NovelToon NovelToon
Dipaksa Kawin Kontrak

Dipaksa Kawin Kontrak

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Nikah Kontrak / Cinta Paksa / Pelakor jahat
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Dini Nuraenii

Kaila tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis hanya dalam semalam. Seorang perempuan sederhana yang mendambakan kehidupan tenang, mendadak harus menghadapi kenyataan pahit ketika tanpa sengaja terlibat dalam sebuah insiden dengan Arya, seorang CEO sukses yang telah beristri. Demi menutupi skandal yang mengancam reputasi, mereka dipaksa untuk menjalin pernikahan kontrak—tanpa cinta, tanpa masa depan, hanya ikatan sementara.

Namun waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik sikap dingin dan penuh perhitungan, Arya mulai menunjukkan perhatian yang tulus. Benih-benih perasaan tumbuh di antara keduanya, meski mereka sadar bahwa hubungan ini dibayangi oleh kenyataan pahit: Arya telah memiliki istri. Sang istri, yang tak rela posisinya digantikan, terus berusaha untuk menyingkirkan kaila.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Cahaya lampu gantung kristal menyebar lembut ke seluruh sudut ruangan. Dinding-dinding berwarna krem bersih tampak begitu elegan, berpadu dengan perabotan mahal bernuansa gelap.

Di tengah ruangan, terdapat dua ranjang berukuran besar yang diletakkan sejajar namun terpisah oleh sebuah meja kecil berlapis marmer. Salah satu ranjang tampak rapi dan dingin, seolah tidak pernah disentuh penghuni rumah.

Arya baru saja mengganti pakaian. Jas dan dasi sudah tergantung rapi di balik pintu lemari, sementara lengan kemejanya yang dilipat hingga siku memperlihatkan betapa ia tampak letih.

Ia duduk di tepi ranjangnya, memeriksa ponsel tanpa banyak bicara. Matanya menatap layar, tapi pikirannya melayang entah ke mana.

Suara langkah pelan terdengar dari arah kamar mandi. Nayla muncul dalam balutan gaun tidur sutra berwarna maroon.

Gaun itu menempel di tubuhnya dengan halus, membentuk lekuk feminin yang menggoda. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan senyumnya tercetak manis, meski ada harapan tersembunyi di baliknya.

“Sudah pulang,?” ucap Nayla pelan, mencoba menghangatkan suasana.

Arya tidak segera menjawab. Ia hanya meletakkan ponsel ke meja kecil, lalu menghela napas pendek.

Nayla mendekat, duduk di sisi ranjang Arya. Tangannya perlahan menyentuh lengan Arya, mengundang perhatian yang selama ini tak pernah benar-benar ia dapatkan.

“Kau tidak rindu padaku?” tanyanya dengan nada lembut. “Tiga malam kau pergi... Aku merasa sangat sepi, Arya.”

Tatapan Arya tetap tenang. “Kau tahu sendiri, Nayla, kita tidak seperti pasangan lain.”

“Aku tetap istrimu,” ucap Nayla dengan suara nyaris berbisik. “Dan aku perempuan. Aku butuh seseorang... butuh sentuhan suami sendiri.”

Arya berdiri. Gerakannya pelan tapi tegas, menghindari sentuhan Nayla tanpa perlu bersuara. Ia berjalan ke sisi lain kamar dan menatap jendela yang menghadap ke taman di belakang rumah.

“Kau tahu kesepakatan kita sejak awal. Pernikahan ini adalah kesepakatan dua keluarga. Tidak lebih.”

“Tapi aku mencintaimu, Arya,” ujar Nayla, kini berdiri pula. “Aku mencintaimu bahkan saat kau tak pernah menyentuhku... Bahkan ranjang ini, kau pisahkan dari awal.”

Ia menunjuk ranjangnya sendiri yang tampak begitu sempurna tak terganggu. Tidak seperti ranjang Arya yang lebih sering digunakan.

“Cinta tidak bisa dipaksakan, Nayla,” jawab Arya tanpa menoleh. “Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau tidak memperkeruh keadaan.”

Wajah Nayla mengeras. “Ini tentang perempuan itu, bukan?”

Kali ini Arya menatapnya. Tidak berkata apa pun, tapi diamnya sudah cukup menjadi jawaban.

Nayla menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menahan gejolak di dadanya, tetapi air matanya mulai menggenang. “Aku menyesal menikahimu.”

“Dan aku tidak pernah ingin menikahimu,” ujar Arya tenang, kembali ke ranjangnya.

Ia mematikan lampu di sisinya, membaringkan tubuh tanpa sedikit pun menoleh pada Nayla. Sedangkan Nayla hanya berdiri diam dalam gelap, tubuhnya gemetar oleh kemarahan, kekecewaan, dan rasa malu yang tak bisa diungkapkan.

Malam kembali sunyi. Dua ranjang. Dua hati yang terlalu jauh untuk dijembatani.

Hening menyelimuti kamar luas itu cukup lama. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar, seolah menghitung setiap detik penuh ketegangan antara dua insan yang tak pernah benar-benar menjadi satu.

Nayla belum beranjak dari tempatnya berdiri. Punggungnya menegang, matanya masih menatap punggung Arya yang kini membelakanginya. Cahaya redup dari lampu tidur di sisi lain kamar memantulkan bayangan suram di wajahnya.

