NovelToon NovelToon
Masa Lalu Pilihan Mertua

Masa Lalu Pilihan Mertua

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Poligami / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Thida_Rak

Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.

Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.

Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.

Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Masa Lalu Pilihan Mertua

Arman baru saja pulang, sementara Diva sudah rapi dan menyiapkan kopi serta teh. Ibu mertuanya juga membawa kue sebagai pelengkap sore itu.

"Assalamualaikum," ujar Arman ketika memasuki rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Diva dan ibu mertuanya hampir bersamaan.

"Udah pada kumpul aja nih," ucap Arman sambil tersenyum.

"Duduk dulu, Man. Istrimu udah bikin kopi untukmu," kata ibunya.

Diva hanya tersenyum tanpa banyak bicara. "Bang, aku siapkan bajumu dulu ya," ucapnya sambil membawa tas ke kamar. Namun, ia sengaja tidak menutup pintu kamar rapat-rapat.

Saat itulah ibu Susan melirik ke arah Arman dan berkata, "Man, tadi siang ibu bertemu Raya."

Arman yang baru saja menyesap kopinya langsung terkejut. "Apa? Ibu bertemu Raya?"

"Aduh, jangan keras-keras!" tegur ibunya. Lalu, ia mulai menceritakan semua yang terjadi saat pertemuan dengan Raya di kafe.

Diva yang mendengar percakapan itu dari dalam kamar merasa sesak. "Astaga, bagaimana bisa ibu mertua ingin Bang Arman menikah lagi?" batinnya. Namun, sebisa mungkin ia tetap bersikap biasa.

Setelah mengatur napas, Diva keluar kamar dengan wajah datar. "Bang, udah aku siapkan bajunya ya," ujarnya sambil duduk di sebelah ibu mertuanya.

Mendengar suara Diva, mereka berdua langsung terdiam, seolah-olah tak membicarakan apa pun sebelumnya.

"Yaudah, abang mandi dulu," ucap Arman yang merasa situasi mulai canggung.

Diva hanya diam dan fokus menonton tayangan televisi tanpa menoleh ke arah suaminya.

"Div, suami ajak ngomong kok diem aja? Dibalas dong!" ucap Arman dengan nada kesal.

Diva hanya berdehem pelan, tetap enggan merespons.

Ibu Susan yang melihatnya langsung ikut bersuara, "Ih, menantu satu ini, dikasih tahu malah melawan!" ujarnya sambil berdiri dan berlalu ke kamarnya.

Diva hanya mendesis pelan. "Siapa suruh nyuruh anaknya nikah lagi..." lirihnya dalam hati, menahan emosi yang mulai memuncak.

Malam itu, setelah makan malam, Diva dan Arman masuk ke kamar.

"Diva, kamu kok diam aja?" tanya Arman heran.

Diva menghela napas pelan. "Gak apa-apa, Bang. Capek aja rasanya," jawabnya datar.

Arman menatap istrinya sejenak sebelum berkata, "Maaf ya, Div. Minggu depan Arini mau pulang, dia libur seminggu. Nanti abang jemput, kamu mau ikut atau abang jemput sendiri aja?"

Diva tetap dengan nada datarnya, "Abang langsung aja jemput."

Arman mengangguk. "Baiklah. Ayuk kita tidur, tadi malam kita gak cukup tidur," ajaknya dengan nada lembut.

"Iya, Bang," jawab Diva sambil merebahkan diri.

Ketika ia menoleh ke arah suaminya, Arman sudah tertidur pulas. Namun, Diva masih terjaga, pikirannya terus dipenuhi ucapan mertuanya siang tadi.

"Bang, kalau kamu sampai menikah lagi, aku akan pergi dari hidupmu selamanya. Aku tidak akan kuat jika diduakan, apalagi jika orang itu masih menjadi bayang-bayang dan angan-angan ibumu."

Dalam keheningan, air matanya hampir jatuh, tetapi ia menahannya. Akhirnya, dengan hati yang berat, ia memejamkan mata, berharap esok akan lebih baik.

