Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orangan Sawah
"brukk"
Sebuah kotak besar seukuran peti mati terjatuh ketika sedang diangkat oleh dua orang pria.
"Apa yang kau lakukan? Angkat yang benar. Kalau sampai barang ini rusak, kita tak akan mendapat bayaran." salah seorang pria berambut gondrong memarahi temannya yang tidak sengaja menjatuhkan kan kotak yang mereka angkat.
"Ish, aku sudah berusaha, Cok. Salahkan kotaknya karena tidak ada pegangannya." bantah pria satunya yang berkepala botak.
"Ya sudah. Cepat angkat lagi, keburu dilihat pak tua itu." desak pria rambut gondrong.
Pria botak itu akhirnya berhasil mengangkat kotak disisinya. Mereka membawa kotak itu masuk kedalam gudang. Terlihat banyak kotak yang sama persis ditumpuk di dalam sebuah gudang. Nafas mereka terengah-engah karena sudah mengangkat begitu banyak kotak.
"Oke. Ini yang terakhir. Akhirnya." Pria gondrong menghela nafas karena sudah menyelesaikan pekerjaannya. Dia terduduk di tumpukan kotak itu sambil mengatur nafas.
"Sudah selesai?" tanya seseorang yang berdiri di pintu gudang.
Dia adalah seorang kakek yang mengenakan pakaian batik mewah lengkap dengan blangkon di kepalanya. Penampilannya menggambarkan siapa dirinya. Dia berdiri tegap di pintu gudang dengan memegang Wayang berwarna Hitam di tangan kanannya.
Kedua orang itu segera berdiri tegap ketika mengetahui ada yang datang. Mereka terlihat sangat panik ketika kakek itu tiba-tiba muncul.
"Su..sudah semua tuan." pria gondrong itu berkata sambil menundukkan kepalanya.
"Hei, orang tua. Kau belum tidur dijam segini. Tidak baik lo untuk tulang lapukmu."
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar menggema di belakang kakek tua itu. Kakek itu menoleh kebelakang dan matanya melotot ketika melihat ada sosok hitam di belakangnya. Wajahnya memperlihatkan ekspresi marah dan geram bercampur kebencian.
"Kau..." ucap kakek itu geram.
"Lama tak jumpa. Kau merindukan ku?" ucap sosok hitam itu dengan nada mengejek.
_ _
Di langit timur, fajar masih berupa titik, Nusa sudah bersiap pergi ke pasar. Dia mengangkut barang dagangan ke dalam gerobak miliknya. Setelah selesai, dia memperhatikan barang dagangannya.
"Hmmm, sepertinya ini kebanyakan. Terlalu banyak titipan dari warga lain."
Nusa berjalan kedepan menghampiri Rinson yang sudah siap di Gandengan (bagian depan tempat hewan menarik gerobak).
"Mungkin kamu nanti akan sedikit keberatan menariknya, Rinson. Maaf Ya." Nusa mengelus pangkal leher Rinson yang di gunakan untuk menarik gerobak.
Nusa merasa kasihan kepada Rinson bila ia harus menarik gerobak yang berat seorang diri. Tapi mau bagaimana lagi, karena Nusa tidak memiliki hewan tunggangan lain. Kecuali datang seseorang yang membawa tenaga tambahan.
"berderak, berderak"
"cleng, cleng, cleng"
"bruuuhhh"
Nusa mendengar suara langkah dari kuda dan keretanya. Dia memperhatikan asal suara itu, yang berasal dari jalan depan rumahnya. Bentuk kereta itu belum terlihat karena tertutupi bambu di pinggir jalan. Suaranya semakin jelas menandakan kereta itu sudah semakin dekat.
"Mouuuhh"
Muncul seekor kerbau yang menarik kereta angkut sendirian, tanpa kusir.
"Barkeo?" Nusa memiringkan kepalanya, bertanya-tanya kenapa Barkeo menarik gerobak tanpa ada seorang kusir.
