peran sebagai ‘raja’ dalam rumah tangga mereka. Setiap kali ia pulang kerja, semua kebutuhannya telah tersedia. Pakaian bersih, makanan hangat, rumah yang selalu rapi. Anita mengurus segalanya tanpa pernah meminta imbalan.

Namun kini, semuanya terasa berbeda.

Tatapan Anita tidak lagi sama. Tidak ada lagi kelembutan, tidak ada lagi harapan. Yang tersisa hanya kesunyian yang begitu menyakitkan.

Apakah ini berarti aku benar-benar akan kehilangannya?

Ia mendengar ibunya bersikeras bahwa ia harus menceraikan Anita. Bahwa menantunya ini sudah berani melawan, sudah tidak tahu tempatnya. Desakan itu semakin keras, semakin menyesakkan.

Arman menghela napas panjang.

Ia berdiri, meraih tas kerja yang sudah dipersiapkan Anita, lalu berjalan ke pintu.

Anita mengikuti di belakangnya, masih dalam diam.

Saat hendak keluar, Arman merasa ada sesuatu yang menggantung di dadanya, seperti beban yang tidak bisa ia lepaskan. Ia menoleh, melihat Anita berdiri di ambang pintu dengan wajah yang kosong.

Tidak ada kata "hati-hati di jalan" seperti biasa.

Tidak ada senyum atau lambaian tangan.

Hanya diam.

Dan keheningan itu terasa lebih menyakitkan daripada ribuan omelan yang pernah ia dengar dari ibunya.

Arman melangkah pergi dengan kegelisahan yang semakin menyesakkan dada.

Rumah ini sudah tidak terasa sama lagi.

Di dalam mobilnya, ia duduk beberapa saat sebelum menyalakan mesin. Jemarinya menggenggam setir erat-erat, pikirannya kembali berputar.

Jika aku menceraikannya, apakah aku bisa mendapatkan perempuan seperti Anita lagi?

Seorang istri yang mengurus segala keperluanku tanpa mengeluh?

Seorang istri yang patuh, yang selalu mendahulukan kepentinganku?

Seorang istri yang tidak pernah menuntut, bahkan ketika aku jarang memberinya kasih sayang?

Arman memejamkan mata.

Tapi kemudian suara ibunya kembali menggema di kepalanya.

"Kamu laki-laki, Arman! Kamu bisa dapat perempuan lain yang lebih muda, yang lebih patuh! Jangan biarkan perempuan itu besar kepala!"

Sakit kepala menyerangnya.

Kata-kata ibunya dan kenyataan yang ia rasakan saling bertabrakan, membuat pikirannya semakin kacau.

Ia menggelengkan kepala dan menyalakan mesin mobil.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, ia melajukan mobilnya ke kantor.

Namun, sepanjang perjalanan, ia tidak bisa mengusir perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

1
Retno Harningsih
up
Irma Minul
luar biasa 👍👍👍
Innara Maulida
rasain dasar laki gak punya pendirian
💗 AR Althafunisa 💗
Lagian ada ya seorang ibu begitu 🥲
💗 AR Althafunisa 💗
Lanjut ka...
Soraya
Ridha thor rida
Nina Saja
bagus
💗 AR Althafunisa 💗
Laki-laki tidak punya pendirian akan terombang ambing 😌
Amora
awas ... nanti nyesel sejuta kali bukan 💯 kali nyesel . 😏😒
Innara Maulida
sudah lah Anita ngapain kamu pertahan kan laki kaya si Arman tingal kamu aja yg gugat dia...
💗 AR Althafunisa 💗
Lanjuttt...
💗 AR Althafunisa 💗
Luar biasa
Soraya
jangan kebanyakan kata kata yang diulang thor
Lestari: loh thor bukan nya bapak Arman masih ada yang namanya goni kalau gak salah ko jadi Handoko udah meninggal pula
total 1 replies
Soraya
klo gajih Arman sepuluh juta trus larinya kmn
Soraya
terlalu banyak pengulangan kata thor
💗 AR Althafunisa 💗
Kalau kagak pergi dari tuh suami, istrinya bodoh. Mending cerai punya laki pedit medit tinggal sendiri ngontrak sama anaknya. Ketahuan udah bisa menghasilkan duit sendiri walau ga banyak tapi mental aman.
Soraya
lah jadi arman beli baju buat bianka 🤔
Soraya
lalu buat siapa baju gamis yg Arman beli
Saad Kusumo Saksono SH
bagus, bisa menjadi pendidikan buat pasutri
Soraya
mampir thor, jadilah istri yg cerdik dan pintar jgn bodoh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!