Hari ini Diva bangun telat,Diva tetap diam di tempat tidur nya, menatap kosong ke arah pintu. Suara omelan ibu mertuanya masih terdengar jelas, tapi ia sudah terlalu lelah untuk peduli.

"Heh, Diva! Kamu denger gak? Kamu ini istri atau cuma numpang tidur aja di rumah ini?!" suara ibu mertuanya semakin meninggi.

Diva menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. Selama tujuh tahun pernikahan ini, ia merasa hanya dianggap sebagai pembantu, bukan sebagai menantu. Semua yang ia lakukan seakan tidak pernah cukup di mata ibu mertuanya.

Arman keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambutnya dengan handuk. Wajahnya kesal melihat ibunya masih saja mengomel di depan kamar mereka.

"Bu, sudah lah. Kalau Diva belum masak, ya biar aja. Kan bisa sarapan di luar," ucap Arman, berusaha meredakan suasana.

"Kamu ini makin lama makin belain istri! Gak sadar, istri kamu itu pemalas! Pagi-pagi gak masak, gak beresin rumah, emang dia pikir ini rumah kontrakan yang bisa santai-santai aja?!"

Diva mengepalkan tangannya di bawah selimut, menahan perih di hatinya.

"Bang, kalau ibu masih begini terus, Diva gak yakin bisa bertahan lama di rumah ini," ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.

Arman menatap istrinya lama, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya ia hanya menghela napas panjang. "Sabar, Div."

Diva menoleh ke arah suaminya. "Aku sudah terlalu lama sabar, Bang."

Diva menggigit bibirnya, menahan emosi yang hampir meledak. Selama tujuh tahun, ia menelan semua hinaan ini. Tapi hari ini, sesuatu dalam dirinya berkata cukup.

Ia tidak akan membalas dengan kata-kata, karena itu hanya akan membuatnya terlihat sama rendahnya. Tapi ia akan membuktikan sesuatu—dengan caranya sendiri.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Diva mengambil tasnya dan keluar dari rumah. Ia butuh udara segar, butuh menjauh dari racun yang selama ini mengelilinginya.

Di luar, angin pagi menyambutnya. Diva mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan untuk kakaknya.

"Kak Dira, aku mau tanya sesuatu… kira-kira kalau aku mau mulai usaha kecil-kecilan, kakak bisa bantu kasih saran?"

Ia menatap layar ponselnya. Jika ibu mertuanya menganggapnya tidak berharga, maka ia akan membuktikan bahwa ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan untuk balas dendam, tapi untuk harga dirinya sendiri.

Diva menghela napas panjang. Jarang-jarang ia bangun lebih siang, tapi begitu tidak mengikuti apa yang diinginkan ibu mertuanya, hinaan dan cercaan langsung meluncur tanpa jeda.

Belum sempat ia menenangkan diri, ponselnya bergetar.

"Bisa dong! Kamu mau usaha apa, Diva?" pesan dari Kak Dira muncul di layar.

Senyum tipis terukir di wajahnya. Ya, mulai hari ini aku akan lebih memikirkan kebahagiaanku sendiri. Biarlah urusan rumah menjadi beban ibu mertuanya, ia tidak akan terus-menerus hidup di bawah tekanannya.

Sementara itu, di rumah…

Ibu Susan tak henti-hentinya menggerutu, mengumpat Diva seolah menantu itu adalah duri dalam hidupnya. Rasa benci yang selama ini ia pendam kini semakin sulit ia sembunyikan. Tanpa pikir panjang, tangannya meraih ponsel dan menekan nomor yang sudah lama ingin ia hubungi.

"Nak Raya, bisa datang ke rumah hari ini? Ibu ingin kita bertemu."

Tak butuh waktu lama, balasan datang.

"Tentu, Tante. Aku akan ke sana."