Barkeo berjalan memasuki pekarangan rumahnya. Di berhenti di depan rumah Nusa, lalu berbalik ke arah keluar. Tak lama kemudian, muncul Tara yang sedang mengendarai kereta kuda miliknya. Dia membawa kereta kuda yang ditarik due ekor kuda Sumbawa berwarna coklat. Tara berhenti di luar pekarangan rumah Nusa.
"Yo, Nusa. Kau sudah bersiap? Aku membawa gerobak tambahan untukmu bila kau kelebihan muatan."
Tara turun dari gerobaknya dan menghampiri Nusa. Dia berjalan dengan santai tanpa menggunakan tongkat, karena dia juga menggunakan Wayang Tempa sama seperti Nusa.
"Untuk apa kau membawa dua gerobak kesini? Kosong lagi dua-duanya. Dan mau pergi kemana kau sampai harus membawa kereta kuda?" Nusa heran dengan perilaku temannya. Dia tidak bisa memprediksi apa yang ingin dilakukan temannya.
"Ya, kupikir kamu butuh gerobak tambahan karena barang bawaanmu mungkin banyak." jelas Tara.
"Iya. Barang bawaanku banyak. Aku takut Rinson nanti tidak kuat menariknya. Apalagi kalau harus membawa penumpang." Nusa menjelaskan dengan nada sedikit cemas.
"Mungkin tepat kamu membawa Barkeo kemari. Aku memang butuh bantuannya."
"Kalau begitu, kau pindahkan saja barangmu ke gerobak Barkeo, karena gerobak ini ada dua Gandengan." jelas Tara.
"Oke. Ayo bantu biar cepat." pinta Nusa.
"Gas." sahut Tara menyanggupi permintaan temannya.
Mereka pun segera memindahkan barang bawaan ke gerobak Barkeo.
"clik, berdecit"
Pintu rumah Nusa terbuka. Ibunya keluar dengan membawa sebuah wadah bekal. Ibu melihat ada Tara yang sedang membantu Nusa mengangkut barang.
"Huh? Kenapa kalian memindahkan barang? Apa gerobakmu rusak, Nusa?" Ibu bertanya karena tidak paham dengan situasi.
Nusa yang sedang memindahkan barang berhenti sejenak.
"Barang bawaannya terlalu banyak. Gerobak kita tidak muat. Makannya aku pindah ke gerobak milik Tara yang lebih besar." Nusa menjelaskan sebentar lalu melanjutkan pekerjaan.
"Ooo, kalau Tara ikut, berarti bekalnya kurang." gumam ibu. Ibu pun masuk dan menyiapkan ulang bekal.
_ _
Nusa selesai memindahkan barang dan Tara selesai menata Gandengan ke Rinson dan Barkeo.
"Nusa, ini bekalnya. Jangan lupa dibagi dengan Tara." kata Ibu.
"Oke." sahut Nusa.
"Oh, ya. Bibi, ini ada telur ayam kampung, dari mama." Tara menyerahkan keranjang bambu yang berisi puluhan telur ayam.
"Makasih ya." Ibu menerima keranjang telur.
"Nusa berangkat dulu, Bu." Nusa bersalaman pada ibunya kemudian mencium pipinya.
NusaNTara naik ke kemudinya masing-masing.
"Hati-hati." Ibu melambaikan tangannya tanda perpisahan.
"Sampai jumpa. Dah." Nusa membalas lambaian ibunya.
Mereka pun menghilang di sebalik rumpun bambu. Ibu kemudian masuk kedalam rumah.
_ _
NusaNTara berhenti di depan rumah mbak Tari. Tara berjalan menghampiri Nusa, yang masih duduk di tempat kusir.
"Hei, Nusa. Biar aku saja yang membawa penumpang, kau yang membawa barang dagangan."
Tara mencoba bernegosiasi dengan Nusa. Karena yang sebenarnya di mintai tumpangan oleh mbak Tari adalah Nusa. Jadi Tara berinisiatif mengambil alih penumpang dan Nusa hanya fokus membawa barang dagangan.
"Heh, ternyata ini keinginanmu sebenarnya ikut aku ke pasar. Karena sangat jarang kau pergi kesapar, apalagi waktu fajar."
Nusa akhirnya mengetahui maksud tindakan Tara pagi ini. Dia hanya ingin mencari kesempatan untuk mendekati mbak Tari.