"Arya..." ucap Nayla perlahan, namun kali ini nadanya berbeda. Tak lagi menggoda, melainkan lebih berat, seperti membawa beban yang lama ia simpan sendiri. "Kau tahu, orang-orang mulai bertanya..."

Arya membuka matanya, masih dalam posisi berbaring. Tak menjawab, tapi ia mendengar.

"Mereka bertanya kenapa kita belum punya anak. Mereka mulai curiga... menganggapku mandul, tak bisa memberi keturunan. Padahal-" Nayla menggigit bibirnya, suaranya tercekat.

 "Kau bahkan tak pernah menyentuhku, Arya."

“Dan apa kau ingin aku menjawab itu di depan publik?” Arya berbalik perlahan, duduk di tepi ranjangnya. Tatapannya tajam, tapi tak meninggikan suara. “Ingin aku sampaikan bahwa selama dua tahun ini, ranjang ini hanya jadi pajangan?”

Nayla mengepalkan tangannya. “Aku lelah menutup-nutupi. Kau tahu bagaimana tekanan itu menghantamku? Setiap undangan keluarga, setiap acara sosial... pertanyaan yang sama. ‘Kapan Nayla memberi cucu untuk keluarga Satya?’ Mereka pikir aku yang salah.”

“Apa kau pikir aku tak menanggung beban?” balas Arya datar. “Aku yang harus menjawab ayahmu, menjawab komisaris perusahaan yang mempertanyakan keberlangsungan warisan keluarga.”

“Lalu kenapa kau tetap tak mau menyentuhku?” tanya Nayla tajam, matanya berkaca-kaca. “Aku ini istrimu, Arya. Dua tahun... Dua tahun penuh kehampaan. Sampai kapan?”

Arya berdiri. Tubuhnya tegap, dingin, dan karismatik dalam diamnya. Ia menatap Nayla dalam-dalam, membuat perempuan itu perlahan melemah di balik amarahnya.

“Aku tak bisa memaksakan hati ini. Kau tahu itu sejak awal. Kita menikah demi kepentingan keluarga, bukan karena cinta. Dan aku sudah berterus terang sejak malam pertama, Nayla.”

Nayla terdiam. Air matanya mulai jatuh, tapi ia menghapusnya cepat-cepat. Harga dirinya masih tinggi, bahkan saat hatinya hancur.

“Lalu, perempuan itu... apa dia akan memberimu keturunan?” tanyanya getir.

Arya tak menjawab. Hanya membuang napas perlahan, lalu kembali ke ranjangnya.

“Tidurlah, Nayla. Malam sudah terlalu larut untuk bertengkar tentang masa lalu.”

Nayla hanya bisa memandangi punggung Arya dalam diam. Tapi malam itu, di dalam dirinya, lahir keputusan jika dia tak bisa mendapatkan cinta Arya, maka setidaknya dia akan menjaga status dan kehormatannya dengan cara apa pun.

Nayla perlahan melangkah mendekat, mengenakan gaun tidur sutra tipis berwarna merah anggur yang mempertegas lekuk tubuhnya.

 Rambutnya tergerai, aroma parfum yang manis menyelimuti udara. Dengan langkah pelan, ia mendekati ranjang tempat Arya duduk sambil mengenakan jam tangannya.

“Kalau bukan karena cinta,” gumam Nayla lirih, “setidaknya kita bisa menjadi pasangan yang normal, Apa kau tak punya nafsu? Tubuh ku selalu ku rawat dengan baik”

Arya menghela napas panjang, tidak menoleh. “Jangan mulai lagi, Nayla.”

Nayla tidak menyerah. Ia duduk di sisi ranjang Arya, menempatkan tangannya di lengan pria itu. Sentuhannya lembut, namun terasa memaksa. “Aku ingin sentuhanmu, meski hanya sekali saja. Tidak bisakah kau mencoba membuka hati? Kita sudah dua tahun menikah, Arya…”

“Cukup.” Arya berdiri, membuat tangan Nayla terlepas. Ia menatap istrinya dengan sorot mata tajam, meski nadanya tetap tenang.

“Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Perasaan itu tidak ada, Nayla. Dan menyentuhmu hanya akan membuat kita berdua makin tersiksa.”

“Tidak adakah sedikit saja keinginan dalam dirimu?” Nayla berdiri, kini mendekat, matanya berkilat oleh luka dan gengsi yang terinjak. “Atau... semua itu sudah kau berikan pada perempuan lain itu?”

Arya tidak membalas. Ia hanya mengambil jasnya yang tergantung, lalu menatap Nayla untuk terakhir kali malam itu.

“Jangan rendahkan dirimu seperti ini, Nayla. Kau berharga… tapi bukan untukku. Kau tahu itu sejak awal, dan kau tetap memilih menikah denganku.”

Lalu tanpa berkata lebih, Arya melangkah keluar dari kamar, membiarkan Nayla berdiri sendiri dalam hening. Pintu tertutup dengan suara halus, namun dampaknya menggema di dada Nayla.

Di balik ketegaran wajahnya, air mata kembali jatuh. Bukan karena cinta, tapi karena harga diri yang tertolak berkali-kali.

1
R 💤
jangan mau kaila,
R 💤
hadir Thor 👋🏻
R 💤: siap Thor 👋🏻
Dini Nuraeni: Thanks dah mampir dan jadi yang pertama mengomentari 🥹🫶
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!