Senyum puas terukir di wajah Ibu Susan. Biarlah menantu itu pergi jika memang mau. Yang terpenting, hatinya bisa kembali tenang dengan kehadiran Raya.

Arman tak pernah menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. Saat melangkah masuk ke rumah, matanya langsung menangkap sosok yang tak asing Raya. Masa lalu yang sempat membuatnya galau berkepanjangan kini duduk manis di ruang tamu, tersenyum seolah tak ada yang pernah terjadi.

"Kamu ngapain di sini, Ray?" tanya Arman, suaranya terdengar kaku.

"Hai, Arman." Raya menyapa dengan nada santai, mengabaikan ketegangan yang jelas terlihat di wajah lelaki itu.

Ibu Susan menyela sebelum Arman bisa berkata lebih jauh. "Man, itu loh, Nak Raya bertamu. Layani dengan baik!"

"Bu, Diva mana?" Arman mengedarkan pandangannya, mencari sosok istrinya.

Ibu Susan mengangkat bahu acuh tak acuh. "Entahlah. Dari pagi sampai sekarang, dia belum pulang."

Arman menghela napas berat. "Bu, kalau Diva pulang dan Raya masih di sini, bagaimana?"

Ibu Susan mengibaskan tangannya santai. "Ya biarkan saja. Tidak ada salahnya, kan?"

Arman meremas jemarinya dengan gelisah. Ia takut Diva tiba-tiba pulang dan melihat ini. Namun, di sisi lain, ia tak bisa memungkiri bahwa Raya memang semakin cantik. Tidak! Aku sudah berjanji pada Diva, aku tak boleh tergoda.

Meski enggan, ia tetap menemani Raya lebih karena desakan ibunya daripada keinginannya sendiri.

---

Sore hari, saat Diva akhirnya pulang, jantungnya berdegup kencang.

Di ruang tamu, duduk seorang wanita asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sekali pandang, Diva tahu siapa dia. Raya.

Pantas saja Arman dulu sempat galau, pikirnya. Wanita itu memang lebih cantik… tapi aku tetap istri sahnya!

Begitu mata mereka bertemu, wajah Arman langsung pucat pasi. Tatapan Diva begitu tajam, penuh dengan pertanyaan yang menuntut jawaban.

Ibu Susan, yang sama sekali tak peduli dengan suasana yang tegang, justru menyambut kepulangan menantunya dengan nada ketus. "Kebetulan, Diva! Kamu pulang. Kenalkan, ini Raya," ujarnya tanpa sedikit pun menoleh ke arah Diva.

Diva menatap Raya dengan pandangan menilai.

Sementara itu, Raya juga mengamati istri Arman dengan sinis. "Ya ampun, kampungan sekali. Biasa saja," batinnya mengejek.

Diva tersenyum tipis, namun sorot matanya dingin. Dengan suara tenang, ia berkata, "Oh, jadi ini calon menantu idaman Ibu? Sayangnya, Bang Arman sudah sah menjadi suami aku. Daripada kamu sibuk mengejar lelaki yang sudah beristri, lebih baik mundur teratur."

Ibu Susan mendadak meledak. "Kurang ajar kamu, Diva!" Dengan gerakan cepat, tangannya terangkat, siap menampar menantunya.

Namun, Diva lebih sigap. Dengan sekali gerakan, ia menangkis tangan ibu mertuanya sebelum bisa menyentuh wajahnya.

"Ibu," ucapnya dengan nada datar, "jangan pernah sekali-kali mencoba menampar aku."

Arman membeku di tempatnya. Ia tak pernah melihat Diva seperti ini begitu tegas, begitu berani.

Sementara itu, Raya yang tadi begitu percaya diri, kini mulai merasa gentar. Bukan karena ucapan Diva, tapi karena tatapan mata wanita itu yang seolah memperingatkannya: "Aku bukan seseorang yang bisa kau injak-injak begitu saja."

1
Pudji hegawan
cerita yg bagus
Thida_Rak: Terima kasih kak🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!