"Tidak mungkin aku membiarkanmu mengambil kesempatan, dengan dalih mengantar kepasar. Aku ambil peran itu." kata Tara dengan sombong.
"Terserah kau. Yang penting bayarannya aku yang terima." Kata Nusa dengan nada ketus.
"Eits, tidak bisa. Tidak bisa." senyum serakah terpampang di wajah Tara, menunjukkan dia ingin mengambil semuanya sendiri.
"Nusa, bisa tolong bawa ini ke gerobak?" mbak Tari memanggil Nusa untuk minta bantuannya.
Mendengar suara bidadari minta tolong, Tara langsung gercep menghampiri bidadari itu.
"Siap. Laksanakan."
Melihat yang muncul malah Tara, Mbah Tari tersentak.
"Kenapa malah Tara yang muncul?" mbak Tari bertanya-tanya dalam hatinya. Wajahnya sedikit menampakkan rasa jengkel.
_ _
Ditengah perjalanan, Tara terkadang berhenti untuk membawa penumpang yang juga pergi ke pasar.
_ _
Sampailah mereka di Desa Tentrem. NusaNTara memasuki gerbang dan langsung pergi menuju area pasar. Di sana suasananya sangat ramai, baik penjual atau pembeli, dan orang yang berlalu lalang membawa barang. Walaupun matahari belum muncul sepenuhnya, orang-orang sudah mulai beraktivitas di pasar.
Tara menurunkan para penumpang di luar area pasar, sedangkan Nusa masuk area pasar dan menuju ke lapak yang telah dia sewa. Sesampainya di lapak, Nusa segera membongkar muatannya. Tara menyusul setelah memarkir kendaraannya.
"Tara, kau bongkar dulu barang daganganku, aku mau menjual titipan orang ke pengepulan." pinta Nusa.
"Pak, kemari." panggil Nusa.
Nusa memanggil seorang kuli panggul yang sedang bersantai di gerobak dorongnya. Melihat Nusa melambai ke arahnya, diapun langsung beranjak dari gerobaknya, merespon panggilan Nusa dan datang menghampiri. Setelah kuli panggul datang, Nusa langsung memindahkan barang titipan ke gerobak dan pergi ke pengepulan. Barang titipan itu berupa buah pisang, nangka, dan kelapa. Nusa pun berangkat ke pengepulan meninggalkan Tara.
_ _
Seorang wanita datang kerumah Nusa dengan membawa keranjang berisi telur dan mengetuk pintu rumahnya. Wajahnya mirip dengan ibu Nusa. Rambut hitam yang terurai dan mata coklat.
"tok, tok, tok"
"Kak, kau ada dirumah?" panggil wanita itu memanggil ibu Nusa dengan sebutan Kakak.
"Masuklah." perintah ibu Nusa dari dalam rumah.
Setelah mendapat izin, wanita itu masuk ke dalam rumah Nusa. Dia melihat ibu Nusa sedang membaca sebuah buku.
"Kakak." sapa wanita itu dengan ceria. Dia menghampiri ibu Nusa dan langsung mencium pipinya. Sikapnya seperti anak kecil yang lama tak bertemu ibunya.
"Ini. Aku ada bawakan telur untuk kakak." wanita itu meletakkan keranjang terlukis di atas meja.
"Huh? Bukannya tadi pagi kamu...sudah memberiku telur?" ibu Nusa bingung dengan pemberian telur lagi.
"Eh? Kapan aku memberi kakak telur?" wanita itu juga bingung. Padahal baru sekarang ini dia memberi telur pada kakaknya.
"Tadi pagi Tara memberiku telur satu keranjang. Tuh, masih utuh di dapur." terang ibu Nusa.
"Itukan telur pesanan pelanggan. Aku suruh Tara mengantarkannya. Berarti dari tadi belum diantar. His, dasar Tara ceroboh. Malah diberikan kakak." wanita itu, ibunya Tara, kesal dengan kinerja anaknya.
"Tinggal kamu antar telurnya ke pelanggan, kan?"
"Jauh, ih. Biarlah. Biar Tara nanti yang tanggung jawab." ucap ibu Tara kesal.
"Terserah." ibu Nusa tidak ingin mencampuri urusan mereka.
_ _
Nusa kembali dari tempat pengepulan. Dia membawa sebuah tampah bersamanya yang sudah rusak sebelah. Di belakangnya, seorang ibu dan anaknya mengikuti Nusa ke lapaknya. Nusa melihat dagangannya sudah tersusun dan Tara sedang asik melihat orang lewat.
"D"
"E"
"C"
"E"
Tara melirik setiap orang yang lewat sambil bergumam. Dia tidak menyadari kedatangan Nusa. Nusa pun juga menghiraukan nya.
Nusa pergi ke gerobaknya dan mengambil beberapa bambu yang sudah diiris. Diapun duduk didekat Tara dan menganyam tampah yang rusak.
"Woi, datang gak bilang-bilang." Tara sedikit terperanjat ketika tiba-tiba Nusa duduk di dekatnya.
"Kau yang terlalu fokus mantengin dada." sarkas Nusa sambil terus menganyam.
"Heh, sok tau."
Tara melihat seorang wanita datang melihat anyaman. Di sebelahnya ada bocah perempuan yang bermain-main dengan alat masak. Dia sepertinya penasaran dengan kegunaan alat itu.
"Tuan, apa ini alat pemukul serangga?" gadis itu dengan polosnya menunjukkan sebuah rotan yang berbentuk seperti raket yang memiliki lubang besar.
"Bukan. Itu alat untuk menghilangkan debu dari bantal. Apa kamu tidur pakai bantal dari kapuk?" Tara mencoba bersikap akrab dengan anak kecil itu.
"Iya." jawab bocah itu.
"Ini buk, sudah selesai di perbaiki." Nusa mengulurkan tampah yang tadinya rusak, sekarang sudah tampak seperti baru.
"Oh, lumayan cepat." wanita itu meraih tampahnya dan memeriksanya. Dia tampak puas dengan hasilnya.
"Ini bayarannya, terima kasih." wanita itu memberikan beberapa koin uang dan diterima oleh Nusa tanpa menghitungnya.
"Sama-sama." balas Nusa dengan senyuman.
Wanita dan bocah itu pergi meninggalkan lapak Nusa.
"Nusa?" panggil Tara.
"Ha?" sahut Nusa.
"Kau ingat kejadian 'empat orangan sawah' beberapa tahun lalu?" tanya Tara.
"Iya. Kau yang menceritakannya."
"Tadi malam, aku melihatnya lagi."
"Melihat apa?" tanya Nusa seolah tidak perduli.
"Ish. Orangan sawah. Aku melihat seseorang menancapkan tiga tubuh manusia tanpa kepala ke ujung bambu. Tubuh itu di tancapkan di ujung bambu yang sama dengan kejadian tahun lalu. Bedanya tadi malam di tancapkannya dari pangkal leher hingga tembus ke selangkangan." jelas Tara tentang apa yang dilihatnya tadi malam.
"Apa Mbah Mul sudah tau kejadian ini?" tanya Nusa.
"Sepertinya belum. Ketika tadi pagi aku datang untuk memeriksanya, tubuh itu sudah tidak ada. Juga tidak ada bercak darah yang tertinggal sama sekali." Tara menjelaskan dengan perasaan gelisah.
"Aku takut kalau keluarga kita menjadi korban juga. Mengingat kita juga tinggal di kampung Preng Sewu."
Tara cemas kalau kejadian itu menimpa keluarganya juga. Dia tidak bisa membayangkan orang tua mereka tertancap di ujung bambu dengan tanpa kepala.
"Terus, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Nusa sambil melayani pembeli.
"Apa kita laporkan saja ke Ormas Tukang? Biar mereka yang menyelidikinya." pikir Tara.
"Kau punya bukti?" tanya Nusa.
"Huh?" Tara sedikit tertegun. Dia tidak mempunyai bukti kalau ingin melaporkan ke Ormas Tukang. Diapun termenung memikirkan sesuatu.
Datang beberapa orang ke lapak Nusa.
"Apa kau suka loli?" kata orang itu.